Pendekatan Fenomenologi/Ilmu Tanpa
Prasangka dalam studi Islam
(Pembacaan terhadap tulisan Richard C. Martin
dalam teori dasar pendekatan dalam pengkajian Islam)
Cahaya Khaeroni
a.
Pendahuluan
Dalam sebuah catatan pengantarnya, Richard C. Martin
menekankan bahwa pendekatan dalam pengkajian Islam seyogyanya memaparkan Islam
sebagaimana apa yang dialami dan dijalankan oleh para pemeluknya. Meskipun
bentuk ideal Islam normatif juga tidak luput dilihat, tetapi pengakuan yang harus
ditekankan adalah bahwa realitas agama memiliki lokusnya dalam pengalaman
penganutnya dan para sarjana mutlak harus tunduk pada pengalaman itu.
Apa yang ditekankan oleh Richard ini bukannya dibangun tanpa
alasan, hal ini lebih didasarkan pada pengalaman kegagalan para sejarawan agama
abad ke-19 dalam memajukan pemahaman tentang Islam sebagai agama, dan mereka juga
dianggap gagal dalam menjelaskan fenomena keagamaan Islam secara memadai. Tidak
ada demonstrasi yang sungguh-sungguh meyakinkan bahwa para sejarawan agama
dengan metode-metode yang mereka gunakan telah memberi sumbangan yang cukup bermakna
dalam memahami Islam.
Disini dapat dipahami bahwa Studi Islam tradisional pada
waktu itu ternyata lebih cenderung berorientasi tekstual-normatif dan tradisi filologis
yang kuat dan hampir ekslusif. Para sarjana agama ingin memahami dunia Muslim,
tetapi kajian-kajiannya hanya ditujukan lewat tulisan-tulisan muslim, bukan
kepada muslim sendiri. Sehingga hal tersebut menyebabkan para sarjana agama
dalam mengkaji, memahami, dan menjelaskan fenomena keberagamaan manusia
cenderung bersifat reduktif. Selain itu, studi Islam tradisional barulah
melihat dan menyentuh kulit luar atau aspek eksternalitas dari keberagamaan
manusia semata, dan pada dasarnya belum menyentuh aspek relung-relung
internalitas-kedalaman keberagamaan manusia.[1]
Problem lain yang juga sering dianggap sebagai kegagalan
sejarawan agama dalam menjelaskan fenomena keagamaan Islam secara memadai adalah
terletak pada terjadinya hubungan yang sangat problematis antara peneliti
(sarjana agama) dengan yang diteliti. Dimana peneliti justru sering membuat
distorsi dalam memahami fenomena keberagaman manusia. Para sarjana memang
berupaya mengkaji dunia Muslim secara serius (dan ini tetap perlu untuk
diapresiasi), hanya saja kegiatan intelektual yang mereka lakukan ternyata lebih
berdasarkan atas pandangan mereka sendiri. Sangat jarang para sarjana agama
yang menggunakan atau mendasarkan kajiannya pada sudut pandang muslim itu
sendiri, bahkan ada bukti kuat yang menduga bahwa agama bisa saja berubah
dibawah pengaruh studi-studi akademik.[2]
Berangkat dari kegelisahan tersebut, Richard Martin
menilai bahwa ada kebutuhan yang dirasa begitu kuat untuk menemukan pendekatan
yang membolehkan ekspresi otentik Islam dan agama-agama “lain” untuk berbicara
tanpa terpengaruh dari nilai-nilai personal dari para sarjana. Sehingga para
pengkaji studi agama dapat menemukan penilaian objektif[3]
terhadap peran agama dalam kehidupan manusia.[4]
Maka dari itu muncullah pendekatan yang disebut “fenomenologi agama,” yaitu suatu
pendekatan yang memfokuskan diri pada pencarian “esensi”, “makna”, dan
“struktur fundamental” dari pengalaman keberagamaan manusia, sehingga aspek
internalitas terdalam dari keberagamaan manusia dapat tersingkap. Karena
sesungguhnya didalam pengalaman keberagamaan manusia ada esensi yang irreducible dan itulah struktur
fundamental manusia beragama.[5]
Kontribusi penting fenomenologi agama adalah pada
prinsip dan metode kerja dari pendekatan tersebut yang memusatkan pada proses
pemahaman yang terjadi antara peneliti agama saat menghadapi objek penelitian,
dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama yang
diselidiki secara sengaja ditangguhkan (epoche).
Pemahaman ilmiah dalam pendekatan ini terletak pada keimanan yang diyakini oleh
individu (subjek penelitian) tersebut.
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat yang dipaparkan
oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa objek Sine
Qua non[6]
pemahaman ilmiah adalah keimanan yang diyakini individu Muslim (atau Budhis,
Kristen, Hindu dan sebagainya) dalam konteks kehidupan nyata. Keimanan itu
secara tak sempurna hanya tersingkap dalam materi-materi tekstual-normatif dari
tradisi seperti Islam. Berbagai pembacaan terhadap materi ini akan gagal
memahami keimanan Muslim jika ia menghasilkan penjelasan dan interpretasi yang
tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Muslim itu sendiri.[7] Satu
hal juga yang perlu diketahui bahwa keilmuan fenomenologis ini juga menuntut
pendekatan yang terbuka dan empatik dalam memahami fenomena keagamaan.
Dalam tulisan singkat berikut, penulis hendak
menguraikan kegelisahan akademik Richard C. Martin dan alasan mendasar mengapa
begitu pentingnya pendekatan fenomenologi agama untuk digunakan dalam memahami
fenomena keagamaan manusia di era kontemporer. Semoga makalah ini dapat memberi
sumbangsih dalam khazanah intelektualitas dan ke-Islaman di bumi Indonesia
tercinta, amin.
b. Permasalahan (kegelisahan
akademik)
Dalam lingkup kajian studi Islam dan agama-agama,
kegagalan para sejarawan dan peneliti-peneliti agama abad ke-19 dalam
memberikan pemahaman yang memadai tentang fenomena keberagamaan manusia (Islam)
menjadi satu kegelisahan tersendiri bagi Richard C. Martin. Problem lain yang
juga muncul dalam kajian-kajian Islam tradisional adalah hubungan problematis
antara peneliti (sarjana bidang agama) dengan objek/subjek yang diteliti.
Dimana sering terjadi distorsi dalam memberikan pemaknaan dan pemahaman
mengenai fenomena keberagamaan manusia. Sehingga wajar saja jika ada yang
mengatakan bahwa agama bisa saja berubah secara drastis dibawah pengaruh
kajian-kajian akademik.
Hal tersebut menjadi titik tolak bagi Richard R Martin
dan para pecinta studi-studi kajian Islam untuk mencoba menggali lebih dalam
pendekatan yang lebih tepat dan dianggap mampu memberi tawaran metodologi yang
sesuai dalam memahami fenomena keberagamaan manusia. Lebih lanjut, menurutnya perlu
ditemukan beberapa cara untuk menggambarkan, dari praktik-praktik yang diteliti
dan gagasan-gagasan para pemeluk agama yang dieksposisikan, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan para sejarawan agama dalam rangka memahami proses sosial
yang terstruktur dan mendapat pengakuan dari pemeluk-pemeluknya.[8]
Dari situlah, Richard C. Martin mencoba menawarkan
pendekatan fenomenologi dalam mengkaji fenomena keagamaan. Sekiranya ada dua
pertanyaan yang perlu dibahas: Pertama,
bagaimanakah cara kerja pendekatan fenomenologi agama ala Richard C. Martin? Kedua, apakah pendekatan fenomenologi
ini dapat berfungsi dalam mendekati fenomena keberagamaan manusia?
c.
Pengertian dasar tentang Fenomenologi agama
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang
berarti memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu yang
muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the things themselves”
atau kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena
berarti “penampakan” seperti pilek, demam dan meriang yang menunjukkan fenomena
gejala penyakit.[9]
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan
Edmund Husserll (1859-1938), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau
metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang
dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran,
yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subjek harus
melepaskan atau, menurut istilah Husserl, menaruh tanda kurung semua
pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya serta dengan
simpati melihat objek yang mengarahkan diri kepadanya. Langkah ini disebutnya epoche. Lewat proses ini objek
pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur sementaranya yang tidak hakiki,
sehingga tinggal eidos (hakikat
objek) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran.
Jelaslah disini bahwa fenomenologi Husserl menebas tradisi yang sudah dirintis
sejak Descartes hingga Hegel, yang mengembangkan pengetahuan lewat konstruksi
spekulatif di dalam budi. Karena bagi Husserl, pengetahuan sejati adalah
kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk
teori.[10]
Fenomenologi agama cukup sulit didefinisikan. Namun
demikian, ada dua hal penting yang nampaknya memudahkan seseorang dalam memahami
fenomenologi, pertama adalah metode
memahami agama orang lain dengan berusaha untuk masuk komunitas agama dengan
meninggalkan atribut yang dimilikinya. Kelebihannya dari hal ini adalah si
peneliti bisa mendalami agama orang lain, sedangkan kekurangannya kalau imannya
tidak kuat maka akan membuat iman tersebut tergoyahkan. Kedua, fenomenologi dipandang sebagai suatu pendekatan yang mencoba
mencari fenomena-fenomena agama dengan melintasi batas-batas komunitas, agama
dan budaya.[11]
Asumsi dasar dari penerapan pendekatan fenomenologi agama
ini adalah bahwa bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau
konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dituliskan kerangkanya
dengan menggunakan metode fenomenologi tersebut. Metode ini mencoba menemukan
struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam,
sebagaimana dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum-hukum dan
pengertian-pengertiannya yang khas. Hal itu bermaksud memberikan suatu pandang
menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang kepentingannya sangat menentukan
dalam sejarah fenomena religious. Pendek kata, pendekatan ini mencoba menangkap
dan menginterpretasikan setiap jenis perjumpaan manusia dengan yang suci.[12]
Satu hal juga yang dianggap cukup penting dalam
pendekatan fenomenologi ini, yakni metode Verstehen,
metode yang mencari “pengertian” mendalam terhadap suatu fenomena, yaitu gejala
yang hadir dalam kesadaran manusia. Caranya adalah dengan menghilangkan sekat
antara subjek (peneliti/pengamat) dengan objek (yang diteliti), atau dengan
kata lain, si peneliti menempatkan diri sebagai objek sehingga dengan
perenungan intuitif akhirnya ia mencapai “pengertian” akan ide-ide,
kepercayaan, perasaan, dan nilai-nilai partikular-unik dari objek, untuk
kemudian dicari makna atau pola general yang ada.[13]
d. Metode fenomenologi agama
ala Richard C. Martin
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek
pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena
keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang
diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji
secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan
pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari
pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya
mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
A method adopting the procedures of epochè (suspension of
previous judgements) and eidetic intuition (seeing in to the
meaning of religion) to the study of the varied of symbolic
expressions of that which people appropriately respond to as being unrestricted
value from them.
(sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epochè
[penundaan penilaian-penilaian sebelumnya] dan intuisi eiditis [melihat kedalam
makna agama] dengan kajian terhadap berbagai ekspresi simbolik yang direspon
orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas bagi mereka).
Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan
fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik,
etik, transendental). Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara
kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan
menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau
kebenaran substansialnya. Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan
objektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (natural sciences) dan
bebas nilai (value free), maka fenomenologi memiliki landasan dan
berorientasi pada nilai-nilai (value-bound) seperti kemanusiaan dan
keadilan.
Setidaknya ada enam langkah atau tahapan pendekatan
fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus Van der Leeuw dalam bukunya “Religion in essence and
manifestation: A study in phenomenology of religion”:
1.
Mengklasifikasikan fenomena
keagamaam dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen,
tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan
mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing
fenomena.
2.
Melakukan interpolasi dalam
kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut
membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk
memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.
Melakukan “epochè” atau
menunda penilaian (meminjam istilah Husserl) dengan cara pandang yang netral.
4.
Mencari hubungan struktural dari
informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang holistik tentang
berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.
Tahapan-tahapan tersebut menurut
Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan
“realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
6.
Fenomenologi tidak berdiri sendiri
(operate in isolation) akan tetapi berhubungan dengan
pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga objektivitas.[14]
Adapun cara kerja fenomenologi yang ditawarkan oleh
Richard adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan terbuka dan empatik
1. Pendekatan terbuka dan empatik
2. Epoche yaitu menghilangkan
prasangka atau prejudice.
4. Agama merupakan aspek hakiki dari kehidupan
manusia bukan berasal dari evolusi
5. Harus menemukan sikap universal.[15]
e.
Apresiasi dan Kritik
terhadap Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama merupakan sebuah gerakan pengembangan
dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan
mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena keagamaan. Beberapa
poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi agama diantaranya:
1.
Fenomenologi agama berorientasi
pada faktual deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluatif
akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan
seperti ritual, simbol, ibadah (individual maupun seremonial), teologi (lisan
atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2.
Tidak berusaha menjelaskan
fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk
memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk
mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.
Perbandingan dalam pengertian
terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi
tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan
tertentu.
4.
Menghindari reduksionisme, dalam
arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi,
antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman
manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transendental dan
mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.
Menunda pertanyaan tentang
kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam
suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi
langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.
Terakhir mengembangkan struktur
esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.[16]
Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan
fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari suatu
pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap
fenomenologi agama diantaranya:
1.
Peranan deskriptif. Fenomenologi
agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resisten terhadap campur
tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang fenomenolog memiliki kepentingan
maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan.
Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan
deskriptif murni.
2.
Melihat peristiwa keagamaan tanpa
melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan
fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan
dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam
prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan
fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
3.
Peranan intuisi. kesulitan
peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang benar dan dapat diterima.
Term “objektif” dan “intuisi” adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika
menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverivikasi dalam wilayah
objektif.
4.
Persoalan empati. Adanya
kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan untuk berpartisipasi
langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.[17]
f. Penutup
Kajian-kajian studi Islam pada era abad ke-19 dianggap
telah gagal dalam memberikan pemahaman komprehensif tentang fenomena
keberagamaan muslim. Hal ini lebih didasarkan pada kecenderungan para pengkaji
Islam pada waktu itu yang terlalu mengistimewakan bahasa (bukan bahasa yang
hidup, tetapi teks-teks klasik) dalam mengkaji masyarakat dan pengutamaan pada
pendekatan gramatika dan etimologi dalam mengkaji bahasa teks sebagai dokumen
inti dari masyarakat asalnya. Kajian-kajian mereka lebih ditujukan kepada
tulisan-tulisan Muslim, dan justru bukan pada Muslim sendiri.
Meskipun seseorang dapat memahami masyarakat melalui
kajian teks yang mereka lahirkan, tetapi menyamakan antara teks dan kehidupan
masyarakat secara utuh merupakan sesuatu yang kurang tepat. Hal inilah yang mungkin
menyebabkan muncul banyaknya distorsi-distorsi dalam memahami Islam. Dan hal
ini pula yang menjadi kegelisahan Richard. C. Martin beserta para pengkaji
studi-studi Islam kontemporer.
Apa yang ditawarkannya kemudian, yakni pendekatan
fenomenologi agama-sebuah pendekatan yang terilhami dari landasan filsafat
kontinental- menjadi sesuatu yang cukup penting untuk disoroti para sarjana
agama kontemporer. Karena apa yang ditonjolkan dalam pendekatan fenomenologi
agama, ialah memegang prinsip bahwa untuk memahami sebuah fenomena keberagamaan,
maka yang dibutuhkan adalah membiarkan manifestasi agama tersebut bicara
menurut apa yang dipandangnya dan tanpa pengaruh personal dari peneliti. Hal
inilah sepertinya yang menjadi satu jawaban penting yang selama ini dibutuhkan para
sarjana dalam memahami mengkaji fenomena keberagamaan muslim dan agama lainnya.
Wallahu ‘alam bi al-sawab.[]
Daftar Pustaka
Amin Abdullah, Studi Agama;
Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Amin Abdullah, dkk. Metodologi
Penelitian Agama; Pendekatan multidisipliner, (Yogyakarta:Kurnia Kalam
Semesta, 2006).
Donny Gahral Adian, Percik
Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2005).
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000).
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995).
Richard C. Martin (ed.), Pendekatan
Terhadap Islam Dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta:
Suka Press, 2010).
http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalam-pengkajian.html.
http://pasca-uinsuka.blogspot.com/2008/01/teori
dasar pendekatan dalam pengkajian Islam. html.
http://nazhroul.wordpress.com/2011/02/14/pendekatan-fenomenologi-dalam-studi-islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar