Epistemologi Rasionalisme Rene Descartes
Dan Relevansinya terhadap Pendidikan Islam
a. Pendahuluan
“Things Aren’t Always What They Seem” [1]
Kebanyakan dari apa yang selama ini kita klaim ketahui tentang berbagai sesuatu, sejujurnya lebih didasarkan pada pengalaman indra kita. Segala sesuatu yang kita lihat, sentuh, cicipi, dengar, dan yang kita cium pada umum-nya kita percayai sebagai sebuah kebenaran. Hal itu sesungguhnya menjadi indikasi kuat yang menyatakan bahwa ketika kita mengklaim sesuatu sebagai sebuah kebenaran, pada dasarnya selalu kita dasarkan pada pengalaman indrawi kita. Lalu, apakah sesuatu yang selama ini kita percayai sebagai sebuah kebenaran dapat dijustifikasi bahwa hal itu adalah benar? Apakah pengalaman indrawi yang selalu kita klaim benar, adalah sumber pengetahuan itu sendiri? Atau hanya sebagai sumber dari opini kita?
Dari beberapa pertanyaan inilah, kita bisa memulai pijakan awal pemikiran filosofis kita dengan mencoba menggali khazanah pikiran seorang filosof kenamaan, dan bahkan sering disebut sebagai bapak filsafat modern yakni, Rene Descartes. Seorang tokoh Rasionalisme[2] yang sangat menentang keras sebuah ide beberapa tokoh yang menyatakan bahwa pengalaman indrawi adalah sumber hakiki pengetahuan manusia, seperti misal, Francis Bacon (1210-1292 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), dll. Dan justru sebaliknya, menegaskan bahwa akal adalah satu-satunya dasar/alat memperoleh pengetahuan.
Rene Descartes (1596-1650), selain disebut sebagai bapak filsafat modern, ia adalah bapak rasionalisme kontinental.[3] Ide terkenalnya bahwa cogito ergo sum (Prancis: Je Pense, Donc Je Suis), telah menjadi tonggak awal bagi babak baru filsafat, yaitu era modern. Lewat ide itu pula ia ingin menegaskan bahwa hanya akal atau rasio yang dapat menjadi satu-satunya dasar yang dapat dipercaya,[4] dan bukan iman atau wahyu sebagaimana dipegangi oleh abad pertengahan. Disamping Descartes, ada Baruch Spinoza atau Benedictus de Spinoza (1632-1677), dan Gotiefried Wilhelm von Leibniz (1646-1716).
Untuk itulah, tulisan ini mencoba memberikan over view terhadap khazanah pemikiran Rene Descartes, dengan harapan dapat menambah wawasan keilmuan dan keislaman ditanah air tercinta.
b. Sekilas Kehidupan Rene Descartes
Descartes lahir pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye Totiraine, sebuah daerah kecil di Prancis Tengah. Ia adalah anak ketiga dari seorang ketua parlemen Inggria. Pada tahun 1597, ketika berusia satu tahun, ibunya meninggal. Peristiwa itu sangat membekas pada dirinya dan berakibat timbulnya sifat selalu khawatir di kemudian hari.
Dia sekolah di universitas Jesuites di La Fleche dari tahun 1604-1612 M, yang tampaknya telah memberikannya dasar-dasar matematika modern, jauh lebih baik dari pada yang bisa diperolehnya di kebanyakan universitas pada saat itu. Pada tahun 1612, dia pergi ke Paris, namun kehidupan disana membuatnya bosan, dan kemudian dia mengasingkan diri di daerah terpencil di Fauborg St. Germain untuk menekuni Geometri. Namun demikian, teman-temannya menemukannya, maka untuk lebih menyembunyikan diri, dia mendaftar sebagai tentara Belanda pada tahun 1617.[5]
Tahun 1621, Descartes berhenti dari medan perang dan setelah berkelana ke Italia, lalu ia menetap di Paris (1625). Tiga tahun kemudian, ia kembali masuk tentara, tetapi tidak lama ia keluar lagi dan akhirnya memutuskan untuk hidup di negeri Belanda. Di sinilah, ia menetap selama 20 tahun (1629-1649) dalam iklim kebebasan berpikir. Di negeri inilah, ia dengan leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat. Meskipun Descartes tidak pernah menikah, tetapi dia mempunyai seorang anak perempuan kandung yang meninggal pada usia lima tahun, peristiwa ini menurutnya merupakan satu kesedihan paling dalam selama hidupnya.[6]
Descartes menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala ia memenuhi undangan Ratu Christine yang menginginkan pelajaran-pelajaran darinya. Pelajaran-pelajaran yang diharuskan diajarkan setiap jam lima pagi menyebabkan Descartes jatuh sakit Yang menjemput ajalnya pada 11 Februari 1650, di usia 54 tahun, sebelum ia sempat menikah. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Prancis pada 1667, dan tengkoraknya disimpan di Museum d’Historie Naturelle, Paris.[7]
Selain mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat, Descartes juga dikenal sebagai seorang Polymath, yaitu seorang yang mempunyai perhatian luas dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu pasti. Sumbangannya yang besar dalam dunia ilmu adalah keberhasilannya menemukan ilmu ukur coordinator (coordinatgeometri).
Karya-karya Descartes cukup banyak. Beberapa karyanya, antara lain adalah: Discours de la Methode (1637) yang berarti uraian tentang Metode yang isinya melukiskan perkembangan intelektualnya. Di dalam karyanya inilah, ia menyatakan ketidakpuasannya atas filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan penyelidikannya. Dalam bidang ilmiah, tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti. Semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga. Satu-satunya kekecualian adalah ilmu pasti. Demikian menurut Descartes.[8]
c. Kritik Rene Descartes terhadap filsafat masa lampau
Pengembaraan Descartes di bidang filsafat, berawal dari ketidakpuasannya terhadap filsafat pada zamannya. Filsafat itu terlalu tergantung dari dalil-dalil atau doktrin para filsuf zaman dahulu,[9] seperti Aristoteles. Dengan demikian filsafat tidak cukup radikal. Filsafat sebagai ilmu dasariah dan radikal tidak boleh bertolak dari pengandaian-pengandaian apa pun. Apa yang diajarkannya harus langkah demi langkah dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu hanya ada satu cara untuk menjamin keradikalan filsafat ini, ialah ‘kesangsian’. Filsafat harus mulai dengan menyangsikan segala-galanya. Tidak boleh ada sesuatu apa pun yang begitu saja diterima. Dalam kesangsian itu akan kelihatan apa yang dapat bertahan dan apa yang tidak. Dari unsur-unsur yang dapat mempertahankan diri terhadap kesangsian itu filsafat dapat bertolak, sebagai dalil-dalil pertama.[10]
Kesangsian itu disebut metodis untuk membedakannya dari kesangsian yang nyata. Descartes tidak menuntut agar seorang filsuf betul-betul menyangsikan apa saja yang sampai saat itu dipercayai atau diterimanya. Jadi misalnya menyangsikan apakah Allah itu ada atau apakah ia sendiri, sang filosofis, sungguh-sungguh ada. Yang dimaksud dengan kesangsian metodis ialah bahwa filsafat sebagai teori tidak boleh bertolak dari pengandaian-pengandaian yang tidak diperiksa atau disangsikan dulu. Jadi Descartes sendiri boleh saja percaya bahwa Allah itu ada, tetapi ia tidak boleh membangun suatu sistem filsafat atas pengandaian bahwa Allah itu ada, kecuali ia dapat memperlihatkan eksistensi Allah tidak dapat diragukan.[11]
Setelah menyangsikan segala sesuatu, Descartes menemukan bahwa ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu saya yang sedang menyangsikan segala sesuatu, sedang berpikir, dan jika saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada. Ini karena tidak mungkin yang tidak ada dapat berpikir dan dapat menyangsikan sesuatu. Karena itu, dengan yakin Descartes berkata “Je Pense, donc je suis” (aku berpikir maka aku ada) yang terkenal dalam terjemahan bahasa Latin: cogito ergo sum. Bagi Descartes, manusia harus menjadi titik berangkat dari pemikiran yang rasional demi mencapai kebenaran yang pasti itu, rasio harus berperan semaksimal mungkin.[12]
Disinilah sesungguhnya sumbangan besar Descartes, yakni berhasil menjadikan manusia sebagai subyek dunia. Dimana sebelumnya manusia justru menjadi objek yang hanya tergantung dengan dalil-dalil dan dogma-dogma para filsuf sebelumnya dalam mencapai kebenaran.
d. Konstruksi Epistemologis Rene Descartes
1. Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Sebagai seorang tokoh rasionalisme yang sering disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern, Descartes memiliki fondasi dasar ajaran filsafat yang sangat populer dan tidak tergoyahkan, yakni tentang ajaran yang menegaskan bahwa kebenaran tertinggi berada pada akal budi manusia. Menurut Descartes rasio merupakan sumber pengetahuan. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang pada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderang yang disebutnya Ideas Claires el Distinctes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah).[13]
Untuk itulah Descartes menekankan agar tidak mempercayai segala sesuatu diluar rasio manusia, karena Kesaksian apapun yang bersumber dari luar rasio manusia, adalah tidak pasti dan tidak dapat dipercayai. Kebenaran harus dicari dan didasarkan dengan menggunakan kriteria “clearly and distinctly”. Selain itu, ia juga mengemukakan tentang adanya tiga ide-ide bawaan (innate ideas[14]) yaitu:
a. Idea pemikiran: ide yang memungkinkan diri saya sebagai makhluk yang berpikir (pemikiran adalah hakekat saya)
b. Idea Allah sebagai wujud sempurna, karena saya mempunyai idea yang sempurna, maka pasti ada sesuatu yang sempurna itu. Wujud yang sempurna itu adalah Allah.
c. Idea keluasan: yang memungkinkan saya (kita) mengerti materi (benda-benda, obyek-obyek) sebagai keluasan, sebagai mana hal itu dapat dipelajari secara kuantitatif (ilmu ukur/matematika).[15]
Disisi lain, untuk membuktikan kepada kita bahwa kita tidak bisa begitu saja percaya terhadap indra kita. Descartes menunjukkan pengalaman mimpi yang tampak sangat nyata, bahkan ketika kita melakukan sesuatu yang tidak dapat kita lakukan ketika dalam keadaan sadar (seperti terbang), hal itu nampak bahwa kita sungguh-sungguh dapat melakukannya. Karena itulah tidak ada sesuatu apapun yang dapat meyakinkan kita bahwa kita tidak sedang bermimpi saat ini. Dan jika kita tidak bisa yakin bahwa kita saat ini tidak sedang bermimpi, kita tidak bisa memperoleh pengetahuan melalui penggunaan indra kita.[16]
2. Metode Keraguan Rene Descartes (The Method of Cartesian Doubt)
Berawal dari keinginan untuk menemukan metode yang ampuh dalam mencari kepastian hakiki suatu pengetahuan dan memastikan bahwa sesuatu yang ada itu benar-benar ada dan bukan hanya khayalan semata. Descartes membangun suatu fondasi dasar yang ia sebut sebagai Metode Keraguan. Suatu metode yang dia awali dengan upaya menyangsikan segala sesuatu. Sebagaimana apa yang ditulis oleh Sakban Rosidi;
“Cartesian Method starts from doubting everything. “De Omnibus dubitandum”. Thinking is but to doubt everything. On the principles of human knowledge, Descartes asserted: First, that in order to seek the truth, it is necessary once in the course of our life to doubt. As far as possible, of all things. Second, that we ought also consider as false all that is doubtful.”[17]
Descartes bertolak dari kenyataan dimana kita (manusia) sering tertipu oleh pengamatan, seperti Argumen Plato, ia menyatakan bahwa tongkat yang terdapat dikolam yang bergelombang kelihatan bengkok, jalan lurus diujungnya kelihatan bertemu dan seterusnya.[18] Descartes terus meragukan segala hal, meski sekecil apapun. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Descartes:
“… I suppose that everything I see is false. I believe that none of what my deceitful memory represents ever existed. I have no sense whatever. Body, shape, extension, movement, and place are all chimeras. What then will be true? Perhaps just the single fact that nothing is certain.” [19]
Keraguan Descartes tampaknya bisa dipahami, karena bisa saja ada sesuatu (oleh Descartes disebut dengan ‘si Jenius atau setan jahat’) yang bisa menipu atau memalsu penalaran sehingga sesuatu yang salah akan tampak sebagai kebenaran. Descartes mengalami kesulitan untuk membuktikan dan mengetahui adanya dunia luar dengan bertolak dari gagasan “cogito ergo sum” nya itu. Dan untuk membuktikan bahwa ia tidak tertipu tentang adanya dunia luar, maka ia bertolak dari adanya eksistensi Tuhan yang menjamin . karena menurutnya hanya Tuhan yang dapat menjamin bahwa:
a. Ide-ide kita yang jelas dan terpilah memang benar, dan;
b. kita tidak tertipu oleh setan jahat.[20]
Descartes menggunakan argument ontologis tentang adanya Tuhan dari Anselmus, sebagai dasar metodenya. Allah sebagai penyebab ide yang sempurna dalam pemikiran kita. Begitu Descartes membuktikan adanya eksistensi Tuhan, maka Descartes merasa memiliki dasar untuk mengakui; adanya tubuh kita yang berbeda dari rasio;[21] bahwa ide kita mengenai dunia luar adalah benar. Setelah meragukan segala hal, bahkan keberadaannya sendiri, maka ada sesuatu yang tidak dapat diragukan keberadaannya (saya) yang sedang ragu itu.
Adanya saya yang ragu itu secara langsung membuktikan adanya saya yang berpikir. (cogito ergo sum; saya berpikir maka saya ada). “aku berpikir” merupakan kebenaran filsafat pertama (primum philosophicum). Tidak peduli betapa pun asam keraguan menggerogoti, keraguan ini tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya sendiri; yaitu eksistensi dari orang yang meragukan.[22] Descartes menempatkan peran rasio, intuisi dan penalaran deduktif[23] dalam mencapai yang pasti.[24]
Descartes mengajukan beberapa prinsip metodologis yang dapat menjadi landasan dalam berpikir;
a. Tidak menerima apapun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini sendiri bahwa itu memang benar.
b. Memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian.
c. Berpikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana, sedikit demi sedikit untuk sampai ke hal yang paling rumit.
d. Perincian yang lengkap dan pemeriksaan menyeluruh diperlukan supaya tidak ada yang terlupakan.[25]
Berikut adalah peta gambar metode keraguan Descartes:
METODE CARTESIAN
PRINSIP PERTAMA
(dengan intuisi, misalnya “saya berpikir, maka saya ada”)[26]
| ||||||
| ||||||
3. Teori Kebenaran Pengetahuan
Teori kebenaran pengetahuan yang dianut oleh Descartes dan para kaum rasionalis adalah teori konsistensi atau koherensi (the consistence theory of the truth, the accordance theory of truth). Teori konsistensi atau koherensi adalah suatu proposisi atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu bernilai benar.[27]
Sebagai contoh kita sebagai bangsa Indonesia pasti memiliki pengetahuan bahwa Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan. Jika seseorang hendak membuktikannya tidak dapat langsung melalui kenyataan dalam objektivanya, karena kenyataan itu telah berlangsung 65 tahun yang lalu. Untuk membuktikannya, maka harus melalui ungkapan-ungkapan tentang fakta itu yaitu melalui sejarah atau dapat diafirmasikan kepada orang-orang yang mengalami dan mengetahui kejadian itu. Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubungan logis jika pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya berkaitan dengan pernyataan-pernyataan logis atau matematis.[28]
4. Problematika Subjektivisme dan Solusi yang ditempuh Descartes
Kendatipun penemuan Descartes tentang cogito memberikan suatu kepastian yang kokoh, namun hal tersebut justru memiskinkan kadar kepastian ini. Sebab subjek yang dinyatakan Descartes di dalam cogito adalah subjek yang benar-benar privat dan terisolasi. Pada tahap ini, ia merasa pasti mengenai eksistensi dirinya sendiri saja, sebagai pengada berpikir, tidak lebih dan tak ada yang lain.
Namun disini, yang muncul adalah persoalan subjektivisme. Hal ini sangat esensial, karena membawa kita pada pertanyaan: jika semua dari kesadaran saya pada awalnya mempunyai nilai eksklusif dari suatu keadaan subjektif dari jiwa individual saya sendiri (peristiwa subjektif murni), bagaimana saya pernah tahu tentang kodrat sesuatu yang lain dari diri saya? Atau bahkan bagaimana saya bisa sampai pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang berbeda dari diri saya sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan tentang “bagaimana saya mengatasi keraguan mengenai eksistensi riil dari benda-benda material di luar saya dan lepas dari saya?” Descartes menempuh dua jalan: kodrat dari pengada sempurna dan kodrat dari pengalaman inderawi saya.[29]
Pengalaman inderawi saya bukanlah ciptaan sadar saya sendiri. Sebaliknya, data yang muncul di dalam persepsi saya sering dipaksakan pada saya, yang pada hakekatnya berlawanan dengan kehendak dan keinginan saya. Sebagai perasa, saya adalah kesadaran perseptif, dan oleh karenanya bukanlah penyebab aktif. Misalnya, saya harus mengatakan bahwa baja ini keras dan tidak enak. Saya tidak dapat mengatakan semaunya bahwa “baja ini enak dan marilah kita nikmati.” Jadi saya dipaksa untuk menerima ide “baja yang keras dan tidak enak”. Artinya saya bukanlah pencipta atau penyebab munculnya ide itu. Dengan demikian, data yang saya rasa mesti mempunyai eksistensinya dari suatu sebab yang lain daripada diri saya sendiri.
Descartes tidak percaya penyebab itu adalah Allah, karena itu tidak sesuai dengan kodrat Allah sebagai pengada sempurna yang tidak mungkin menjadi sebab penipuan. Oleh sebab itu Descartes meyakini pengalaman yang dimilikinya mengenai benda-benda, merupakan pemaksaan oleh benda-benda itu sendiri. Maka hanya sifat-sifat yang dengan jelas dan disting terdapat di dalam benda-bendalah yang dianggap pasti sebagai yang real secara objektif. Itulah yang disebut keluasan dan gerakan, atau dengan kata lain bahwa esensi dari budi adalah pikiran dan esensi dari material adalah keluasan.[30]
F. Kritik terhadap Pemikiran Rene Descartes
Kritik adalah suatu bentuk keniscayaan dalam setiap pengembangan ilmu dan teori-teori keilmuan. Tanpa kritik, ilmu akan menjadi dogma yang seolah “haram” disentuh. Dengan kritik, ilmu dapat memperbaiki dirinya dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Beranjak dari asumsi tersebut, filsafat rasionalisme Rene Descartes, tidak luput juga dari kritik. Diantaranya:
Descartes mendasari keraguannya mengenai objektivitas dunia luar, khususnya mengenai “keraguan mimpi”, dan bertanya: “bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu melakukan apa yang biasanya saya anggap sebagai mimpi?”
Kalau hal ini benar-benar dimaksudkannya secara harfiah, pertanyaan tersebut jelas mendekati sesuatu yang tidak masuk akal. Kita tahu bahwa kita mimpi dengan memperbandingkannya dengan dunia yang konsisten, teratur, koheren dimana kita sungguh-sungguh sadar akan diri kita dan akan kenyataan. Sama sekali tidak masuk akal untuk bertanya: bagaimana saya tahu bahwa keadaan terjaga tidak sama dengan apa yang biasanya saya maksudkan dengan mimpi? Sebab bila halnya demikian, saya tidak akan tahu apa yang saya maksud dengan mimpi.[31]
Mungkin Descartes tidak mempunyai maksud yang tidak begitu bodoh. Mungkin maksudnya ialah bahwa keadaan terjaga sama tertutupnya dari kenyataan lain seperti keadaan mimpi (bersifat sama subjektif dengan mimpi). Sebagaimana perbandingan berikut:
| ||||
| ||||
seperti
Mungkin didalam hubungan dengan “yang benar-benar real”, objek inderawi adalah suatu ilusi, dengan kata lain bahwa persepsi inderawi merupakan suatu penampakan yang pucat dan tidak lengkap dari kenyataan. Namun jika itu yang dimaksudkan Descartes, maka tidak ada yang baru dari Descartes mengenai cara melihat persepsi inderawi ini, karena plato telah melakukan jauh sebelumnya. Siapapun yang menekankan superioritas insight intelektual akan memberikan titik berat padanya. Keyakinan ini tidak membatalkan obyektivitas kenyataan yang diberikan kepada indera, tetapi hanya menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah. Inilah yang dilakukan Descartes, ia membedakan antara yang ditangkap dengan indera dan yang ditangkap dengan intelek dengan mengorbankan yang pertama.
Sejauh ini, Descartes hanya membedakan antara benda sebagai yang diterima dengan jelas dan disting oleh pikiran dari benda sebagai yang diterima dengan kabur dan kacau oleh indera. Namun didalam perbandingan seperti yang digambarkan tersebut, Descartes boleh dikatakan menekankan status subyektif dari objek indera dan tidak hanya sifatnya yang kacau. Perbandingan dengan mimpi dapat digunakan untuk menekankan sifat sangat privat dari kesadaran inderawi. Berdasarkan hal ini, Descartes tidak hanya menyatakan bahwa objektifitas dari hal yang ditangkap dengan indera itu kabur, tetapi bahwa hal itu tidak diketahui sama sekali. Bagi Descartes, hal yang ditangkap indera sama seperti mimpi yang terpotong dari kenyataan lepas. Maka bagi Descartes berarti bahwa kesadaran kita mengenai kenyataan dari yang lain (benda, orang) hanyalah merupakan kerja pikiran. Pandangan seperti ini tentu saja melibatkan kesulitan-kesulitan yang besar.[32]
G. Relevansi pemikiran Rene Descartes bagi Ilmu Pendidikan Agama Islam
Setelah menguraikan tentang konsep-konsep dari pemikiran Descartes, setidaknya ada poin pokok yang bisa kita tarik relevansinya bagi ilmu pendidikan Agama Islam, yakni; Filsafat Rasionalisme Descartes menekankan bahwa pada hakekatnya sumber pengetahuan sejati adalah akal budi atau rasio. Bukan pengalaman, pengalaman hanya dapat dipakai untuk menegaskan pengetahuan yang telah didapatkan dari rasio.[33] Bagi Descartes, manusia harus menjadi titik berangkat dari pemikiran yang rasional demi mencapai kebenaran yang pasti, untuk itu rasio harus berperan semaksimal mungkin.[34]
Disinilah, sejatinya pendidikan dan pembelajaran harus difokuskan pada nalar (reason) dan rasionalitas, yakni guru harus berusaha membuat murid percaya demi nalar yang baik (good reason) dan guru harus melakukannya dengan cara menghargai penilaian bebas anak didik. Sense of reasonableness anak didik harus digali dengan pengajaran yang sungguh-sungguh (genuine teaching), dan tugas guru adalah mendorong serta memperkaya pemahaman anak didik tentang apa yang membentuk nalar yang baik. Dengan cara ini, rasionalitas adalah sasaran utama pendidikan.[35] Semisal, ketika mengajarkan tentang konsep ke-Esa-an Tuhan, guru dapat mengemukakan alasan-alasan rasional mengenai hal tersebut. Contoh lain, ketika guru hendak mengajarkan mengenai konsep syukur nikmat, guru bisa menjelaskan alasan-alasan rasional kepada murid tentang pentingnya sikap syukur nikmat.
Selain itu, untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, sangat perlu dipahami landasan pokok konsep pendidikan itu sendiri, diantaranya; (1) pendidikan, yaitu konsepsi pendidikan yang bertujuan mengembangkan rasionalitas; (2) pengajaran, yaitu suatu aktifitas yang dibatasi oleh cara guru mengajar dan menyerahkan substansi bahan pelajaran pada keputusan mandiri anak didik, menghormati sense of reason dan sense of reasonableness anak didik dan memperlakukan anak didik dengan hormat.[36]
G. Penutup
Dari pemaparan dan analisa singkat di atas, dapatlah kami simpulkan bahwa terobosan Descartes melalui tesis andalannya cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada), telah melahirkan suatu revolusi pemikiran yang sangat luas dalam kancah filsafat. Dengan tegas Descartes memproklamirkan bahwa hanya akal atau rasio sajalah yang dapat menjadi satu-satunya dasar yang dapat dipercaya, dan bukan iman atau wahyu sebagaimana yang selalu dipegangi oleh abad pertengahan. Dengan metode keraguannya, Descartes menapaki pemikiran filosofisnya dengan menyangsikan segala sesuatu dalam upaya mencapai suatu kepastian hakiki yang selalu ia rindukan. Kendatipun pada akhirnya ia menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu yang benar, kecuali ketidakpastian itu sendiri. Dalam wilayah pendidikan (khususnya pendidikan agama Islam), pemikiran Descartes jelas memberi landasan baru untuk mengkaji dan menyampaian ajaran tidak hanya sebagai sebuah proses indoktrinatif, dengan memberi porsi lebih besar kepada peran akal itu sendiri.[]
Daftar Pustaka
Akhyar Yusuf, Pengertian Epistemologi, Logika, Metodologi, Ontologi, dan Axiologi, (Jakarta: Program Paska sarjana UI, 2002).
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; Dari Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008).
Bawenga, Sebuah Studi Filsafat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983).
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi Sosio-politik zaman kuno hingga sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Pendidikan; dari Piaget sampai masa sekarang, (Yogyakarta: Jendela, 2003).
Kenneth T. Gallagher, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994).
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000).
Rene Descartes, Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, translated; Donald A. Cress, (Indianapolis/Cambridge: Hacket Publishing Company, 1993).
Sakban Rosidi, The History of Modern Thought; A Brief but Critical Reminder (Malang: CISC, 2002).
Simon Petrus. L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfrontasi para filsuf dari zaman Yunani hingga zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; sebuah tinjauan filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2003).
Theodore Schick, Jr, Lewis Vaughn, Doing Philosophy; An Introduction Through Thought Experiments, (New York: Mc Graw-Hill Companies, 2002).
Zubaedi dkk, Filsafat Barat; Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar