PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (EDUCATION FOR ALL)
(Sebuah tinjauan kebijakan Pemerintah dalam analisis SWOT)
Cahaya Khaeroni
A. Pendahuluan
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Hanya saja, landasan normatif tersebut seolah-olah luntur ketika dihadapkan dengan realitas pendidikan yang ada dilapangan. Karena, ternyata apa yang ditunjukan fakta dilapangan justru lebih banyak membuktikan bahwa institusi-institusi pendidikan seringkali menampilkan wajahnya yang ambigu dan paradoksal.
Potret wajah ambigu tersebut telah ditampilkan pada beberapa hal, misal; Sekolah sering menggembor-gemborkan slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada praktiknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan kapital. Sekolah punya visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada akhirnya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, khususnya kaum difabel. Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar untuk semua, tapi dalam praktiknya hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai, dan cerdas serta mengekslusi mereka yang punya keterbatasan intelektual.[1]
Terkait dengan problem tersebut, kemunculan Renstra (rencana strategis) departemen pendidikan nasional tahun 2010-2014 yang beberapa waktu terakhir digulirkan,[2] dirasa membawa angin segar bagi masyarakat khususnya golongan menengah kebawah yang selama ini rindu untuk mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu. Pasalnya, dalam renstra tersebut terkandung strategi-strategi pemerintah yang menempatkan visi perwujudan pendidikan berkualitas dan berkeadilan sosial sebagai prioritas utama. Dan seandainya hal ini mampu berjalan secara baik, tentu akan menjadi satu langkah maju bagi pendidikan di Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhurnya, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menelaah dan menganalisis lebih lanjut tentang kebijakan pemerataan akses pendidikan atau yang yang lebih sering dikenal dengan istilah “pendidikan untuk semua.” Hal ini penting, mengingat kebijakan tersebut jelas memiliki nilai yang signifan bagi masyarakat golongan menengah kebawah yang umumnya berposisi sebagai masyarakat mayoritas, bahkan kebijakan tersebut juga merupakan suatu bagian dari bentuk perwujudan visi pencerdasan bangsa. Dengan harapan semoga tulisan ringkas ini memiliki kontribusi signifikan bagi khazanah intelektual pendidikan yang ada di Negara kita tercinta, amin.
B. Rumusan masalah
1. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan konsep pendidikan untuk semua?
2. Bagaimanakah kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan konsep pendidikan untuk semua?
3. Bagaimana sesungguhnya kondisi riil dilapangan?
4. Bagaimana sesungguhnya posisi kebijakan pemerintah tentang pendidikan untuk semua, jika ditinjau dalam analisis swot?
C. Menelusuri akar kemunculan konsep Pendidikan untuk semua (Education for all)
Pendidikan untuk semua atau yang lebih popular disebut Education for All (EFA) adalah satu deklarasi yang diluncurkan pada sidang UNESCO (United Nation for Education, Scientific, and Cultural Organization) di Jomtien, Thailand pada tahun 1990. Oleh karena itu, deklarasi tersebut disebut sebagai Deklarasi Jomtien. Dan juga penting untuk diketahui, bahwa UNESCO adalah salah satu badan dibawah PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang mengurus pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.[3]
Dalam Deklarasi Jomtien tersebut, semua anggota UNESCO sepakat untuk berusaha sekuat tenaga dalam mencapai empat sasaran pendidikan, yakni (1) setiap anak harus memperoleh layanan pendidikan dasar, (2) setiap anak harus memiliki pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai, dan sikap yang memudahkan anak untuk memperbaiki hidup, (3) pendidikan harus relevan dan berguna bagi kehidupan manusia, dan (4) program pendidikan alternatif harus diberikan kepada anak yang kurang atau sama sekali tidak memiliki kemudahan terhadap pendidikan dan program ini harus memiliki standar yang setara dengan pendidikan yang diberikan secara nasional.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2000, semua anggota UNESCO mengadakan pertemuan kembali di Dakar, Senegal, dan menghasilkan enam kesepakatan untuk mencapai sasaran tahun 2015, yakni (1) memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, (2) menjamin semua anak, khususnya perempuan, anak-anak yang dalam keadaan tersulit dan termasuk minoritas etnik mempunyai akses pada pendidikan dan menyelesaikan pendidikan dasar atau wajib belajar, (3) menjamin terpenuhinya kebutuhan belajar untuk semua anak muda dan orang dewasa melalui akses berbagai program belajar dan ketrampilan hidup yang memadai, (4) mencapai perbaikan 50% pada tingkat tuna aksara orang dewasa, (5) menghapus disparitas gender pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, (6) memperbaiki semua aspek mutu pendidikan dan menjamin keunggulan hasil belajar, khususnya dalam keaksaraan, ketrampilan berhitung, dan ketrampilan hidup.[4]
D. Paradigma Pendidikan untuk semua (Education for all)
Paradigma pendidikan untuk semua merupakan upaya pemenuhan akan kebutuhan pendidikan sebagai hak azasi manusia minimal pada tingkat pendidikan dasar. Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung pembangunan bangsa. Paradigma ini merupakan salah satu paradigma dan prinsip penjaminan mutu pendidikan nasional.
Hal ini sebagaimana termuat dalam amandemen keempat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) yang menyatakan:
1. Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
2. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan satu sistem pendidikan nasional.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.[5]
Konsekuensi dari paradigma ini adalah bahwa setiap individu berhak dan wajib mengikuti dan menyelesaikan pendidikan minimal pada tingkat pendidikan dasar dan pemerintah harus membiayainya, karena pendidikan tingkat ini merupakan kunci awal dari pembelajaran sepanjang hayat.
Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung pembangunan bangsa. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar sebagai pemenuhan hak asasi manusia telah menjadi komitmen global. Oleh karena itu, program ‘pendidikan untuk semua’ perlu diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan sistem pendidikan terbuka dan demokratis agar dapat menjangkau mereka yang berdomisili di tempat terpencil serta mereka yang mempunyai kendala ekonomi dan sosial.
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu equality dan equity. Equality atau persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.[6]
Coleman dalam bukunya Equality of Educational Opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni : Pemerataan aktif dan Pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya. Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.[7]
Dengan demikian dimensi pemeratan pendidikan mencakup hal-hal yaitu equality of access, equality of survival, equality of output, dan equality of outcome. Apabila dimensi-dimensi tersebut menjadi landasan dalam mendekati masalah pemerataan pendidikan, nampak betapa rumit dan sulitnya menilai pemerataan pendidikan yang dicapai oleh suatu daerah, apalagi bagi negara yang sedang membangun dimana kendala pendanaan nampak masih cukup dominan baik dilihat dari sudut kuantitas maupun efektivitas.
E. Landasan Kebijakan Pemerataan Akses Pendidikan
Peran Negara tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan.[8] Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang dalam hal ini pemerintah,[9] pada dasarnya mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
UUD 1945 mengamanatkan mengenai pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28 C Ayat (1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Pemerintah telah melakukan berbagai terobosan dalam merumuskan berbagai kebijakan terkait pemerataan akses pendidikan, hal ini sebagaimana yang telah termaktub dalam Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas tahun 2010-2014.
Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010-2014 disusun berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Peraturan Presiden No…. Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Selama kurun waktu 2010-2014 Kementerian Pendidikan Nasional ingin mewujudkan "Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif". Untuk mencapai visi tersebut, Kemendiknas mengemas misi dengan sebutan "Misi 5K", yaitu; (1) meningkatkan Ketersediaan layanan pendidikan secara merata di seluruh pelosok nusantara; (2) meningkatkan Keterjangkauan layanan pendidikan oleh seluruh lapisan masyarakat; (3) meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi layanan pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, dunia industri, dan dunia usaha; (4) meningkatkan Kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan bagi warga negara Indonesia dalam memperoleh pendidikan berkualitas dengan memperhatikan keberagaman latar sosial budaya, ekonomi, geografi, serta; (5) meningkatkan Kepastian/Keterjaminan bagi seluruh warga negara Indonesia mengenyam pendidikan yang bermutu. Dari kelima misi tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional bertekad melayani kebutuhan pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, baik melalui jalur formal maupun non-formal dengan memegang tata nilai yang amanah, profesional, visioner, demokratis, inklusif, dan berkeadilan.[10]
Adapun berikut ini adalah enam strategi Depdiknas dalam upaya merealisasikan visi dan misinya tersebut, sebagaimana yang telah terumuskan dalam Renstra Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014, yaitu:
1. Perluasan dan pemerataan akses PAUD bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota.
Upaya pemerataan dan perluasan akses PAUD yang bermutu sangat urgent sekali. Karena jika ditelaah dari cikal bakal kelahirannya, menurut Kasi Dikmas dan PAUD, Asep S. Effendi, program PAUD pada dasarnya diadakan untuk merangsang otak anak-anak usia dini agar lebih mudah menyerap pelajaran sebelum masuk Taman Kanak-kanak (TK). Usia dini merupakan masa keemasan anak-anak dalam menerima materi-materi pendidikan, baik formal maupun non-formal. Jadi PAUD diadakan guna melengkapi pendidikan yang sudah ada di lingkungan keluarga.
PAUD terbagi atas tiga kategori, yakni formal, non-formal dan informal. Yang dikategorikan PAUD formal yaitu Taman Kanak-kanak (TK) dan Roudhatul Atfhal (RA). Sementara PAUD non-formal yakni Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Satuan PAUD Sejenis (SPS), yang terbagi atas Bina Keluarga Balita (BKB) PAUD, Tempat pembelajaran Qur'an (TPQ), Taman Bina Anak Muslim (TBAM) dan Sekolah Mingguan milik Gereja. Sedangkan yang dimaksud PAUD informal adalah pendidikan yang didapat di lingkungan keluarga atau tak terlembaga.[11]
Untuk wilayah DKI Jakarta, jumlah PAUD secara keseluruhan mencapai 644 buah. Dengan rincian, 27 TPA, 69 KB dan 548 SPS. Sejumlah PAUD yang disebutkan tersebut merupakan PAUD yang terdata secara resmi di Sisdiknas. Di luar itu masih banyak lagi PAUD yang belum terdaftar. Mungkin karena usia PAUD yang belum mencapai dua tahun atau belum berjalan aktif.
Juga tidak dapat dipungkiri, sarana belajar dan mengajar di PAUD masih sangat minim dibandingkan dengan sekolah formal. Terlebih membicarakan bayaran staf pengajar PAUD yang sangat berbanding terbalik dengan staf pengajar di sekolah-sekolah formal. Dikarenakan PAUD tergolong dalam pendidikan non-formal dan berangkat dari rasa kepedulian maka sistem pembayaran para pengajar tidak terstruktur dengan baik dan benar. Penghargaan bagi mereka memang masih rendah saat ini. Oleh karena itu, para pengajar PAUD sejauh ini masih datang dari kalangan relawan.
PTKPNF (Pendidik dan Tenaga Pendidikan Non Formal) ditunjuk oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk mengatur pemberian insentif kepada staf pengajar PAUD. Pada tahun anggaran 2009, tercatat hanya 2530 staf pengajar PAUD yang menerima insentif atau bayaran. Satu orang pengajar mendapatkan insentif senilai Rp 100 ribu per bulan, atau Rp 1,2 juta per tahun. Sedangkan total keseluruhan staf pengajar PAUD untuk wilayah Jakarta yakni 5300 orang. Sisanya belum ter-cover untuk diberikan insentif. Mereka yang sudah menerima insentif merupakan staf pengajar yang sudah terdaftar oleh Sisdiknas.[12]
Namun sejauh ini pemerintah belum dapat mengalokasikan anggaran dalam jumlah besar untuk program PAUD. Terlebih PAUD hanyalah merupakan pendidikan non-formal yang dianggap sebagai pelengkap semata, serta tidak masuk dalam program wajib belajar, sehingga pemerintah tidak menanggung biaya secara keseluruhan.
2. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan dasar universal bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota.[13]
3. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan menengah bermutu, berkesetaraan gender, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat di semua provinsi, kabupaten, dan kota.
4. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi bermutu, berdaya saing internasional, berkesetaraan gender, dan relevan dengan kebutuhan bangsa dan Negara.
5. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan orang dewasa berkelanjutan yang berkesetaraan gender dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.[14]
6. Penguatan tata kelola, sistem pengendalian manajemen, dan sistem pengawasan intern.[15]
Hampir secara keseluruhan dari renstra yang disusun oleh departemen pendidikan nasional mencantumkan konsep pengarusutamaan gender, menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh, hal ini didasari alasan bahwa masyarakat masih kuat menganut paham patriarki. Lebih lanjut, beliau menegaskan, paradigma masyarakat tentang gender[16] harus digeser, karena menurutnya, laki-laki dan perempuan adalah sama.[17]
Mendiknas mengungkapkan, fakta bias gender terjadi di berbagai sisi kehidupan masyarakat, seperti di dunia akademik, jabatan, dan karir. Menurut Mendiknas, Kelompok-kelompok perempuan kurang bisa berpartisipasi di dalam ikut serta membangun bangsa. Ini menunjukkan bahwa faktanya yang terjadi memang demikian. Bisa jadi karena memang sejarah panjang bahwa perempuan secara ideologinya berada pada garis belakang. Oleh karena alasan itulah kenapa perlunya dilakukan pengarusutamaan gender.
Bahkan jika ditinjau dalam wilayah pendidikan, bias jender-pun hampir merambah keseluruh tingkatan pendidikan, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Amany Lubis:
Gender inequity in the field of education in Indonesia shows that women’s access to schooling is still low. Legally speaking, article 31 of the 1945 constitution, which enshrines the right to education of all Indonesians. State that there is tobe no difference between the enrollment of boys and girls in schools.[18]
Senada dengan Mendiknas, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari mengatakan, bahwa pengarusutamaan gender merupakan harga mati dan harus dilakukan agar pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan, program, kegiatan yang adil dan responsif gender kepada rakyatnya, baik perempuan dan laki-laki. Selain itu, lanjut Linda, kebijakan dan pelayanan publik, serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi semua rakyat perempuan dan laki-laki. "Keberhasilan pelaksanaan pengarusutamaan gender memperkuat kehidupan sosial, politik, dan ekonomi suatu bangsa," katanya.[19]
F. Realitas di lapangan; tantangan atau hambatan?
1. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2011
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 telah mencapai 237.600.000 dan jumlah itupun masih akan terus bertambah (terutama di pedesaan); bayi yang lahir saja setiap tahun bertambah 4,5 juta. Sedangkan, orang-orang kaya berpenghasilan rata-rata US$10.000,- per tahun sudah lebih dari 25 juta orang; dan yang berpenghasilan rata-rata US$5.000,- telah mencapai 75 juta orang. Dan yang berpenghasilan rendah (sekitar US$1500) masih berjumlah 137,6 juta orang.[20]
Dari data-data tersebut ada beberapa hal yang patut dicermati, diantaranya yaitu, jumlah penduduk Indonesia setiap tahun semakin bertambah pesat, bahkan Indonesia merupakan Negara nomor ke-empat dengan jumlah penduduk terbesar didunia. Di sisi lain, dari keseluruhan jumlah tersebut ternyata 137,6 juta jiwa nota benenya adalah penduduk miskin.[21] Padahal, kebutuhan akan pemenuhan pendidikan bersifat sangatlah mendesak dan krusial. Bisa dibayangkan berapa jumlah anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, mampukah pemerintah memenuhi akan kebutuhan pendidikan masyarakat? Sementara itu, budaya korupsi juga masih sangat menggurita hingga keseluruh elemen pemerintahan.
2. Tingkat pendidikan yang masih minim
Minimnya tingkat pendidikan yang ada di Indonesia juga menjadi satu fakta otentik yang penting untuk diperhatikan. Sebagai misal, Survei sosial ekonomi daerah Jabar tahun 2009 memperlihatkan, lebih dari separuh angkatan kerja di Jabar hanya lulusan SD. Jumlah angkatan kerja berpendidikan SD dan tidak tamat SD ini sebanyak 9,8 juta orang dari total 18,98 juta angkatan kerja di Jabar. Lainnya hanya tamatan SLTP (17 persen) dan SLTA (23 persen).
Alhasil, angkatan kerja di provinsi ini kurang kompetitif. Angka pengangguran masih tinggi yakni 2,08 juta orang atau 11 persen dari angkatan kerja. Kondisi ini tampaknya terkait belum optimalnya penyelenggaraan pendidikan dasar di Jabar. Rata-rata lama sekolah (RLS) di provinsi ini baru 7,5 tahun. Artinya, rata-rata penduduk di Jabar hanya kelas II SLTP. Apalagi, buta huruf masih menjadi persoalan yang menimpa 1,7 juta orang berusia 10 tahun ke atas. Mayoritas adalah kaum perempuan. Kondisi ini terutama dijumpai di wilayah pantura, seperti Indramayu (19 persen), Subang (14 persen), dan Karawang (11 persen).[22]
Putus sekolah juga masih menjadi problem yang terus menghantui masyarakat. Sebanyak 74.000 siswa SD tercatat tidak lagi bersekolah tahun 2009, antara lain karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Kondisi ini terutama dijumpai di Kabupaten Bandung Barat (4 persen), Kota dan Kabupaten Cirebon (masing-masing 3 persen).[23]
Perlu diketahui juga, bahwa sebagian besar penduduk yang belum menikmati pendidikan yang maju adalah penduduk pedesaan. Dan karena sebagian besar anak-anak gadis pedesaan tidak mampu melanjutkan pendidikan tingginya (dan pendidikan tingkat menengahnya), maka sebagian mereka itu, menjadi pembantu rumah tangga dikota-kota.[24]
Imbas yang paling besar dari hal tersebut adalah rendahnya kualitas SDM bangsa Indonesia. Jika diklarifikasi lebih lanjut, dalam hal kualitas “Human Resource Development Program” (HRDP) atau yang sering dikenal dengan istilah SDM (Sumber Daya Manusia), bangsa Indonesia ternyata menduduki peringkat ke 108 dari 197 anggota PBB.[25]
Rendahnya kualitas SDM tersebut, ternyata juga diperparah dengan rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil survei United Nations Educational. Scientific and Cultural Organization (Unesco/ Organisasi Pendidikan. Ilmu, dan Budaya) menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan minat baca masyarakat paling rendah di Asean. Padahal, peningkatan minat baca masyarakat jelas akan mempercepat kemajuan bangsa Indonesia, karena tidak ada satu Negara pun yang dapat maju tanpa buku.[26]
Tentu hal ini menjadi satu PR yang sangat besar bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia, dan otomatis tujuan tersebut akan tercapai jika ditopang dengan upaya pemerataan pendidikan yang bermutu dan penguatan kembali minat belajar masyarakat.
G. Analisis Swot
1. Kekuatan kebijakan pendidikan untuk semua
Kebijakan ini merupakan kebijakan yang populis, sehingga sudah pasti akan mendapat dukungan dari berbagai seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat dari golongan menengah kebawah. Hal ini sekaligus merupakan suatu bentuk upaya pembenahan pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang pro-rakyat, setelah beberapa waktu sebelumnya pemerintah justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak membela kepentingan dan hak rakyat akan pendidikan, dan terkesan seolah-olah pemerintah justru menganut dan menghamba pada ideologi kapitalis yang represif terhadap rakyat, semisal: kebijakan BHP (Badan Hukum Pendidikan).
Untuk memperkokoh dan merengkuh kepercayaan masyarakat, pemerintah-yang dalam hal ini yaitu Mendiknas, Muhammad Nuh. Mewujudkan dalam beberapa langkah konkritnya, seperti: mewajibkan semua perguruan tinggi negeri se-Indonesia untuk menerima dan memprioritaskan mahasiswa miskin sebanyak 20%.[27] Bahkan, universitas seperti UGM mulai juni 2011 mendatang menutup seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri, hal tersebut juga sekaligus menjawab isu komersialisasi kampus.[28] Kebijakan dan langkah-langkah konkrit tersebut Jelas akan semakin mendapat dukungan yang sangat kuat sekali dari berbagai lapisan masyarakat.
Kekuatan lain yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dana anggaran pendidikan yang cukup tinggi yakni penetapan anggaran 20% dari APBN dijadikan prioritas utama dalam penyelenggaraan pendidikan.
2. Kelemahan kebijakan pendidikan untuk semua
Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi kebijakan pendidikan untuk semua adalah:
a. Kebijakan ini, khususnya dalam hal akses pendidikan gratis baru sebatas institusi-institusi yang ada dibawah naungan pemerintah saja (baca: negeri). Sementara yang ada di lembaga swasta (baca: madrasah) justru belum tersentuh oleh kebijakan tersebut. Padahal, Madrasah di Indonesia yang dikelola swasta kini mencapai sekitar 91,5 persen, sedangkan hanya 8,5 persen yang dikelola oleh negeri. Dari 91,5 persen itu, banyak yang mengalami kendala di bidang biaya operasional. Kementerian Agama sendiri, Suryadharma Ali baru berniat untuk membahas dan mengkaji madrasah gratis pada pertengahan 2011 mendatang.[29] Hal ini harus jadi sorotan penting pemerintah, mengingat jumlah penduduk miskin yang wajib dipenuhi hak pendidikannya ada sekitar 137,6 juta orang. Tentu saja jika hanya mengandalkan insitusi-instusi negeri semata, menurut hemat penulis pemenuhan akses pendidikan ini belum cukup memadai, akses pendidikan gratis ini juga perlu merambah ke wilayah institusi-institusi swasta (baca: madrasah), mengingat potensinya yang sangat besar. Namun, pemerintah perlu memperhitungkan juga berapa dampak biaya yang harus dikeluarkan apabila madrasah hendak digratiskan, baik uang muka maupun uang bulanan.
b. Perlu diketahui juga bahwa hampir 50% perguruan tinggi berada di Jakarta dan Yogyakarta dan 50% lagi baru tersebar di kota-kota propinsi, kotamadya, dan kota-kota kabupaten. Demikian pula kebanyakan sekolah-sekolah menengah berada di wilayah perkotaan. Lebih lanjut, jika menilik survey dari BPS (Badan Pusat Statistik) tentang potensi desa tahun 2008 menunjukkan bahwa di Indonesia ada 6.425 kecamatan. Tetapi masih banyak kecamatan yang belum mempunyai SMP, SMA, dan SMK. Dari 6.425 kecamatan itu baru ada 6.202 SMP, 5.062 SMA, dan 2.852 SMK.[30] Dari data ini bisa disimpulkan bahwa apakah dengan adanya kebijakan tersebut, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah akan di sebar secara merata keseluruh penjuru Indonesia, atau tetap membiarkan penduduk untuk melakukan urbanisasi dalam mengakses pendidikan. Jika hendak disebarpun, juga perlu memperhitungkan berapa dampak biaya yang harus dikeluarkan. Jika tidak disebar secara merata ke daerah-daerah di luar Jawa yang notabene nya masih tertinggal, apakah tidak memunculkan kecemburuan sosial?
c. Mental korup yang telah membudaya dan telah mendarah daging hampir disemua elemen pemerintahan.
3. Peluang implementasi kebijakan
Setelah meninjau kekuatan dan kelemahan dari kebijakan pendidikan untuk semua, tentu perlu dicarikan celah peluang keberhasilan dalam pelaksanaannya. Kebijakan ini sesungguhnya memiliki peluang yang cukup signifikan dalam hal keberhasilan pelaksanaannya karena telah menjadi fokus perhatian dari berbagai pihak dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, dukungan dan kontrol dari masyarakat dapat terus berjalan selama kebijakan ini tetap digunakan.
4. Tantangan implementasi kebijakan
Adapun tantangan yang harus tetap diperhitungkan dalam pengimplementasian kebijakan ini adalah: Pertama, Upaya pemerataan akses pendidikan jelas menuntut pendidikan yang merata, namun disisi lain jumlah penduduk miskin sangatlah besar. ini harus dipikirkan secara matang tentang bagaimana mengupayakan tercukupinya anggaran dalam memenuhi hak pendidikan masyarakat. Kedua, pendidikan yang merata tentu belum cukup jika tanpa diimbangi dengan pendidikan yang bermutu. Hal ini menjadi tantangan penting juga bagi pemerintah, karena apalah gunanya jika hanya mendapat akses pendidikan secara merata, tapi tidak mendapatkan akses yang bermutu. Bukankah visi yang termaktub dalam UUD 1945 adalah visi mencerdaskan kehidupan bangsa? Tentu pemenuhan pendidikan yang bermutu harus berjalan seiring dengan pemerataan pendidikan, seperti laiknya sekeping koin berwajah ganda.
H. Penutup
Pemerataan pendidikan merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah. Namun, dalam wilayah implementasi kebijakan harus tetap menjadi perhatian yang serius, sehingga apa yang tampak dari pemberlakuan kebijakan ini tidak hanya menjadi sesuatu yang utopis. Setidaknya ada beberapa saran dan rekomendasi yang perlu penulis sampaikan, diantaranya yaitu: Pertama, pemerintah diharapkan untuk lebih serius mewujudkan pemerataan akses pendidikan, hal ini sangat urgen sekali mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas adalah golongan penduduk menengah kebawah, yang tentu saja tidak bisa diabaikan hak-hak dalam memperoleh pendidikan.
Kedua, kebijakan pemerataan pendidikan ini seharusnya juga harus diimbangi dengan tercapainya pendidikan yang bermutu. Karena dalam konteks kebijakan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek cost and benefit (harga yang harus dibayar dan keuntungan yang didapat). Jadi anggaran yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya pemerataan pendidikan idealnya harus mampu diseimbangkan dengan akses tercapainya pendidikan yang bermutu, sehingga anggaran yang dikeluarkan tidak terkesan mubadzir. Ketiga, madrasah sebagai institusi pendidikan swasta seharusnya juga harus lebih diperhatikan pemerintah, mengingat potensinya yang sangat besar dalam memajukan perluasan akses pendidikan. Untuk itu kajian pendidikan gratis harus niscaya diterapkan juga pada lingkup madrasah. []
DAFTAR PUSTAKA
Amany Lubis, Women in Indonesian Society; Access, empowerment, and opportunity, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2002).
Beni Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yogyakarta: LKiS, 2005).
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, (Yogyakarta: LKiS, 2007).
Dhenok Pratiwi, “komersialisasi kampus; ugm Menutup Jalur Mandiri,” lihat: www.kompas.com. 25 Januari 2011.
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; suatu tinjauan dari perspektif studi kultural, (Magelang: Indonesia Tera, 2003).
http://www Asmalaizza’s Weblog.htm. diakses pada 05 Desember 2010.
http://www.worldvision.or.id/images/article/187/FactsheetPENDIDIKAN.pdf
Ign. Gatut Saksono, Pendidikan yang memerdekakan Siswa, (Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2008).
Imam Tholkhah dan Ahmad, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai akan tradisi dan integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: {PT Raja Grafindo {Persada, 2004).
M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan kitis; Menyingkap relasi pengetahuan, politik, dan kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2008).
Mansour Fakih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Muhammad Nuh, “sambutan menteri pendidikan nasional pada sosialisasi pengarusutamaan gender bidang pendidikan, Jakarta, 23 pebruari 2010, lihat: www.kemdiknas.go.id, diakses pada 28 january 2011.
NDW, “Pendidikan Mahal,Kualitas Belum Optimal,” www.kompas.com, diakses pada 28 januari 2011.
Orin basuki, “Jumlah Penduduk Miskin Setara Penduduk Malaysia”, www.kompas.com, 26 Januari 2011.
Paul Suparno dkk, Reformasi Pendidikan; sebuah rekomendasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
Ra, “Minat Baca di indonesia Paling Rendah Se-ASEAN,” www.kemenag.go.id. Diakses pada 31 Januari 2011.
Rencana Strategis (Renstra) Diknas 2010-2014.
Suhartono, “Siswa Miskin Prioritas Masuk PT Negeri”, lihat: www.kompas.com. 22 Januari 2011.
Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; dari konsepsi sampai dengan implementasi, (Yogyakarta: Hikayat, 2004).
TS, “Menteri Agama Kaji Madrasah Gratis”, lihat: www.kemenag.go.id. 26 Januari 2011.
Zamakhsyari Dhofier, “Pesantren dan Modernitas”, Makalah disampaikan dalam seminar ilmiah di PP Nurussalam al Munawwir krapyak Yogyakarta, 22 Januari 2011.
--------------, “Komentar Sisdiknas Tentang PAUD”, lihat: http://www.republika.co.id. Diakses pada 28 Januari 2011.
--------------, “Mendiknas: Paradigma Gender Harus Digeser”, lihat: www.kemdiknas.go.id. Diakses pada 28 januari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar