Sabtu, 15 Oktober 2011

Pembacaan terhadap tulisan Richard C. Martin dalam teori dasar pendekatan dalam pengkajian Islam

Pendekatan Fenomenologi/Ilmu Tanpa Prasangka dalam studi Islam
(Pembacaan terhadap tulisan Richard C. Martin
dalam teori dasar pendekatan dalam pengkajian Islam)

Cahaya Khaeroni

a.    Pendahuluan
Dalam sebuah catatan pengantarnya, Richard C. Martin menekankan bahwa pendekatan dalam pengkajian Islam seyogyanya memaparkan Islam sebagaimana apa yang dialami dan dijalankan oleh para pemeluknya. Meskipun bentuk ideal Islam normatif juga tidak luput dilihat, tetapi pengakuan yang harus ditekankan adalah bahwa realitas agama memiliki lokusnya dalam pengalaman penganutnya dan para sarjana mutlak harus tunduk pada pengalaman itu.
Apa yang ditekankan oleh Richard ini bukannya dibangun tanpa alasan, hal ini lebih didasarkan pada pengalaman kegagalan para sejarawan agama abad ke-19 dalam memajukan pemahaman tentang Islam sebagai agama, dan mereka juga dianggap gagal dalam menjelaskan fenomena keagamaan Islam secara memadai. Tidak ada demonstrasi yang sungguh-sungguh meyakinkan bahwa para sejarawan agama dengan metode-metode yang mereka gunakan telah memberi sumbangan yang cukup bermakna dalam memahami Islam.
Disini dapat dipahami bahwa Studi Islam tradisional pada waktu itu ternyata lebih cenderung berorientasi tekstual-normatif dan tradisi filologis yang kuat dan hampir ekslusif. Para sarjana agama ingin memahami dunia Muslim, tetapi kajian-kajiannya hanya ditujukan lewat tulisan-tulisan muslim, bukan kepada muslim sendiri. Sehingga hal tersebut menyebabkan para sarjana agama dalam mengkaji, memahami, dan menjelaskan fenomena keberagamaan manusia cenderung bersifat reduktif. Selain itu, studi Islam tradisional barulah melihat dan menyentuh kulit luar atau aspek eksternalitas dari keberagamaan manusia semata, dan pada dasarnya belum menyentuh aspek relung-relung internalitas-kedalaman keberagamaan manusia.[1]
Problem lain yang juga sering dianggap sebagai kegagalan sejarawan agama dalam menjelaskan fenomena keagamaan Islam secara memadai adalah terletak pada terjadinya hubungan yang sangat problematis antara peneliti (sarjana agama) dengan yang diteliti. Dimana peneliti justru sering membuat distorsi dalam memahami fenomena keberagaman manusia. Para sarjana memang berupaya mengkaji dunia Muslim secara serius (dan ini tetap perlu untuk diapresiasi), hanya saja kegiatan intelektual yang mereka lakukan ternyata lebih berdasarkan atas pandangan mereka sendiri. Sangat jarang para sarjana agama yang menggunakan atau mendasarkan kajiannya pada sudut pandang muslim itu sendiri, bahkan ada bukti kuat yang menduga bahwa agama bisa saja berubah dibawah pengaruh studi-studi akademik.[2]
Berangkat dari kegelisahan tersebut, Richard Martin menilai bahwa ada kebutuhan yang dirasa begitu kuat untuk menemukan pendekatan yang membolehkan ekspresi otentik Islam dan agama-agama “lain” untuk berbicara tanpa terpengaruh dari nilai-nilai personal dari para sarjana. Sehingga para pengkaji studi agama dapat menemukan penilaian objektif[3] terhadap peran agama dalam kehidupan manusia.[4] Maka dari itu muncullah pendekatan yang disebut “fenomenologi agama,” yaitu suatu pendekatan yang memfokuskan diri pada pencarian “esensi”, “makna”, dan “struktur fundamental” dari pengalaman keberagamaan manusia, sehingga aspek internalitas terdalam dari keberagamaan manusia dapat tersingkap. Karena sesungguhnya didalam pengalaman keberagamaan manusia ada esensi yang irreducible dan itulah struktur fundamental manusia beragama.[5]
Kontribusi penting fenomenologi agama adalah pada prinsip dan metode kerja dari pendekatan tersebut yang memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi antara peneliti agama saat menghadapi objek penelitian, dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama yang diselidiki secara sengaja ditangguhkan (epoche). Pemahaman ilmiah dalam pendekatan ini terletak pada keimanan yang diyakini oleh individu (subjek penelitian) tersebut.
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat yang dipaparkan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa objek Sine Qua non[6] pemahaman ilmiah adalah keimanan yang diyakini individu Muslim (atau Budhis, Kristen, Hindu dan sebagainya) dalam konteks kehidupan nyata. Keimanan itu secara tak sempurna hanya tersingkap dalam materi-materi tekstual-normatif dari tradisi seperti Islam. Berbagai pembacaan terhadap materi ini akan gagal memahami keimanan Muslim jika ia menghasilkan penjelasan dan interpretasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Muslim itu sendiri.[7] Satu hal juga yang perlu diketahui bahwa keilmuan fenomenologis ini juga menuntut pendekatan yang terbuka dan empatik dalam memahami fenomena keagamaan.
Dalam tulisan singkat berikut, penulis hendak menguraikan kegelisahan akademik Richard C. Martin dan alasan mendasar mengapa begitu pentingnya pendekatan fenomenologi agama untuk digunakan dalam memahami fenomena keagamaan manusia di era kontemporer. Semoga makalah ini dapat memberi sumbangsih dalam khazanah intelektualitas dan ke-Islaman di bumi Indonesia tercinta, amin.

b.   Permasalahan (kegelisahan akademik)
Dalam lingkup kajian studi Islam dan agama-agama, kegagalan para sejarawan dan peneliti-peneliti agama abad ke-19 dalam memberikan pemahaman yang memadai tentang fenomena keberagamaan manusia (Islam) menjadi satu kegelisahan tersendiri bagi Richard C. Martin. Problem lain yang juga muncul dalam kajian-kajian Islam tradisional adalah hubungan problematis antara peneliti (sarjana bidang agama) dengan objek/subjek yang diteliti. Dimana sering terjadi distorsi dalam memberikan pemaknaan dan pemahaman mengenai fenomena keberagamaan manusia. Sehingga wajar saja jika ada yang mengatakan bahwa agama bisa saja berubah secara drastis dibawah pengaruh kajian-kajian akademik.
Hal tersebut menjadi titik tolak bagi Richard R Martin dan para pecinta studi-studi kajian Islam untuk mencoba menggali lebih dalam pendekatan yang lebih tepat dan dianggap mampu memberi tawaran metodologi yang sesuai dalam memahami fenomena keberagamaan manusia. Lebih lanjut, menurutnya perlu ditemukan beberapa cara untuk menggambarkan, dari praktik-praktik yang diteliti dan gagasan-gagasan para pemeluk agama yang dieksposisikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan para sejarawan agama dalam rangka memahami proses sosial yang terstruktur dan mendapat pengakuan dari pemeluk-pemeluknya.[8]
Dari situlah, Richard C. Martin mencoba menawarkan pendekatan fenomenologi dalam mengkaji fenomena keagamaan. Sekiranya ada dua pertanyaan yang perlu dibahas: Pertama, bagaimanakah cara kerja pendekatan fenomenologi agama ala Richard C. Martin? Kedua, apakah pendekatan fenomenologi ini dapat berfungsi dalam mendekati fenomena keberagamaan manusia?

c.    Pengertian dasar tentang Fenomenologi agama
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the things themselves” atau kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena berarti “penampakan” seperti pilek, demam dan meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit.[9]
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Edmund Husserll (1859-1938), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subjek harus melepaskan atau, menurut istilah Husserl, menaruh tanda kurung semua pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat objek yang mengarahkan diri kepadanya. Langkah ini disebutnya epoche. Lewat proses ini objek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur sementaranya yang tidak hakiki, sehingga tinggal eidos (hakikat objek) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran. Jelaslah disini bahwa fenomenologi Husserl menebas tradisi yang sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, yang mengembangkan pengetahuan lewat konstruksi spekulatif di dalam budi. Karena bagi Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.[10]
Fenomenologi agama cukup sulit didefinisikan. Namun demikian, ada dua hal penting yang nampaknya memudahkan seseorang dalam memahami fenomenologi, pertama adalah metode memahami agama orang lain dengan berusaha untuk masuk komunitas agama dengan meninggalkan atribut yang dimilikinya. Kelebihannya dari hal ini adalah si peneliti bisa mendalami agama orang lain, sedangkan kekurangannya kalau imannya tidak kuat maka akan membuat iman tersebut tergoyahkan. Kedua, fenomenologi dipandang sebagai suatu pendekatan yang mencoba mencari fenomena-fenomena agama dengan melintasi batas-batas komunitas, agama dan budaya.[11]
Asumsi dasar dari penerapan pendekatan fenomenologi agama ini adalah bahwa bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dituliskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi tersebut. Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam, sebagaimana dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum-hukum dan pengertian-pengertiannya yang khas. Hal itu bermaksud memberikan suatu pandang menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang kepentingannya sangat menentukan dalam sejarah fenomena religious. Pendek kata, pendekatan ini mencoba menangkap dan menginterpretasikan setiap jenis perjumpaan manusia dengan yang suci.[12]
Satu hal juga yang dianggap cukup penting dalam pendekatan fenomenologi ini, yakni metode Verstehen, metode yang mencari “pengertian” mendalam terhadap suatu fenomena, yaitu gejala yang hadir dalam kesadaran manusia. Caranya adalah dengan menghilangkan sekat antara subjek (peneliti/pengamat) dengan objek (yang diteliti), atau dengan kata lain, si peneliti menempatkan diri sebagai objek sehingga dengan perenungan intuitif akhirnya ia mencapai “pengertian” akan ide-ide, kepercayaan, perasaan, dan nilai-nilai partikular-unik dari objek, untuk kemudian dicari makna atau pola general yang ada.[13]

d.   Metode fenomenologi agama ala Richard C. Martin
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
A method adopting the procedures of epochè (suspension of previous judgements) and eidetic intuition (seeing in to the meaning of religion) to the study of the varied of symbolic expressions of that which people appropriately respond to as being unrestricted value from them.
(sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epochè [penundaan penilaian-penilaian sebelumnya] dan intuisi eiditis [melihat kedalam makna agama] dengan kajian terhadap berbagai ekspresi simbolik yang direspon orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas bagi mereka).

Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya. Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value-bound) seperti kemanusiaan dan keadilan.
Setidaknya ada enam langkah atau tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus Van der Leeuw dalam bukunya “Religion in essence and manifestation: A study in phenomenology of religion”:
1.    Mengklasifikasikan fenomena keagamaam dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.    Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.    Melakukan “epochè” atau menunda penilaian (meminjam istilah Husserl) dengan cara pandang yang netral.
4.    Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang holistik tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.    Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
6.    Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in isolation) akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga objektivitas.[14]
Adapun cara kerja fenomenologi yang ditawarkan oleh Richard adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan terbuka dan empatik
2. Epoche yaitu menghilangkan prasangka atau prejudice.
4. Agama merupakan aspek hakiki dari kehidupan manusia bukan berasal dari evolusi
5. Harus menemukan sikap universal.[15]

e.    Apresiasi dan Kritik terhadap Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama merupakan sebuah gerakan pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena keagamaan. Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi agama diantaranya:
1.    Fenomenologi agama berorientasi pada faktual deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluatif akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti ritual, simbol, ibadah (individual maupun seremonial), teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2.    Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.    Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi  keagamaan tertentu.
4.    Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.    Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.    Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.[16]

Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap fenomenologi agama diantaranya:
1.    Peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resisten terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang fenomenolog memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
2.    Melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
3.    Peranan intuisi. kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang benar dan dapat diterima. Term “objektif” dan “intuisi” adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverivikasi dalam wilayah objektif.
4.    Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan untuk berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.[17]
f.     Penutup
Kajian-kajian studi Islam pada era abad ke-19 dianggap telah gagal dalam memberikan pemahaman komprehensif tentang fenomena keberagamaan muslim. Hal ini lebih didasarkan pada kecenderungan para pengkaji Islam pada waktu itu yang terlalu mengistimewakan bahasa (bukan bahasa yang hidup, tetapi teks-teks klasik) dalam mengkaji masyarakat dan pengutamaan pada pendekatan gramatika dan etimologi dalam mengkaji bahasa teks sebagai dokumen inti dari masyarakat asalnya. Kajian-kajian mereka lebih ditujukan kepada tulisan-tulisan Muslim, dan justru bukan pada Muslim sendiri.
Meskipun seseorang dapat memahami masyarakat melalui kajian teks yang mereka lahirkan, tetapi menyamakan antara teks dan kehidupan masyarakat secara utuh merupakan sesuatu yang kurang tepat. Hal inilah yang mungkin menyebabkan muncul banyaknya distorsi-distorsi dalam memahami Islam. Dan hal ini pula yang menjadi kegelisahan Richard. C. Martin beserta para pengkaji studi-studi Islam kontemporer.
Apa yang ditawarkannya kemudian, yakni pendekatan fenomenologi agama-sebuah pendekatan yang terilhami dari landasan filsafat kontinental- menjadi sesuatu yang cukup penting untuk disoroti para sarjana agama kontemporer. Karena apa yang ditonjolkan dalam pendekatan fenomenologi agama, ialah memegang prinsip bahwa untuk memahami sebuah fenomena keberagamaan, maka yang dibutuhkan adalah membiarkan manifestasi agama tersebut bicara menurut apa yang dipandangnya dan tanpa pengaruh personal dari peneliti. Hal inilah sepertinya yang menjadi satu jawaban penting yang selama ini dibutuhkan para sarjana dalam memahami mengkaji fenomena keberagamaan muslim dan agama lainnya. Wallahu ‘alam bi al-sawab.[]










Daftar Pustaka


Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Amin Abdullah, dkk. Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan multidisipliner, (Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta, 2006).

Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2005).

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995).

Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Suka Press, 2010).

http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalam-pengkajian.html.

http://pasca-uinsuka.blogspot.com/2008/01/teori dasar pendekatan dalam pengkajian Islam. html.

http://nazhroul.wordpress.com/2011/02/14/pendekatan-fenomenologi-dalam-studi-islam.


Tidak ada komentar: