Kamis, 07 Januari 2016

AGAMA, PENDIDIKAN, DAN MULTIKULTURALISME

AGAMA, PENDIDIKAN, DAN MULTIKULTURALISME
Cahaya Khaeroni

Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami adikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah, adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha mengetahui lagi maha amat mengetahui (QS al Hujurat: 13)

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al Maidah: 48)


A. Pendahuluan

Indonesia adalah bangsa majemuk yang kaya akan suku, budaya, bahasa dan agama.[1] Keragaman tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya, kekayaan yang apabila salah dalam mengaturnya justru akan menjadi permasalahan yang sangat serius.[2] Hal ini dikarenakan  perbedaan latar belakang budaya, bahasa dan agama tersebut meniscayakan timbulnya perilaku dan karakter manusia yang berbeda pula. Sehingga tidak jarang perbedaan itu sering menjadi penyebab adanya konflik horizontal di kalangan masyarakat disebabkan tidak adanya upaya untuk saling menghargai dan menghormati antar sesama.[3]
Selain itu, pemahaman akan kondisi geografis Indonesia yang memiliki tebaran jumlah penduduk dalam konteks etnis dan suku bahkan agama yang beraneka ragam harus menjadi acuan penting untuk menggagas diskursus tentang kemajemukan secara lebih luas. Sesungguhnya gagasan mengenai pendidikan multikultural sudah cukup sangat jelas, akan tetapi gagasan tersebut masih cenderung terabaikan bahkan dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia.[4] Sehingga beranjak dari persoalan itulah, gagasan mengenai pendidikan multikultural mulai diwacanakan kembali dalam dunia pendidikan. Secara sederhana, pendidikan multikultural adalah sebuah gerakan reformasi yang di desain untuk membuat suatu perubahan besar dalam mendidik peserta didik. Para ahli dan peneliti tentang pendidikan multikultural pun percaya bahwa lembaga-lembaga pendidikan baik itu universitas maupun sekolah dapat menjadi garda terdepan dalam mengusung tema multikultural tersebut sehingga perbedaan-perbedaan baik yang menyangkut tentang ras, suku, bahasa, budaya, dan agama dapat menjadi harmoni bagi satu dengan yang lain dan bukan sebaliknya.
Atas dasar itulah, tulisan ini hadir dalam rangka untuk turut serta menyajikan tema mengenai diskurusus pendidikan multikultural dalam perspektif yang lebih luas dengan harapan tulisan ini dapat memberikan sumbangsih yang cukup berarti bagi pengembangan dunia pendidikan di Indonesia. Amin

B. Pengertian dan Akar Sejarah Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara bahasa multikulturalisme terdiri dari kata (multi) yang berarti banyak, (kultur) yang berarti budaya dan (isme) yang berarti aliran atau faham. Ringkasnya multikulturalisme berarti faham tentang kemajemukan budaya, faham atau ajaran tentang hidup bersama di tengah kenyataan sosial yang plural.
Dalam pengertian ini, multikulturalisme mengandung pengakuan terhadap martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing. Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi dan alat dalam rangka meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan.[5] Multikulturalisme adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat yang bersumber pada etnisitas. Pengalaman hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai yang berbeda bahkan cenderung tampil bertentangan.[6]
Yana Syafrie Yh mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah upaya untuk merajut kembali hubungan antar manusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konflik. Menurutnya perlu ada sebuah kesadaran yang muncul bahwa masih diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa multikulturalisme dapat dipahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dengan kompleksitas kehidupan  di dalamnya.
Perjumpaan manusia berlatarbelakang etnis yang berbeda semakin hari semakin meluas. Dalam satu bangsa yang majemuk, hidup dengan beragam suku, tradisi, cara hidup dan faham keagamaan. Jika tidak disadari secara mendalam fenomena demikian dapat memicu konflik internal dalam satu bangsa yang disertai kekerasan akibat arogansi manusia yang cenderung menganggap diri lebih baik dan lebih benar dan berhak menjadi penguasa atas yang lainnya.
Sementara itu, Masdar Hilmy berpendapat bahwa adanya keragaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan sosial yang tidak bisa dipungkiri. Meski demikian, hal itu tidak secara otomatis selalu diikuti dengan penerimaan yang positif. Bahkan justru banyak fakta yang menunjukan fenomena sebaliknya, yaitu bahwa kemajemukan budaya telah memberi sumbangan terbesar bagi munculnya ketegangan dan konflik sosial. Sehingga modal sosial yang berupa kemajemukan budaya tersebut menjadi kontraproduktif bagi terciptanya tatanan kehidupan bangsa yang toleran dan saling menghargai. Masyarakat indonesia belum memahami benar bahwa kemajemukan merupakan sesuatu yang given dan bukan bentukan manusia. Nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas bahwa setiap individu dan kelompok memiliki sistem keyakinan, budaya, dan agama yang berbeda.
Dengan demikian multikulturalitas kebangsaan bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua, di satu sisi ia merupakan modal yang bisa menghasilkan energi positif, tetapi di sisi lain manakala kemajemukan itu tidak dikelola secara benar, ia bisa menjadi ledakan destruktif yang menghancurkan pilar-pilar kebangsaan. Dalam hal ini kita bisa mencontoh Amerika Serikat. Amerika serikat adalah negara besar yang mampu mengelola kemajemukan budaya, ras dan agama sebagai modal besar untuk menuju kemajuan negara.[7]
Ide multikulturalisme pada awalnya berkembang di  Amerika Serikat. Sebagai benua baru, Amerika mengajak negara-negara di benua Eropa untuk bermigrasi mengadu nasib dan menetap di Amerika. Namun pada kenyataannya, migrasi besar-besaran penduduk eropa ke benua baru tersebut menimbulkan konflik kekerasan dengan penduduk asli Amerika Serikat yaitu bangsa Indian. Konflik pun diperparah dengan kedatangan penduduk dari benua Afrika yang juga hendak mengadu nasib dan menetap di Amerika. Maka dari sinilah multikulturalisme digagas sebagai solusi bagi hubungan yang harmonis dan saling menghargai atas perbedaan etnis di benua baru tersebut[8].
Untuk kasus di Indonesia, multikulturalisme sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Faham multikultural  digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk “mendisain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi pada kenyataannya bangsa Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran dan keluar dari konsep dasar tersebut. Artinya, konsep multikulturalisme menjadi sebuah konsep yang baru dan asing pada saat ini di masyarakat indonesia.
Hal ini terjadi  karena kesadaran tentang konsep multikulturalisme yang dibentuk oleh pendiri bangsa ini tidak terwujud  pada masa Orde Baru.  Kesadaran tersebut dipendam atas nama  persatuan dan stabilitas negara yang kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik  “penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya, sehingga sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.[9]

C. Karakteristik Kultur
Pengertian multikultur berakar dari kata kultur yang diartikan sebatas pada budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu, yang secara lebih spesifik berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan.[10] Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur mempunyai karakter-karakter khusus, diantaranya: Pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, sedangkan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada.
Kedua, kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Dalam hal ini ada tiga macam pembelajaran; (1) pembelajaran individu secara situasional. Pembelajaran ini terjadi pada hewan yang belajar tentang apa yang akan dilakukannya di masa yang akan datang berdasarkan pengalamannya sendiri; (2) pembelajaran situasi secara sosial. Ini dapat dipahami dengan mengambil contoh dari tingkah laku serigala yang belajar berburu dari melihat serigala lainnya melakukan perburuan; (3) pembelajaran kultural, yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya untuk menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal-usul di mana mereka berada.
Ketiga, kultur adalah sebuah simbol. Dalam hal ini simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan atau pun dijelaskan. Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Secara alamiah, manusia harus makan untuk mendapatkan energi, kemudian kultur mengajarkan pada manusia untuk makan apa, kapan dan bagaimana. Kultur juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan alam secara alamiah di mana mereka berada. Kita sadar, sebenarnya bahwa tidak dilarang untuk bertamu di atas jam 21.00. Akan tetapi semua masyarakat menyadari dan menyetujui bahwa bertamu di atas jam tersebut adalah tidak sopan, kecuali karena alasan darurat. Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Kultur, secara alamiah ditransformasikan melalui masyarakat. Pernyataan ini dapat dilihat dari pengalaman kita ketika belajar tentang kultur dengan cara observasi, mendengar, berbicara, dan berinteraksi dengan orang lain dalam kelompok kita.
Keenam, kultur adalah sebuah model. Artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat istiadat, institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai adalah sesuatu yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya, kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.[11]

D. Agama dalam Perspektif Multikulturalisme
Pada dasarnya ada banyak definisi mengenai multikulturalisme, namun secara garis besar multikulturalisme adalah sebuah pandangan dunia (world view)-yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, agama sebagai bagian penting dalam relasi vertikal dan horizontal manusia tentunya harus menjadi pertimbangan bagi kemajuan masyarakat. Relasi kehidupan beragama yang tidak diolah secara produktif akan memunculkan banyak potensi perpecahan. Atas dasar itulah memperkokoh masyarakat berbasis spiritualitas keagamaan adalah langkah strategis dalam membangun kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya.
Pada dasarnya setiap agama di dunia memiliki nilai-nilai khas (typical values) yang hanya terdapat pada masing-masing agama. Nilai ini diistilahkan dengan nilai partikular. Selain itu agama juga memiliki nilai-nilai umum yang dipercaya oleh semua agama. Inilah yang disebut dengan nilai universal. Wacana multikulturalisme sebenarnya tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai partikular dari agama karena upaya seperti itu merupakan hal yang impossible. Wacana ini hanya berupaya agar nilai partikular ini tetap berada dalam exsclusive locus.
Sekedar berada dalam wilayah komunitas yang mempercayai nilai partikular itu saja. Sedang bagi masyarakat luar yang tidak meyakini nilai-nilai partikular tersebut, maka yang diberlakukan adalah nilai universal. Pendek kata, partikularitas nilai dari suatu agama lebih-lebih lagi partikularitas ritual-ritual agama hanya diperuntukkan bagi intern pemeluk agama itu saja, dan tidak dipaksakan untuk pemeluk agama lain. Dalam menghadapi pemeluk agama berbeda yang harus dipegang adalah nilai-nilai universal berupa keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama, kejujuran dan lain sebagainya.[12]
Sebagai contoh rasulullah dalam menggali praktik-praktik toleransi: toleran terhadap mereka yang berbeda dapat terjadi dalam hal cara pandang. Suatu ketika Rasulullah bersama para sahabat sedang berdiskusi tentang keberadaan Allah. Secara tiba-tiba datang seorang Badui ke tengah-tengah mereka, lalu berkata: “Tuhan Allah, menurut pendapatku, berada di atas sana”. Umar bin Khattab marah mendengar perkataan Badui seraya mencabut pedang hendak membunuhnya. Rasulullah melarang tindakan Umar dan berkata: “Jangan kau bunuh, biarkanlah dia. Pendapatnya tidak salah, karena baru tahap itulah pemahaman intelektualnya tentang keberadaan Allah.[13]

E.  Agama dan konflik
Agama pada dasarnya mengandung misi yang mulia, lalu kenapa agama rentan konflik? Ada beberapa penyebabnya; pertama, cara beragama masyarakat yang masih berorientasi ke “dalam” sebagai pemahaman yang dangkal terhadap apa yang dipandang mempunyai nilai otoritatif dan kemutlakan dalam agama. Keberagamaan semacam ini dalam istilah psikologi disebut dengan gaya hidup keagamaan otoritatif (religion of authority). Agama manapun memang menyandarkan pada suatu otoritas mutlak yang hadir melalui simbol-simbol agama dimana Tuhan yang absolut berteofani. Sejatinya, inti spiritualitas dalam simbol harus dipahami dengan melakukan proses transendensi diri, yakni proses pembebasan diri dari perangkap-perangkap simbolik agama. Agama dapat diambil sebagai perekat sosial (societal glue) karena dalam dirinya tersedia sistem makna yang hadir melalui simbol. Dengan sistem makna inilah manusia disatukan dan terjadi kohesi sehingga terbentuk suatu komunitas.
Ada kecenderungan dalam diri manusia, sebagai bagian keadaan alami manusia, mempertahankan komunitas tersebut melalui suatu rangkaian sosialisasi, atau internalisasi secara berkesinambungan antar generasi. Dalam proses demikian, sudah barang tentu akan terjadi penguatan terhadap simbol yang sudah ada, dan sekaligus pembatasan (boundary maintenance) dari simbol yang lain, sehingga dengan demikian identitas komunal dapat dipertahankan. Namun demikian, dalam rangka mempertahankan identitas tersebut, ada kecenderungan dari anggota komunitas untuk bersikap eksklusif bahkan sering kali membuat suatu pencitraan yang besifat prejudice (prasangka) tentang komunitas lain. Dari sinilah biasanya konflik mulai digelar. Dan karena agama biasanya akan meluas ke mana-mana.
Kedua, dengan sikap keberagamaan tersebut, maka agama mudah dimanfaatkan untuk mem-blow up isu-isu di luar dunia keagamaan yang tengah mengemuka, seperti kesenjangan atau fragmentasi sosial.

F.  Mempertanyakan kembali teori Benturan peradaban (clash of civilization) Samuel Huntington dalam diskursus Multikulturalisme
Samuel Huntington yang dikenal sebagai tokoh pencetus teori benturan peradaban (clash of civilization) berpendapat bahwa di era modern saat ini benturan antar peradaban merupakan sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Setidaknya menurut Huntington, ada enam alasan utama kenapa konflik atau benturan peradaban dapat terjadi: Pertama, perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting adalah agama. Perbedaan-perbedaan ini, selama berabad-abad telah menimbulkan konflik. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda peradabannya semakin meningkatkan kesadaran-kesadaran mereka untuk memperkokoh identitas, yang pada gilirannya memperkuat perbedaan dan kebencian yang merentang atau dipandang merentang jauh ke belakang dalam sejarah. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah mengakar dengan kuat, di samping memperlemah Negara-negara sebagai sumber identitas mereka. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi Barat berada di puncak kekuatan, namun disisi lain, dan ini akibat posisi barat tersebut, yaitu kembalinya ke fenomena asal, sedang berlangsung di antara peradaban-peradaban non Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi antara karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat. Blok-blok ekonomi regional tampaknya terus meningkat pada masa yang akan datang.[14]
Adapun menurut Huntington, konflik atau benturan peradaban (clash of civilization) yang dilatarbelakangi oleh keenam faktor diatas, berlangsung pada dua tingkatan. Pada tingkat mikro, kelompok-kelompok yang berdekatan sepanjang garis pemisah di antara peradaban-peradaban sering kali berjuang dengan kekerasan untuk saling menguasai perbatasan masing-masing. Sedang pada tingkat makro, Negara-negara yang mempunyai peradaban yang berbeda-beda bersaing untuk  merebut kekuasaan ekonomi dan militer, berjuang untuk menguasai lembaga-lembaga internasional dan pihak-pihak ketiga, dan bersaing mempromosikan nilai-nilai agama dan politik mereka.
Beranjak dari persoalan itulah, sesungguhnya benturan-benturan akan dapat dihindari apabila pemahaman tentang multikulturalisme dapat dipahami secara baik. Karena multikulturalisme itu sendiri merupakan suatu konsep dengan aspek-aspek yang sangat luas dan kompleks karena berhubungan dengan masalah-masalah budaya, politik, sosial, ekonomi, dan filsafat.  Oleh sebab itu tentu saja multikulturalisme juga harus disesuaikan dengan perkembangan budaya dan kehidupan sosial ekonomi suatu bangsa.
Apabila Samuel Huntington mengkhawatirkan dunia masa depan akan terjadi clash dari berbagai budaya, dia sebetulnya cukup terlambat untuk menyadari hal tersebut, karena ternyata clash tersebut sesungguhnya terjadi di dalam kebudayaan sendiri. Sehingga atas dasar itulah, multikulturalisme berupaya untuk meluaskan pandangan seseorang bahwa kebenaran tidak dimonopoli oleh dirinya sendiri atau kelompoknya tetapi kebenaran dapat juga dimiliki oleh kelompok yang lain. Dengan saling mengenal dan saling menghargai mungkin dapat diciptakan kesepakatan untuk membangun kebenaran yang sama. Perbedaan di dalam persepsi mengenai apa yang benar bukanlah merupakan halangan untuk tidak dapat bersama-sama dan membangun masyarakat dunia yang aman dan bahagia.[15]

G. Signifikansi Pendidikan Multikultural 
              Untuk memahami tentang alasan mengapa pendidikan multikultural.....(read more)


























DAFTAR PUSTAKA

A Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005).

Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: PSAP, 2005).

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural (Jogjakarta: Inspeal, 2006).

Amy Gutmann, Multiculturalism; Examining the Politics of Recognition, (USA: Princeton University Press, 1994).

Choirul Fuad Yusuf (ed), Pendidikan agama berwawasan Kerukunan (Jakarta: Pena Citasatria, 2008).

Deputi bidang koordinasi pendidikan, Memelihara Kerukunan melalui pendidikan Multikultural (Kedeputian bidang koordinasi pendidikan, agama dan aparatur negara kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat republik Indonesia, 2009).

Gloria Boutte, Multicultural education; Raising Consciousness, (USA: Wadsworth Publishing Company,1999).

H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional ( Jakarta:PT Grasindo, 2004).

Hilda Hernandez, Multicultural; A teacher’s guide to content and process (Ohio: Merril Publishing company, 1989).


Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, (UK: Cambridge University Press, 2004).

James A. Banks, An introduction to Multicultural Education, (USA: Pearson Education, Inc. 2008).

Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultal: Rekonstruksi system pendidikan berbasis kebangsaan (Jawa Tengah: Stain Salatiga, 2007).

Muhammad Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross-cultural Understanding untuk demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007).

Ram Mahalingam and Cameron McCarthy (ed), Multicultural Curriculum; New direction for social theory, practice, and policy, (London: Routledge,2000).

Stefan Wolff, Ethnic Conflict: A Global Perspective, (Great Britain: Oxford University Press, 2006).

Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama berwawasan Multikultural (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005).

Tidak ada komentar: