Kamis, 07 Januari 2016

Proses Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi Agama 
dalam ranah Negara di era awal kemerdekaan Indonesia

Cahaya Khaeroni

I.      Pendahuluan
Pertautan antara agama dan negara sampai sejauh ini masih terus diwacanakan ke ranah publik, hal ini dikarenakan perjuangan untuk mempertemukan keduanya bukanlah merupakan sesuatu yang mudah untuk dilalui. Contoh yang paling dapat terlihat jelas adalah pada kasus perjuangan para tokoh agama terdahulu dalam memperjuangkan upaya konsolidasi dan pembelaan eksistensi agama ke dalam ranah negara di era-era awal kemerdekaan. Dalam kasus ini akan nampak begitu jelas bagaimana beratnya lika-liku perjuangan yang harus ditempuh mereka untuk mencapai tujuan tersebut.
Melalui tulisannya yang berjudul ‘KH Wahid Hasyim: Konsolidasi dan pembelaan eksistensi’ Saiful Umam telah memaparkan secara baik mengenai perjuangan Wahid Hasyim selaku tokoh agama dalam meneguhkan eksistensi agama di ranah negara pada era-era awal kemerdekaan negara Indonesia. Wahid Hasyim  sebagaimana dikenal sebagai tokoh agama yang memiliki pandangan yang sangat luas selalu menegaskan akan perlunya sebuah upaya untuk meletakkan dan menanamkan pandangan umat Islam akan pentingnya  Ilmu pengetahuan dan ketaqwaan. Bagi Wahid Hasyim, beragama tidak berarti buta akan ilmu dan sebaliknya cakap ilmu pengetahuan bukan berarti buta akan agama.
Dalam kiprahnya di dunia politik Wahid Hasyim memiliki dua perhatian utama pada saat menjabat sebagai menteri agama, yaitu; Pertama, pemantapan lembaga kementerian agama dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga tidak dicurigai sebagai departemen orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan Islam secara seimbang. Perhatian ini mewujud pada terbentuknya PTAIN yang kemudian berkembang menjadi IAIN.
Hal inilah yang kemudian ingin dipaparkan secara lebih mendalam oleh Saiful Umam dalam tulisannya mengenai konsolidasi dan eksistensi agama di ranah Negara.  

II.    Latar belakang
Latar belakang dari buku yang ditulis oleh Saiful Umam adalah mengenai bagaimana sejarah proses konsolidasi dan eksistensi agama ke dalam ranah Negara pada masa-masa awal kemerdekaan. Yang dalam tulisannya tersebut, Saiful Umam membidik peran Wahid Hasyim dalam memperjuangkan eksistensi agama di cakupan Negara. Dalam tulisannya Saiful Umam memaparkan bahwa Wahid Hasyim merupakan seorang tokoh yang sangat luar biasa karena meskipun umurnya tidak begitu cukup panjang, akan tetapi peran dan kontribusinya begitu luar biasa bagi bangsa Indonesia.
Ada dua hal penting yang dilakukan oleh Wahid hasyim ketika menjabat sebagai menteri agama, yaitu: Pertama, pemantapan lembaga kementerian agama dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga tidak dicurigai sebagai departemen orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan Islam secara seimbang. Perhatian ini mewujud pada terbentuknya PTAIN yang kemudian berkembang menjadi IAIN.
Pada wilayah pertama, yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah melakukan restrukturisasi lembaga kementerian agama. Hal ini persisnya terjadi pada saat beliau\ menjabat sebagai menteri agama, Wahid Hasyim melihat perlunya upaya penyatuan kembali pemerintahan yang saat itu cenderung dualistik. Hal itu dimaklumi karena memang pada saat itu, berdasarkan hasil keputusan konferensi meja bundar di Denhaag Belanda, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang secara langsung berimbas pada munculnya dualisme pemerintahan, sehingga muncul pula dua kementerian keagamaan (kementerian keagamaan di dalam RIS dan RI). Di dalam RI menterinya KH Faqih Usman, sementara Wahid Hasyim menjabat sebagai menteri di RIS, yang bahkan pada waktu itu kementeriannya belum memiliki gedung kantor sendiri.
Hingga akhirnya melalui surat keputusan No. A II/2/21/2175 pada tanggal 7 Juni 1950, ditandatanganilah kesepakatan antara Wahid Hasyim dan Faqih Usman untuk menyatukan kedua kementerian tersebut. Dengan penyatuan ini Wahid Hasyim mulai melakukan restrukturisasi kementerian baik restrukturisasi keorganisasian maupun restrukturisasi lapangan pekerjaan. Selama masa menjabatnya pada dua periode (periode kabinet Natsir dan kabinet Sukiman) Wahid Hasyim telah memperluas struktur keorganisasian menjadi delapan bagian, di luar menteri dan sekjen, yakni sekretaris umum, hukum, urusan haji, Kristen protestan, katolik, pergerakan agama, politik, kepegawaian, dan perbendaharaan dan tiga jawatan di Yogyakarta. Sedangkan dalam hal lapangan pekerjaan, Wahid Hasyim melakukan perombakan yang cukup fantastis, perombakan ini meliputi 12 poin, diantaranya: melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya, menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, menyelenggarakan,memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, dan memberi bantuan material untuk perbaikan dan pemeliharaan tempat-tempat ibadah. Semua lapangan pekerjaan tersebut merupakan pengejawantahan fungsi utama Kementerian Agama sebagai pendukung dan pelaksana utama asas sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan semakin banyaknya struktur dan lapangan pekerjaan yang luas, berdampak pada peningkatan jumlah personalia yang cukup drastis. Jumlah personalia yang awalnya hanya ada tujuh orang berubah menjadi ribuan orang yang direkrut oleh kementerian agama di bawah pimpinan Wahid Hasyim. Dana yang dibutuhkan untuk tugas kementerian ini pun bertambah besar, sehingga pergerakan kementerian agama semakin berkembang pesat, tidak berlebihan kiranya jika Wahid Hasyim dianggap sebagai sosok tokoh yang meletakkan fondasi yang kuat bagi kementerian ini.
Selain upaya tersebut, upaya lain yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah mempertahankan posisi kementerian agama. Perlu diketahui sebelumnya bahwa kemunculan kementerian agama ini pada awalnya ditujukan untuk mengurus aspirasi umat Islam yang pada awalnya memang sempat kecewa karena aspirasi mereka ditolak oleh BPUPKI. Sementara itu ketika awal Indonesia merdeka, Indonesia masih berada dalam bayang-bayang ancaman Belanda, sehingga untuk menepis ancaman tersebut presiden Sukarno membutuhkan banyak dukungan khususnya dari kalangan muslim sebagai masyarakat mayoritas, hal inilah yang kemudian langsung membuatnya menyetujui ketika ada usulan pendirian kementerian agama. Namun dalam perjalanannya kementerian ini mendapat banyak kritikan tajam, bahkan sampai adanya tuntutan pembubaran dengan berbagai alasan. Hal inilah yang kemudian membuat Wahid Hasyim berusaha keras untuk dapat meredam berbagai tuntutan-tuntutan tersebut.
Wahid Hasyim mengklasifikasikan bahwa setidaknya ada tiga persepsi kelompok berbeda dalam memandang eksistensi kementerian agama. Kelompok pertama, mereka yang tidak senang akan keberadaan kementerian agama, hal ini karena kementerian agama dianggap akan mengganggu  prinsip-prinsip mereka sendiri. Kelompok ini pada umumnya adalah orang-orang yang tidak memiliki semangat keagamaan atau sekuler. Kedua, kelompok yang mendukung kehadiran kementerian ini, bahkan menyandarkan harapan yang sangat tinggi terhadap kementerian ini. Kelompok ini adalah kelompok umat Islam yang pada umumnya adalah kelompok mayoritas. Ketiga, kelompok yang menyambut baik tapi dengan sikap khawatir, kelompok terakhir ini datang dari kalangan masyarakat agama minoritas. Kekhawatiran kelompok ini pada akhirnya mengkerucut pada sikap penolakan tatkala kementerian ini tidak dapat memenuhi aspirasi mereka dan hanya cenderung mengurusi umat Islam belaka. Alasan lain yang dimunculkan adalah tugas-tugas kementerian ini dapat dikerjakan oleh kementerian lain yang sudah ada seperti kementerian dalam negeri, luar negeri dll. Keberadaan kementerian agama hanya bersifat pemborosan anggaran semata dan menjadi ajang perebutan jabatan antar partai, sehingga tidak ada alasan kuat untuk mempertahankan keberadaan kementerian ini.
Menanggapi persoalan tersebut Wahid Hasyim langsung berusaha menepisnya dengan tegas. Menurutnya pemerintah tetap wajib untuk melayani dan memenuhi keperluan rakyatnya tentang agama berdasarkan pancasila. Pemisahan agama dan Negara pada dasarnya hanya ada dalam wilayah teori belaka, karena pada kenyataannya tidak ada sama sekali Negara yang dapat memisahkan dirinya dengan agama, kecuali Negara yang benar-benar ateis. Meskipun penghapusan kementerian agama dilakukan dan fungsinya ditangani oleh kementerian lain, Wahid Hasyim mengingatkan bahwa hal itu akan sangat menyakiti perasaan umat Islam sebagai masyarakat mayoritas. Sedangkan, terkait dengan keberatan kalangan non-muslim yang beranggapan kementerian ini lebih banyak memperhatikan umat islam saja, secara sigap Wahid Hasyim menunjukkan fakta bahwa jumlah penganut Islam jauh lebih besar dari pada non Muslim, sehingga wajar saja jika kementerian agama lebih banyak memperhatikan umat Islam. Tetapi hal itu dilakukan bukan disebabkan oleh sikap diskriminasi, melainkan semata karena jumlah umat Islam yang memang jauh lebih besar. Wahid Hasyim menegaskan bahwa kementerian agama bukanlah kementerian bagi umat Islam saja, tetapi bagi semua pemeluk agama. Tanggapan Wahid Hasyim inilah yang pada akhirnya langsung berhasil membungkam berbagai persepsi negatif dari berbagai kalangan masyarakat yang mencoba menolak keberadaan kementerian agama.
Selanjutnya pada wilayah kedua, yang menjadi sorotan Wahid Hasyim adalah mengenai persoalan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Wahid Hasyim telah berkali-kali menegaskan bahwasanya penting bagi bangsa Indonesia khususnya umat muslim untuk menguasai tidak hanya ilmu agama semata, tetapi juga ilmu umum juga. Dalam beberapa kesempatan dia juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dikungkung oleh perasaan keagamaan yang sempit. Salah satu implementasi dari pandangannya ini adalah keputusannya untuk mendirikan perguruan tinggi Islam yang baik dengan menggunakan sistem modern. Akhirnya keluarlah peraturan pemerintah no 34 tahun 1950 tentang pengembangan fakultas agama dari Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Indonesia (PTAIN). Guna melaksanakan itu dibentuklah panitia perguruan tinggi Islam, yang diketuai oleh  KH Fathurrahman Kafrawi dengan beranggotakan 11 orang resmi dibukalah PTAIN di Yogyakarta pada tanggal 15 september 1951.
Dalam sambutan pembukaan PTAIN, Wahid Hasyim menjelaskan bahwa latar belakang pendirian PTAIN tersebut adalah mengenai keprihatinannya akan kualitas Sumber daya Manusia dikalangan umat islam, padahal di sisi lain umat Islam adalah masyarakat mayoritas. Selain itu, Wahid Hasyim juga merasa prihatin akan kecenderungan pimpinan bangsa Indonesia yang dualistik. Di satu sisi ada pemimpin politik Islam yang pada umumnya berpendidikan Barat, namun tidak punya pengetahuan agama yang cukup. Sementara di sisi lain, pemimpin agama Islam, yang para ulama yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan umum dan politik. Atas dasar itulah Wahid hasyim mengharapkan agar PTAIN tersebut dapat melahirkan cendekiawan yang tidak hanya memiliki pemahaman agama yang mendalam, tetapi juga memahami persoalan-persoalan umum termasuk persoalan politik.
Perhatian Wahid Hasyim mengenai perlunya integrasi ilmu dan agama juga diimplementasikannya pada bentuk pemberian pelajaran-pelajaran agama di sekolah umum. Hingga munculnya UU pendidikan no 4/1950. Menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan bersama menteri agama mengeluarkan keputusan bersama yang intinya menegaskan bahwa pelajaran agama harus diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu untuk memenuhi akan kebutuhan terhadap guru agama, Wahid Hasyim mengeluarkan surat edaran yang menegaskan agar di tiap daerah karisidenan didirikan sekolah guru agama Islam (SGAI), yang kemudian berubah menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). Dampak pendirian lembaga ini begitu luar biasa, karena keberadaan PGA tidak lagi hanya ada di karisidenan, tetapi juga sampai ditingkatan kabupaten. Hal ini secara tidak langsung juga berdampak terhadap peningkatan jumlah peminat di PTAIN, karena dengan semakin banyaknya alumni PGAN, tentu saja akan banyak pula yang melanjutkan pendidikannya ke PTAIN.
Upaya lain yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah mengenai perbaikan manajemen penyelenggaraan Haji. Hal ini bisa dimaklumi karena pada awal kemerdekaan, umat Islam sulit sekali untuk dapat menunaikan ibadah haji karena masih disibukkan dengan upaya mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Selain itu umat Islam juga terikat dengan fatwa para ulama yang melarang umat Islam menunaikan haji dalam rangka memboikot terhadap jasa layanan pelayaraan yang pada saat itu dikuasai oleh armada pelayaran Belanda.
Hingga akhirnya Wahid Hasyim memutuskan kebijakan bahwa pelaksanaan haji sepenuhnya berada di tangan pemerintah, yakni bagian urusan haji dari kementerian agama. Bidang ini bekerjasama dengan yayasan PHI (Yayasan perjalanan haji Indonesia), dan ini merupakan hasil kongres Muslimin Indonesia pada Desember 1949. Dengan adanya kebijakan ini tentu saja akan semakin memudahkan penyelenggaraan ibadah haji dan juga menyelamatkan para calon jamaah haji dari tipuan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Selain itu, Manajemen penyelenggaraan haji juga semakin ditingkatkan dengan memperketat aturan-aturan bagi calon jamaah seperti cek kesehatan, pembatasan kuota jamaah haji, memiliki harta yang cukup, dan tidak buta huruf. Kebijakan untuk melarang jamaah yang buta huruf untuk berangkat haji untuk masa itu, aturan tersebut barangkali cukup memberatkan bagi para calon jamaah, mengingat pada masa itu masih banyak masyarakat Islam yang buta huruf. Akan tetapi ini memang diniatkan oleh Wahid Hasyim agar umat Islam mau belajar untuk membaca, sehingga pada gilirannya nanti akan meningkatkan sumber daya manusia masyarakat muslim.
Terobosan lain yang dicetuskan oleh Wahid Hasyim adalah dimulainya perayaan hari besar secara kenegaraan, tepatnya adalah pada perayaan Maulid nabi yang diadakan di istana Negara pada 2 januari 1950, sejak saat itulah, perayaan tersebut selalu diadakan ditempat yang sama dan dihadiri oleh presiden.

III.  Keunggulan
Keunggulan dari tulisan Saiful Umam adalah pada cara penuturannya yang terasa begitu runtut dalam setiap tulisannya. Cara dia menjelaskan mengenai kiprah Wahid Hasyim terasa begitu mengalir sehingga setiap pembaca dapat dengan mudah mencerna setiap bagian dari tulisannya tersebut tanpa merasa jenuh. Keunggulan lain yang dimiliki tulisan Saiful Umam ini adalah dari segi sumber yang begitu padat dan kaya, sehingga berbagai argumentasi yang dipaparkan didalamnya selalu mengacu pada sumber-sumber yang otoritatif.

IV.  Kekurangan
Barangkali agak cukup sulit sebenarnya untuk mencari kekurangan dari tulisan Saiful Umam yang telah dibuat secara nyaris sempurna. Namun demikian, jika dikaji secara lebih teliti sesungguhnya ada satu kekurangan mendasar dari tulisan yang dibuat oleh Saiful Umam. Kekurangan itu adalah terletak pada cara bersikap dia ketika menuturkan berbagai hal mengenai Wahid Hasyim dan perjuangan beliau dalam meneguhkan eksistensi agama di ranah Negara, sikap yang dia tunjukkan dalam tulisannya cenderung berkesan sebagai seorang pengagum Wahid Hasyim, sehingga nampak banyak sekali kata-kata yang cenderung bombastis dalam mengekspresikan sosok tersebut. Selain itu, tulisan Saiful Umam disini juga sepertinya lupa untuk mencoba memberikan kritik terhadap pemikiran maupun segala kebijakan yang dilakukan Wahid Hasyim. Seorang yang cenderung menjadi pengagum pada umumnya memang akan sangat sulit sekali untuk dapat memberikan kritik terhadap subjek yang dia kaji, dan perihal inilah yang menjadi kekurangan mendasar dari tulisan Saiful Umam.

V.    Penutup
Dari berbagai penjelasan yang dipaparkan sebelumnya dalam tulisan Saiful Umam dapat disimpulkan bahwa sosok wahid hasyim adalah seorang yang sangat moderat. Kendatipun dilahirkan dalam kultur pesantren yang begitu kental dengan nuansa Islam, tidaklah lantas membuatnya terkungkung dalam pusaran dunia Islam semata, dimana pada saat itu banyak sekali ulama-ulama Islam yang biasanya cenderung kaku dan menjauhkan diri dari dunia luar. Kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam yang begitu memprihatinkan membuatnya tergerak untuk melakukan suatu perubahan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mengantarkan umat muslim kepada kemajuan.
Sumbangannya begitu terasa bagi masyarakat, khususnya berkaitan dengan perjuangannya dalam meneguhkan eksistensi agama di dalam cakupan ranah Negara. Kemampuannya untuk meneguhkan keyakinan masyarakat akan perlunya eksistensi kementerian agama di Indonesia merupakan upaya yang begitu sangat luar biasa. Tanpa gagasannya yang begitu brilian, bisa dibayangkan barangkali saat ini Indonesia tidak akan pernah memiliki lembaga kementerian agama. Gagasannya untuk memperbaiki penyelenggaraan haji juga telah membantu para calon jamaah haji lebih mudah dalam melaksanakannya. Selain itu, PTAIN yang saat ini telah banyak berkembang menjadi universitas-universitas yang begitu besar dan telah melahirkan beribu-ribu kader sarjana dan cendekiawan muslim barangkali tidak akan pernah ada eksistensinya jika pada waktu itu Wahid Hasyim tidak pernah menggagas pendirian PTAIN.
Terakhir, meskipun masih ada kekurangan yang cukup mendasar dalam tulisan Saiful Umam. Penulis tetap mengapresiasi karya Saiful Umam sebagai karya yang sangat baik dalam turut serta memperkaya khazanah keilmuan dan keIslaman di Bumi Indonesia tercinta. Wallahu A’lam bi Ash Shawwab.[]


AGAMA, PENDIDIKAN, DAN MULTIKULTURALISME

AGAMA, PENDIDIKAN, DAN MULTIKULTURALISME
Cahaya Khaeroni

Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami adikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah, adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha mengetahui lagi maha amat mengetahui (QS al Hujurat: 13)

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al Maidah: 48)


A. Pendahuluan

Indonesia adalah bangsa majemuk yang kaya akan suku, budaya, bahasa dan agama.[1] Keragaman tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya, kekayaan yang apabila salah dalam mengaturnya justru akan menjadi permasalahan yang sangat serius.[2] Hal ini dikarenakan  perbedaan latar belakang budaya, bahasa dan agama tersebut meniscayakan timbulnya perilaku dan karakter manusia yang berbeda pula. Sehingga tidak jarang perbedaan itu sering menjadi penyebab adanya konflik horizontal di kalangan masyarakat disebabkan tidak adanya upaya untuk saling menghargai dan menghormati antar sesama.[3]
Selain itu, pemahaman akan kondisi geografis Indonesia yang memiliki tebaran jumlah penduduk dalam konteks etnis dan suku bahkan agama yang beraneka ragam harus menjadi acuan penting untuk menggagas diskursus tentang kemajemukan secara lebih luas. Sesungguhnya gagasan mengenai pendidikan multikultural sudah cukup sangat jelas, akan tetapi gagasan tersebut masih cenderung terabaikan bahkan dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia.[4] Sehingga beranjak dari persoalan itulah, gagasan mengenai pendidikan multikultural mulai diwacanakan kembali dalam dunia pendidikan. Secara sederhana, pendidikan multikultural adalah sebuah gerakan reformasi yang di desain untuk membuat suatu perubahan besar dalam mendidik peserta didik. Para ahli dan peneliti tentang pendidikan multikultural pun percaya bahwa lembaga-lembaga pendidikan baik itu universitas maupun sekolah dapat menjadi garda terdepan dalam mengusung tema multikultural tersebut sehingga perbedaan-perbedaan baik yang menyangkut tentang ras, suku, bahasa, budaya, dan agama dapat menjadi harmoni bagi satu dengan yang lain dan bukan sebaliknya.
Atas dasar itulah, tulisan ini hadir dalam rangka untuk turut serta menyajikan tema mengenai diskurusus pendidikan multikultural dalam perspektif yang lebih luas dengan harapan tulisan ini dapat memberikan sumbangsih yang cukup berarti bagi pengembangan dunia pendidikan di Indonesia. Amin

B. Pengertian dan Akar Sejarah Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara bahasa multikulturalisme terdiri dari kata (multi) yang berarti banyak, (kultur) yang berarti budaya dan (isme) yang berarti aliran atau faham. Ringkasnya multikulturalisme berarti faham tentang kemajemukan budaya, faham atau ajaran tentang hidup bersama di tengah kenyataan sosial yang plural.
Dalam pengertian ini, multikulturalisme mengandung pengakuan terhadap martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing. Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi dan alat dalam rangka meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan.[5] Multikulturalisme adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat yang bersumber pada etnisitas. Pengalaman hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai yang berbeda bahkan cenderung tampil bertentangan.[6]
Yana Syafrie Yh mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah upaya untuk merajut kembali hubungan antar manusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konflik. Menurutnya perlu ada sebuah kesadaran yang muncul bahwa masih diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa multikulturalisme dapat dipahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dengan kompleksitas kehidupan  di dalamnya.
Perjumpaan manusia berlatarbelakang etnis yang berbeda semakin hari semakin meluas. Dalam satu bangsa yang majemuk, hidup dengan beragam suku, tradisi, cara hidup dan faham keagamaan. Jika tidak disadari secara mendalam fenomena demikian dapat memicu konflik internal dalam satu bangsa yang disertai kekerasan akibat arogansi manusia yang cenderung menganggap diri lebih baik dan lebih benar dan berhak menjadi penguasa atas yang lainnya.
Sementara itu, Masdar Hilmy berpendapat bahwa adanya keragaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan sosial yang tidak bisa dipungkiri. Meski demikian, hal itu tidak secara otomatis selalu diikuti dengan penerimaan yang positif. Bahkan justru banyak fakta yang menunjukan fenomena sebaliknya, yaitu bahwa kemajemukan budaya telah memberi sumbangan terbesar bagi munculnya ketegangan dan konflik sosial. Sehingga modal sosial yang berupa kemajemukan budaya tersebut menjadi kontraproduktif bagi terciptanya tatanan kehidupan bangsa yang toleran dan saling menghargai. Masyarakat indonesia belum memahami benar bahwa kemajemukan merupakan sesuatu yang given dan bukan bentukan manusia. Nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas bahwa setiap individu dan kelompok memiliki sistem keyakinan, budaya, dan agama yang berbeda.
Dengan demikian multikulturalitas kebangsaan bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua, di satu sisi ia merupakan modal yang bisa menghasilkan energi positif, tetapi di sisi lain manakala kemajemukan itu tidak dikelola secara benar, ia bisa menjadi ledakan destruktif yang menghancurkan pilar-pilar kebangsaan. Dalam hal ini kita bisa mencontoh Amerika Serikat. Amerika serikat adalah negara besar yang mampu mengelola kemajemukan budaya, ras dan agama sebagai modal besar untuk menuju kemajuan negara.[7]
Ide multikulturalisme pada awalnya berkembang di  Amerika Serikat. Sebagai benua baru, Amerika mengajak negara-negara di benua Eropa untuk bermigrasi mengadu nasib dan menetap di Amerika. Namun pada kenyataannya, migrasi besar-besaran penduduk eropa ke benua baru tersebut menimbulkan konflik kekerasan dengan penduduk asli Amerika Serikat yaitu bangsa Indian. Konflik pun diperparah dengan kedatangan penduduk dari benua Afrika yang juga hendak mengadu nasib dan menetap di Amerika. Maka dari sinilah multikulturalisme digagas sebagai solusi bagi hubungan yang harmonis dan saling menghargai atas perbedaan etnis di benua baru tersebut[8].
Untuk kasus di Indonesia, multikulturalisme sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Faham multikultural  digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk “mendisain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi pada kenyataannya bangsa Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran dan keluar dari konsep dasar tersebut. Artinya, konsep multikulturalisme menjadi sebuah konsep yang baru dan asing pada saat ini di masyarakat indonesia.
Hal ini terjadi  karena kesadaran tentang konsep multikulturalisme yang dibentuk oleh pendiri bangsa ini tidak terwujud  pada masa Orde Baru.  Kesadaran tersebut dipendam atas nama  persatuan dan stabilitas negara yang kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik  “penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya, sehingga sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.[9]

C. Karakteristik Kultur
Pengertian multikultur berakar dari kata kultur yang diartikan sebatas pada budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu, yang secara lebih spesifik berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan.[10] Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur mempunyai karakter-karakter khusus, diantaranya: Pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, sedangkan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada.
Kedua, kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Dalam hal ini ada tiga macam pembelajaran; (1) pembelajaran individu secara situasional. Pembelajaran ini terjadi pada hewan yang belajar tentang apa yang akan dilakukannya di masa yang akan datang berdasarkan pengalamannya sendiri; (2) pembelajaran situasi secara sosial. Ini dapat dipahami dengan mengambil contoh dari tingkah laku serigala yang belajar berburu dari melihat serigala lainnya melakukan perburuan; (3) pembelajaran kultural, yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya untuk menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal-usul di mana mereka berada.
Ketiga, kultur adalah sebuah simbol. Dalam hal ini simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan atau pun dijelaskan. Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Secara alamiah, manusia harus makan untuk mendapatkan energi, kemudian kultur mengajarkan pada manusia untuk makan apa, kapan dan bagaimana. Kultur juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan alam secara alamiah di mana mereka berada. Kita sadar, sebenarnya bahwa tidak dilarang untuk bertamu di atas jam 21.00. Akan tetapi semua masyarakat menyadari dan menyetujui bahwa bertamu di atas jam tersebut adalah tidak sopan, kecuali karena alasan darurat. Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Kultur, secara alamiah ditransformasikan melalui masyarakat. Pernyataan ini dapat dilihat dari pengalaman kita ketika belajar tentang kultur dengan cara observasi, mendengar, berbicara, dan berinteraksi dengan orang lain dalam kelompok kita.
Keenam, kultur adalah sebuah model. Artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat istiadat, institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai adalah sesuatu yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya, kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.[11]

D. Agama dalam Perspektif Multikulturalisme
Pada dasarnya ada banyak definisi mengenai multikulturalisme, namun secara garis besar multikulturalisme adalah sebuah pandangan dunia (world view)-yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, agama sebagai bagian penting dalam relasi vertikal dan horizontal manusia tentunya harus menjadi pertimbangan bagi kemajuan masyarakat. Relasi kehidupan beragama yang tidak diolah secara produktif akan memunculkan banyak potensi perpecahan. Atas dasar itulah memperkokoh masyarakat berbasis spiritualitas keagamaan adalah langkah strategis dalam membangun kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya.
Pada dasarnya setiap agama di dunia memiliki nilai-nilai khas (typical values) yang hanya terdapat pada masing-masing agama. Nilai ini diistilahkan dengan nilai partikular. Selain itu agama juga memiliki nilai-nilai umum yang dipercaya oleh semua agama. Inilah yang disebut dengan nilai universal. Wacana multikulturalisme sebenarnya tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai partikular dari agama karena upaya seperti itu merupakan hal yang impossible. Wacana ini hanya berupaya agar nilai partikular ini tetap berada dalam exsclusive locus.
Sekedar berada dalam wilayah komunitas yang mempercayai nilai partikular itu saja. Sedang bagi masyarakat luar yang tidak meyakini nilai-nilai partikular tersebut, maka yang diberlakukan adalah nilai universal. Pendek kata, partikularitas nilai dari suatu agama lebih-lebih lagi partikularitas ritual-ritual agama hanya diperuntukkan bagi intern pemeluk agama itu saja, dan tidak dipaksakan untuk pemeluk agama lain. Dalam menghadapi pemeluk agama berbeda yang harus dipegang adalah nilai-nilai universal berupa keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama, kejujuran dan lain sebagainya.[12]
Sebagai contoh rasulullah dalam menggali praktik-praktik toleransi: toleran terhadap mereka yang berbeda dapat terjadi dalam hal cara pandang. Suatu ketika Rasulullah bersama para sahabat sedang berdiskusi tentang keberadaan Allah. Secara tiba-tiba datang seorang Badui ke tengah-tengah mereka, lalu berkata: “Tuhan Allah, menurut pendapatku, berada di atas sana”. Umar bin Khattab marah mendengar perkataan Badui seraya mencabut pedang hendak membunuhnya. Rasulullah melarang tindakan Umar dan berkata: “Jangan kau bunuh, biarkanlah dia. Pendapatnya tidak salah, karena baru tahap itulah pemahaman intelektualnya tentang keberadaan Allah.[13]

E.  Agama dan konflik
Agama pada dasarnya mengandung misi yang mulia, lalu kenapa agama rentan konflik? Ada beberapa penyebabnya; pertama, cara beragama masyarakat yang masih berorientasi ke “dalam” sebagai pemahaman yang dangkal terhadap apa yang dipandang mempunyai nilai otoritatif dan kemutlakan dalam agama. Keberagamaan semacam ini dalam istilah psikologi disebut dengan gaya hidup keagamaan otoritatif (religion of authority). Agama manapun memang menyandarkan pada suatu otoritas mutlak yang hadir melalui simbol-simbol agama dimana Tuhan yang absolut berteofani. Sejatinya, inti spiritualitas dalam simbol harus dipahami dengan melakukan proses transendensi diri, yakni proses pembebasan diri dari perangkap-perangkap simbolik agama. Agama dapat diambil sebagai perekat sosial (societal glue) karena dalam dirinya tersedia sistem makna yang hadir melalui simbol. Dengan sistem makna inilah manusia disatukan dan terjadi kohesi sehingga terbentuk suatu komunitas.
Ada kecenderungan dalam diri manusia, sebagai bagian keadaan alami manusia, mempertahankan komunitas tersebut melalui suatu rangkaian sosialisasi, atau internalisasi secara berkesinambungan antar generasi. Dalam proses demikian, sudah barang tentu akan terjadi penguatan terhadap simbol yang sudah ada, dan sekaligus pembatasan (boundary maintenance) dari simbol yang lain, sehingga dengan demikian identitas komunal dapat dipertahankan. Namun demikian, dalam rangka mempertahankan identitas tersebut, ada kecenderungan dari anggota komunitas untuk bersikap eksklusif bahkan sering kali membuat suatu pencitraan yang besifat prejudice (prasangka) tentang komunitas lain. Dari sinilah biasanya konflik mulai digelar. Dan karena agama biasanya akan meluas ke mana-mana.
Kedua, dengan sikap keberagamaan tersebut, maka agama mudah dimanfaatkan untuk mem-blow up isu-isu di luar dunia keagamaan yang tengah mengemuka, seperti kesenjangan atau fragmentasi sosial.

F.  Mempertanyakan kembali teori Benturan peradaban (clash of civilization) Samuel Huntington dalam diskursus Multikulturalisme
Samuel Huntington yang dikenal sebagai tokoh pencetus teori benturan peradaban (clash of civilization) berpendapat bahwa di era modern saat ini benturan antar peradaban merupakan sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Setidaknya menurut Huntington, ada enam alasan utama kenapa konflik atau benturan peradaban dapat terjadi: Pertama, perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting adalah agama. Perbedaan-perbedaan ini, selama berabad-abad telah menimbulkan konflik. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda peradabannya semakin meningkatkan kesadaran-kesadaran mereka untuk memperkokoh identitas, yang pada gilirannya memperkuat perbedaan dan kebencian yang merentang atau dipandang merentang jauh ke belakang dalam sejarah. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah mengakar dengan kuat, di samping memperlemah Negara-negara sebagai sumber identitas mereka. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi Barat berada di puncak kekuatan, namun disisi lain, dan ini akibat posisi barat tersebut, yaitu kembalinya ke fenomena asal, sedang berlangsung di antara peradaban-peradaban non Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi antara karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat. Blok-blok ekonomi regional tampaknya terus meningkat pada masa yang akan datang.[14]
Adapun menurut Huntington, konflik atau benturan peradaban (clash of civilization) yang dilatarbelakangi oleh keenam faktor diatas, berlangsung pada dua tingkatan. Pada tingkat mikro, kelompok-kelompok yang berdekatan sepanjang garis pemisah di antara peradaban-peradaban sering kali berjuang dengan kekerasan untuk saling menguasai perbatasan masing-masing. Sedang pada tingkat makro, Negara-negara yang mempunyai peradaban yang berbeda-beda bersaing untuk  merebut kekuasaan ekonomi dan militer, berjuang untuk menguasai lembaga-lembaga internasional dan pihak-pihak ketiga, dan bersaing mempromosikan nilai-nilai agama dan politik mereka.
Beranjak dari persoalan itulah, sesungguhnya benturan-benturan akan dapat dihindari apabila pemahaman tentang multikulturalisme dapat dipahami secara baik. Karena multikulturalisme itu sendiri merupakan suatu konsep dengan aspek-aspek yang sangat luas dan kompleks karena berhubungan dengan masalah-masalah budaya, politik, sosial, ekonomi, dan filsafat.  Oleh sebab itu tentu saja multikulturalisme juga harus disesuaikan dengan perkembangan budaya dan kehidupan sosial ekonomi suatu bangsa.
Apabila Samuel Huntington mengkhawatirkan dunia masa depan akan terjadi clash dari berbagai budaya, dia sebetulnya cukup terlambat untuk menyadari hal tersebut, karena ternyata clash tersebut sesungguhnya terjadi di dalam kebudayaan sendiri. Sehingga atas dasar itulah, multikulturalisme berupaya untuk meluaskan pandangan seseorang bahwa kebenaran tidak dimonopoli oleh dirinya sendiri atau kelompoknya tetapi kebenaran dapat juga dimiliki oleh kelompok yang lain. Dengan saling mengenal dan saling menghargai mungkin dapat diciptakan kesepakatan untuk membangun kebenaran yang sama. Perbedaan di dalam persepsi mengenai apa yang benar bukanlah merupakan halangan untuk tidak dapat bersama-sama dan membangun masyarakat dunia yang aman dan bahagia.[15]

G. Signifikansi Pendidikan Multikultural 
              Untuk memahami tentang alasan mengapa pendidikan multikultural.....(read more)


























DAFTAR PUSTAKA

A Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005).

Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: PSAP, 2005).

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural (Jogjakarta: Inspeal, 2006).

Amy Gutmann, Multiculturalism; Examining the Politics of Recognition, (USA: Princeton University Press, 1994).

Choirul Fuad Yusuf (ed), Pendidikan agama berwawasan Kerukunan (Jakarta: Pena Citasatria, 2008).

Deputi bidang koordinasi pendidikan, Memelihara Kerukunan melalui pendidikan Multikultural (Kedeputian bidang koordinasi pendidikan, agama dan aparatur negara kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat republik Indonesia, 2009).

Gloria Boutte, Multicultural education; Raising Consciousness, (USA: Wadsworth Publishing Company,1999).

H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional ( Jakarta:PT Grasindo, 2004).

Hilda Hernandez, Multicultural; A teacher’s guide to content and process (Ohio: Merril Publishing company, 1989).


Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, (UK: Cambridge University Press, 2004).

James A. Banks, An introduction to Multicultural Education, (USA: Pearson Education, Inc. 2008).

Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultal: Rekonstruksi system pendidikan berbasis kebangsaan (Jawa Tengah: Stain Salatiga, 2007).

Muhammad Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross-cultural Understanding untuk demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007).

Ram Mahalingam and Cameron McCarthy (ed), Multicultural Curriculum; New direction for social theory, practice, and policy, (London: Routledge,2000).

Stefan Wolff, Ethnic Conflict: A Global Perspective, (Great Britain: Oxford University Press, 2006).

Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama berwawasan Multikultural (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005).