Proses Konsolidasi dan Pembelaan
Eksistensi Agama
dalam ranah Negara di era awal kemerdekaan
Indonesia
Cahaya Khaeroni
I.
Pendahuluan
Pertautan antara agama dan negara sampai sejauh ini masih terus diwacanakan
ke ranah publik, hal ini dikarenakan perjuangan untuk mempertemukan keduanya
bukanlah merupakan sesuatu yang mudah untuk dilalui. Contoh yang paling dapat terlihat
jelas adalah pada kasus perjuangan para tokoh agama terdahulu dalam
memperjuangkan upaya konsolidasi dan pembelaan eksistensi agama ke dalam ranah
negara di era-era awal kemerdekaan. Dalam kasus ini akan nampak begitu jelas
bagaimana beratnya lika-liku perjuangan yang harus ditempuh mereka untuk
mencapai tujuan tersebut.
Melalui tulisannya yang berjudul ‘KH Wahid Hasyim: Konsolidasi dan pembelaan eksistensi’ Saiful
Umam telah memaparkan secara baik mengenai perjuangan Wahid Hasyim selaku tokoh
agama dalam meneguhkan eksistensi agama di ranah negara pada era-era awal
kemerdekaan negara Indonesia. Wahid Hasyim
sebagaimana dikenal sebagai tokoh agama yang memiliki pandangan yang
sangat luas selalu menegaskan akan perlunya sebuah upaya untuk meletakkan dan
menanamkan pandangan umat Islam akan pentingnya
Ilmu pengetahuan dan ketaqwaan. Bagi Wahid Hasyim, beragama tidak
berarti buta akan ilmu dan sebaliknya cakap ilmu pengetahuan bukan berarti buta
akan agama.
Dalam kiprahnya di dunia politik Wahid
Hasyim memiliki dua perhatian utama pada saat menjabat sebagai
menteri agama,
yaitu; Pertama,
pemantapan lembaga kementerian agama
dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga tidak dicurigai sebagai departemen
orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen teknis
lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya menguasai ilmu
pengetahuan dan Islam secara seimbang. Perhatian ini mewujud pada terbentuknya
PTAIN yang kemudian berkembang menjadi IAIN.
Hal inilah yang kemudian
ingin dipaparkan secara lebih mendalam oleh Saiful Umam dalam tulisannya
mengenai konsolidasi dan eksistensi agama di ranah Negara.
II. Latar belakang
Latar belakang dari buku yang ditulis oleh Saiful Umam adalah
mengenai bagaimana sejarah proses konsolidasi dan eksistensi agama ke dalam
ranah Negara pada masa-masa awal kemerdekaan. Yang dalam tulisannya tersebut,
Saiful Umam membidik peran Wahid Hasyim dalam memperjuangkan eksistensi agama
di cakupan Negara. Dalam tulisannya Saiful Umam memaparkan bahwa Wahid Hasyim
merupakan seorang tokoh yang sangat luar biasa karena meskipun umurnya tidak begitu
cukup panjang, akan tetapi peran dan kontribusinya begitu luar biasa bagi
bangsa Indonesia.
Ada dua hal penting yang dilakukan oleh Wahid hasyim ketika
menjabat sebagai menteri agama, yaitu: Pertama, pemantapan lembaga kementerian
agama dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga tidak dicurigai sebagai
departemen orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen
teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya
menguasai ilmu pengetahuan dan Islam secara seimbang. Perhatian ini mewujud
pada terbentuknya PTAIN yang kemudian berkembang menjadi IAIN.
Pada wilayah pertama, yang dilakukan oleh Wahid Hasyim
adalah melakukan restrukturisasi lembaga kementerian agama. Hal ini persisnya
terjadi pada saat beliau\ menjabat sebagai menteri agama, Wahid Hasyim melihat
perlunya upaya penyatuan kembali pemerintahan yang saat itu cenderung dualistik.
Hal itu dimaklumi karena memang pada saat itu, berdasarkan hasil keputusan
konferensi meja bundar di Denhaag Belanda, dibentuklah Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS), yang secara langsung berimbas pada munculnya dualisme
pemerintahan, sehingga muncul pula dua kementerian keagamaan (kementerian
keagamaan di dalam RIS dan RI). Di dalam RI menterinya KH Faqih Usman,
sementara Wahid Hasyim menjabat sebagai menteri di RIS, yang bahkan pada waktu
itu kementeriannya belum memiliki gedung kantor sendiri.
Hingga akhirnya melalui surat keputusan No. A
II/2/21/2175 pada tanggal 7 Juni 1950, ditandatanganilah kesepakatan antara
Wahid Hasyim dan Faqih Usman untuk menyatukan kedua kementerian tersebut.
Dengan penyatuan ini Wahid Hasyim mulai melakukan restrukturisasi kementerian
baik restrukturisasi keorganisasian maupun restrukturisasi lapangan pekerjaan. Selama
masa menjabatnya pada dua periode (periode kabinet Natsir dan kabinet Sukiman)
Wahid Hasyim telah memperluas struktur keorganisasian menjadi delapan bagian,
di luar menteri dan sekjen, yakni sekretaris umum, hukum, urusan haji, Kristen
protestan, katolik, pergerakan agama, politik, kepegawaian, dan perbendaharaan
dan tiga jawatan di Yogyakarta. Sedangkan dalam hal lapangan pekerjaan, Wahid
Hasyim melakukan perombakan yang cukup fantastis, perombakan ini meliputi 12
poin, diantaranya: melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
sebaik-baiknya, menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya, menyelenggarakan,memimpin dan mengawasi pendidikan agama di
sekolah-sekolah negeri, dan memberi bantuan material untuk perbaikan dan
pemeliharaan tempat-tempat ibadah. Semua lapangan pekerjaan tersebut merupakan
pengejawantahan fungsi utama Kementerian Agama sebagai pendukung dan pelaksana
utama asas sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan semakin banyaknya struktur dan lapangan
pekerjaan yang luas, berdampak pada peningkatan jumlah personalia yang cukup
drastis. Jumlah personalia yang awalnya hanya ada tujuh orang berubah menjadi
ribuan orang yang direkrut oleh kementerian agama di bawah pimpinan Wahid Hasyim.
Dana yang dibutuhkan untuk tugas kementerian ini pun bertambah besar, sehingga
pergerakan kementerian agama semakin berkembang pesat, tidak berlebihan kiranya
jika Wahid Hasyim dianggap sebagai sosok tokoh yang meletakkan fondasi yang kuat
bagi kementerian ini.
Selain upaya tersebut,
upaya lain yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah mempertahankan posisi
kementerian agama. Perlu diketahui sebelumnya bahwa kemunculan kementerian
agama ini pada awalnya ditujukan untuk mengurus aspirasi umat Islam yang pada
awalnya memang sempat kecewa karena aspirasi mereka ditolak oleh BPUPKI.
Sementara itu ketika awal Indonesia merdeka, Indonesia masih berada dalam
bayang-bayang ancaman Belanda, sehingga untuk menepis ancaman tersebut presiden
Sukarno membutuhkan banyak dukungan khususnya dari kalangan muslim sebagai
masyarakat mayoritas, hal inilah yang kemudian langsung membuatnya menyetujui
ketika ada usulan pendirian kementerian agama. Namun dalam perjalanannya
kementerian ini mendapat banyak kritikan tajam, bahkan sampai adanya tuntutan
pembubaran dengan berbagai alasan. Hal inilah yang kemudian membuat Wahid
Hasyim berusaha keras untuk dapat meredam berbagai tuntutan-tuntutan tersebut.
Wahid Hasyim
mengklasifikasikan bahwa setidaknya ada tiga persepsi kelompok berbeda dalam
memandang eksistensi kementerian agama. Kelompok pertama, mereka yang tidak
senang akan keberadaan kementerian agama, hal ini karena kementerian agama dianggap
akan mengganggu prinsip-prinsip mereka
sendiri. Kelompok ini pada umumnya adalah orang-orang yang tidak memiliki
semangat keagamaan atau sekuler. Kedua, kelompok yang mendukung kehadiran
kementerian ini, bahkan menyandarkan harapan yang sangat tinggi terhadap kementerian
ini. Kelompok ini adalah kelompok umat Islam yang pada umumnya adalah kelompok
mayoritas. Ketiga, kelompok yang menyambut baik tapi dengan sikap khawatir,
kelompok terakhir ini datang dari kalangan masyarakat agama minoritas. Kekhawatiran
kelompok ini pada akhirnya mengkerucut pada sikap penolakan tatkala kementerian
ini tidak dapat memenuhi aspirasi mereka dan hanya cenderung mengurusi umat
Islam belaka. Alasan lain yang dimunculkan adalah tugas-tugas kementerian ini
dapat dikerjakan oleh kementerian lain yang sudah ada seperti kementerian dalam
negeri, luar negeri dll. Keberadaan kementerian agama hanya bersifat pemborosan
anggaran semata dan menjadi ajang perebutan jabatan antar partai, sehingga
tidak ada alasan kuat untuk mempertahankan keberadaan kementerian ini.
Menanggapi persoalan
tersebut Wahid Hasyim langsung berusaha menepisnya dengan tegas. Menurutnya
pemerintah tetap wajib untuk melayani dan memenuhi keperluan rakyatnya tentang
agama berdasarkan pancasila. Pemisahan agama dan Negara pada dasarnya hanya ada
dalam wilayah teori belaka, karena pada kenyataannya tidak ada sama sekali Negara
yang dapat memisahkan dirinya dengan agama, kecuali Negara yang benar-benar
ateis. Meskipun penghapusan kementerian agama dilakukan dan fungsinya ditangani
oleh kementerian lain, Wahid Hasyim mengingatkan bahwa hal itu akan sangat
menyakiti perasaan umat Islam sebagai masyarakat mayoritas. Sedangkan, terkait
dengan keberatan kalangan non-muslim yang beranggapan kementerian ini lebih
banyak memperhatikan umat islam saja, secara sigap Wahid Hasyim menunjukkan
fakta bahwa jumlah penganut Islam jauh lebih besar dari pada non Muslim,
sehingga wajar saja jika kementerian agama lebih banyak memperhatikan umat
Islam. Tetapi hal itu dilakukan bukan disebabkan oleh sikap diskriminasi,
melainkan semata karena jumlah umat Islam yang memang jauh lebih besar. Wahid
Hasyim menegaskan bahwa kementerian agama bukanlah kementerian bagi umat Islam
saja, tetapi bagi semua pemeluk agama. Tanggapan Wahid Hasyim inilah yang pada
akhirnya langsung berhasil membungkam berbagai persepsi negatif dari berbagai
kalangan masyarakat yang mencoba menolak keberadaan kementerian agama.
Selanjutnya pada wilayah
kedua, yang menjadi sorotan Wahid Hasyim adalah mengenai persoalan
menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Wahid Hasyim telah berkali-kali
menegaskan bahwasanya penting bagi bangsa Indonesia khususnya umat muslim untuk
menguasai tidak hanya ilmu agama semata, tetapi juga ilmu umum juga. Dalam beberapa
kesempatan dia juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dikungkung
oleh perasaan keagamaan yang sempit. Salah satu implementasi dari pandangannya
ini adalah keputusannya untuk mendirikan perguruan tinggi Islam yang baik
dengan menggunakan sistem modern. Akhirnya keluarlah peraturan pemerintah no 34
tahun 1950 tentang pengembangan fakultas agama dari Universitas Islam Indonesia
(UII) menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Indonesia (PTAIN). Guna melaksanakan
itu dibentuklah panitia perguruan tinggi Islam, yang diketuai oleh KH Fathurrahman Kafrawi dengan beranggotakan
11 orang resmi dibukalah PTAIN di Yogyakarta pada tanggal 15 september 1951.
Dalam sambutan pembukaan
PTAIN, Wahid Hasyim menjelaskan bahwa latar belakang pendirian PTAIN tersebut
adalah mengenai keprihatinannya akan kualitas Sumber daya Manusia dikalangan
umat islam, padahal di sisi lain umat Islam adalah masyarakat mayoritas. Selain
itu, Wahid Hasyim juga merasa prihatin akan kecenderungan pimpinan bangsa
Indonesia yang dualistik. Di satu sisi ada pemimpin politik Islam yang pada
umumnya berpendidikan Barat, namun tidak punya pengetahuan agama yang cukup.
Sementara di sisi lain, pemimpin agama Islam, yang para ulama yang pada umumnya
tidak mempunyai pengetahuan umum dan politik. Atas dasar itulah Wahid hasyim
mengharapkan agar PTAIN tersebut dapat melahirkan cendekiawan yang tidak hanya
memiliki pemahaman agama yang mendalam, tetapi juga memahami
persoalan-persoalan umum termasuk persoalan politik.
Perhatian Wahid Hasyim
mengenai perlunya integrasi ilmu dan agama juga diimplementasikannya pada
bentuk pemberian pelajaran-pelajaran agama di sekolah umum. Hingga munculnya UU
pendidikan no 4/1950. Menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan bersama
menteri agama mengeluarkan keputusan bersama yang intinya menegaskan bahwa
pelajaran agama harus diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu untuk
memenuhi akan kebutuhan terhadap guru agama, Wahid Hasyim mengeluarkan surat
edaran yang menegaskan agar di tiap daerah karisidenan didirikan sekolah guru
agama Islam (SGAI), yang kemudian berubah menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN). Dampak pendirian lembaga ini begitu luar biasa, karena keberadaan PGA
tidak lagi hanya ada di karisidenan, tetapi juga sampai ditingkatan kabupaten.
Hal ini secara tidak langsung juga berdampak terhadap peningkatan jumlah
peminat di PTAIN, karena dengan semakin banyaknya alumni PGAN, tentu saja akan
banyak pula yang melanjutkan pendidikannya ke PTAIN.
Upaya lain yang dilakukan
oleh Wahid Hasyim adalah mengenai perbaikan manajemen penyelenggaraan Haji. Hal
ini bisa dimaklumi karena pada awal kemerdekaan, umat Islam sulit sekali untuk
dapat menunaikan ibadah haji karena masih disibukkan dengan upaya
mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Selain itu umat Islam juga terikat
dengan fatwa para ulama yang melarang umat Islam menunaikan haji dalam rangka
memboikot terhadap jasa layanan pelayaraan yang pada saat itu dikuasai oleh
armada pelayaran Belanda.
Hingga akhirnya Wahid
Hasyim memutuskan kebijakan bahwa pelaksanaan haji sepenuhnya berada di tangan
pemerintah, yakni bagian urusan haji dari kementerian agama. Bidang ini
bekerjasama dengan yayasan PHI (Yayasan perjalanan haji Indonesia), dan ini
merupakan hasil kongres Muslimin Indonesia pada Desember 1949. Dengan adanya
kebijakan ini tentu saja akan semakin memudahkan penyelenggaraan ibadah haji
dan juga menyelamatkan para calon jamaah haji dari tipuan pihak-pihak yang
bertanggung jawab. Selain itu, Manajemen penyelenggaraan haji juga semakin
ditingkatkan dengan memperketat aturan-aturan bagi calon jamaah seperti cek
kesehatan, pembatasan kuota jamaah haji, memiliki harta yang cukup, dan tidak
buta huruf. Kebijakan untuk melarang jamaah yang buta huruf untuk berangkat
haji untuk masa itu, aturan tersebut barangkali cukup memberatkan bagi para
calon jamaah, mengingat pada masa itu masih banyak masyarakat Islam yang buta
huruf. Akan tetapi ini memang diniatkan oleh Wahid Hasyim agar umat Islam mau
belajar untuk membaca, sehingga pada gilirannya nanti akan meningkatkan sumber
daya manusia masyarakat muslim.
Terobosan lain yang
dicetuskan oleh Wahid Hasyim adalah dimulainya perayaan hari besar secara
kenegaraan, tepatnya adalah pada perayaan Maulid nabi yang diadakan di istana
Negara pada 2 januari 1950, sejak saat itulah, perayaan tersebut selalu
diadakan ditempat yang sama dan dihadiri oleh presiden.
III. Keunggulan
Keunggulan dari
tulisan Saiful Umam adalah pada cara penuturannya yang terasa begitu runtut
dalam setiap tulisannya. Cara dia menjelaskan mengenai kiprah Wahid Hasyim
terasa begitu mengalir sehingga setiap pembaca dapat dengan mudah mencerna
setiap bagian dari tulisannya tersebut tanpa merasa jenuh. Keunggulan lain yang
dimiliki tulisan Saiful Umam ini adalah dari segi sumber yang begitu padat dan
kaya, sehingga berbagai argumentasi yang dipaparkan didalamnya selalu mengacu
pada sumber-sumber yang otoritatif.
IV. Kekurangan
Barangkali agak
cukup sulit sebenarnya untuk mencari kekurangan dari tulisan Saiful Umam yang
telah dibuat secara nyaris sempurna. Namun demikian, jika dikaji secara lebih
teliti sesungguhnya ada satu kekurangan mendasar dari tulisan yang dibuat oleh
Saiful Umam. Kekurangan itu adalah terletak pada cara bersikap dia ketika
menuturkan berbagai hal mengenai Wahid Hasyim dan perjuangan beliau dalam
meneguhkan eksistensi agama di ranah Negara, sikap yang dia tunjukkan dalam
tulisannya cenderung berkesan sebagai seorang pengagum Wahid Hasyim, sehingga
nampak banyak sekali kata-kata yang cenderung bombastis dalam mengekspresikan
sosok tersebut. Selain itu, tulisan Saiful Umam disini juga sepertinya lupa
untuk mencoba memberikan kritik terhadap pemikiran maupun segala kebijakan yang
dilakukan Wahid Hasyim. Seorang yang cenderung menjadi pengagum pada umumnya
memang akan sangat sulit sekali untuk dapat memberikan kritik terhadap subjek
yang dia kaji, dan perihal inilah yang menjadi kekurangan mendasar dari tulisan
Saiful Umam.
V.
Penutup
Dari berbagai penjelasan yang dipaparkan sebelumnya dalam
tulisan Saiful Umam dapat disimpulkan bahwa sosok wahid hasyim adalah seorang
yang sangat moderat. Kendatipun dilahirkan dalam kultur pesantren yang begitu
kental dengan nuansa Islam, tidaklah lantas membuatnya terkungkung dalam
pusaran dunia Islam semata, dimana pada saat itu banyak sekali ulama-ulama
Islam yang biasanya cenderung kaku dan menjauhkan diri dari dunia luar.
Kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam yang begitu memprihatinkan
membuatnya tergerak untuk melakukan suatu perubahan dengan membuat
kebijakan-kebijakan yang dapat mengantarkan umat muslim kepada kemajuan.
Sumbangannya begitu terasa bagi masyarakat, khususnya
berkaitan dengan perjuangannya dalam meneguhkan eksistensi agama di dalam
cakupan ranah Negara. Kemampuannya untuk meneguhkan keyakinan masyarakat akan
perlunya eksistensi kementerian agama di Indonesia merupakan upaya yang begitu sangat
luar biasa. Tanpa gagasannya yang begitu brilian, bisa dibayangkan barangkali
saat ini Indonesia tidak akan pernah memiliki lembaga kementerian agama. Gagasannya
untuk memperbaiki penyelenggaraan haji juga telah membantu para calon jamaah
haji lebih mudah dalam melaksanakannya. Selain itu, PTAIN yang saat ini telah
banyak berkembang menjadi universitas-universitas yang begitu besar dan telah
melahirkan beribu-ribu kader sarjana dan cendekiawan muslim barangkali tidak
akan pernah ada eksistensinya jika pada waktu itu Wahid Hasyim tidak pernah
menggagas pendirian PTAIN.
Terakhir,
meskipun masih ada kekurangan yang cukup mendasar dalam tulisan Saiful Umam.
Penulis tetap mengapresiasi karya Saiful Umam sebagai karya yang sangat baik
dalam turut serta memperkaya khazanah keilmuan dan keIslaman di Bumi Indonesia
tercinta. Wallahu A’lam bi Ash Shawwab.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar