Kamis, 07 Januari 2016

Proses Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi Agama 
dalam ranah Negara di era awal kemerdekaan Indonesia

Cahaya Khaeroni

I.      Pendahuluan
Pertautan antara agama dan negara sampai sejauh ini masih terus diwacanakan ke ranah publik, hal ini dikarenakan perjuangan untuk mempertemukan keduanya bukanlah merupakan sesuatu yang mudah untuk dilalui. Contoh yang paling dapat terlihat jelas adalah pada kasus perjuangan para tokoh agama terdahulu dalam memperjuangkan upaya konsolidasi dan pembelaan eksistensi agama ke dalam ranah negara di era-era awal kemerdekaan. Dalam kasus ini akan nampak begitu jelas bagaimana beratnya lika-liku perjuangan yang harus ditempuh mereka untuk mencapai tujuan tersebut.
Melalui tulisannya yang berjudul ‘KH Wahid Hasyim: Konsolidasi dan pembelaan eksistensi’ Saiful Umam telah memaparkan secara baik mengenai perjuangan Wahid Hasyim selaku tokoh agama dalam meneguhkan eksistensi agama di ranah negara pada era-era awal kemerdekaan negara Indonesia. Wahid Hasyim  sebagaimana dikenal sebagai tokoh agama yang memiliki pandangan yang sangat luas selalu menegaskan akan perlunya sebuah upaya untuk meletakkan dan menanamkan pandangan umat Islam akan pentingnya  Ilmu pengetahuan dan ketaqwaan. Bagi Wahid Hasyim, beragama tidak berarti buta akan ilmu dan sebaliknya cakap ilmu pengetahuan bukan berarti buta akan agama.
Dalam kiprahnya di dunia politik Wahid Hasyim memiliki dua perhatian utama pada saat menjabat sebagai menteri agama, yaitu; Pertama, pemantapan lembaga kementerian agama dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga tidak dicurigai sebagai departemen orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan Islam secara seimbang. Perhatian ini mewujud pada terbentuknya PTAIN yang kemudian berkembang menjadi IAIN.
Hal inilah yang kemudian ingin dipaparkan secara lebih mendalam oleh Saiful Umam dalam tulisannya mengenai konsolidasi dan eksistensi agama di ranah Negara.  

II.    Latar belakang
Latar belakang dari buku yang ditulis oleh Saiful Umam adalah mengenai bagaimana sejarah proses konsolidasi dan eksistensi agama ke dalam ranah Negara pada masa-masa awal kemerdekaan. Yang dalam tulisannya tersebut, Saiful Umam membidik peran Wahid Hasyim dalam memperjuangkan eksistensi agama di cakupan Negara. Dalam tulisannya Saiful Umam memaparkan bahwa Wahid Hasyim merupakan seorang tokoh yang sangat luar biasa karena meskipun umurnya tidak begitu cukup panjang, akan tetapi peran dan kontribusinya begitu luar biasa bagi bangsa Indonesia.
Ada dua hal penting yang dilakukan oleh Wahid hasyim ketika menjabat sebagai menteri agama, yaitu: Pertama, pemantapan lembaga kementerian agama dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga tidak dicurigai sebagai departemen orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan Islam secara seimbang. Perhatian ini mewujud pada terbentuknya PTAIN yang kemudian berkembang menjadi IAIN.
Pada wilayah pertama, yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah melakukan restrukturisasi lembaga kementerian agama. Hal ini persisnya terjadi pada saat beliau\ menjabat sebagai menteri agama, Wahid Hasyim melihat perlunya upaya penyatuan kembali pemerintahan yang saat itu cenderung dualistik. Hal itu dimaklumi karena memang pada saat itu, berdasarkan hasil keputusan konferensi meja bundar di Denhaag Belanda, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang secara langsung berimbas pada munculnya dualisme pemerintahan, sehingga muncul pula dua kementerian keagamaan (kementerian keagamaan di dalam RIS dan RI). Di dalam RI menterinya KH Faqih Usman, sementara Wahid Hasyim menjabat sebagai menteri di RIS, yang bahkan pada waktu itu kementeriannya belum memiliki gedung kantor sendiri.
Hingga akhirnya melalui surat keputusan No. A II/2/21/2175 pada tanggal 7 Juni 1950, ditandatanganilah kesepakatan antara Wahid Hasyim dan Faqih Usman untuk menyatukan kedua kementerian tersebut. Dengan penyatuan ini Wahid Hasyim mulai melakukan restrukturisasi kementerian baik restrukturisasi keorganisasian maupun restrukturisasi lapangan pekerjaan. Selama masa menjabatnya pada dua periode (periode kabinet Natsir dan kabinet Sukiman) Wahid Hasyim telah memperluas struktur keorganisasian menjadi delapan bagian, di luar menteri dan sekjen, yakni sekretaris umum, hukum, urusan haji, Kristen protestan, katolik, pergerakan agama, politik, kepegawaian, dan perbendaharaan dan tiga jawatan di Yogyakarta. Sedangkan dalam hal lapangan pekerjaan, Wahid Hasyim melakukan perombakan yang cukup fantastis, perombakan ini meliputi 12 poin, diantaranya: melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya, menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, menyelenggarakan,memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, dan memberi bantuan material untuk perbaikan dan pemeliharaan tempat-tempat ibadah. Semua lapangan pekerjaan tersebut merupakan pengejawantahan fungsi utama Kementerian Agama sebagai pendukung dan pelaksana utama asas sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan semakin banyaknya struktur dan lapangan pekerjaan yang luas, berdampak pada peningkatan jumlah personalia yang cukup drastis. Jumlah personalia yang awalnya hanya ada tujuh orang berubah menjadi ribuan orang yang direkrut oleh kementerian agama di bawah pimpinan Wahid Hasyim. Dana yang dibutuhkan untuk tugas kementerian ini pun bertambah besar, sehingga pergerakan kementerian agama semakin berkembang pesat, tidak berlebihan kiranya jika Wahid Hasyim dianggap sebagai sosok tokoh yang meletakkan fondasi yang kuat bagi kementerian ini.
Selain upaya tersebut, upaya lain yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah mempertahankan posisi kementerian agama. Perlu diketahui sebelumnya bahwa kemunculan kementerian agama ini pada awalnya ditujukan untuk mengurus aspirasi umat Islam yang pada awalnya memang sempat kecewa karena aspirasi mereka ditolak oleh BPUPKI. Sementara itu ketika awal Indonesia merdeka, Indonesia masih berada dalam bayang-bayang ancaman Belanda, sehingga untuk menepis ancaman tersebut presiden Sukarno membutuhkan banyak dukungan khususnya dari kalangan muslim sebagai masyarakat mayoritas, hal inilah yang kemudian langsung membuatnya menyetujui ketika ada usulan pendirian kementerian agama. Namun dalam perjalanannya kementerian ini mendapat banyak kritikan tajam, bahkan sampai adanya tuntutan pembubaran dengan berbagai alasan. Hal inilah yang kemudian membuat Wahid Hasyim berusaha keras untuk dapat meredam berbagai tuntutan-tuntutan tersebut.
Wahid Hasyim mengklasifikasikan bahwa setidaknya ada tiga persepsi kelompok berbeda dalam memandang eksistensi kementerian agama. Kelompok pertama, mereka yang tidak senang akan keberadaan kementerian agama, hal ini karena kementerian agama dianggap akan mengganggu  prinsip-prinsip mereka sendiri. Kelompok ini pada umumnya adalah orang-orang yang tidak memiliki semangat keagamaan atau sekuler. Kedua, kelompok yang mendukung kehadiran kementerian ini, bahkan menyandarkan harapan yang sangat tinggi terhadap kementerian ini. Kelompok ini adalah kelompok umat Islam yang pada umumnya adalah kelompok mayoritas. Ketiga, kelompok yang menyambut baik tapi dengan sikap khawatir, kelompok terakhir ini datang dari kalangan masyarakat agama minoritas. Kekhawatiran kelompok ini pada akhirnya mengkerucut pada sikap penolakan tatkala kementerian ini tidak dapat memenuhi aspirasi mereka dan hanya cenderung mengurusi umat Islam belaka. Alasan lain yang dimunculkan adalah tugas-tugas kementerian ini dapat dikerjakan oleh kementerian lain yang sudah ada seperti kementerian dalam negeri, luar negeri dll. Keberadaan kementerian agama hanya bersifat pemborosan anggaran semata dan menjadi ajang perebutan jabatan antar partai, sehingga tidak ada alasan kuat untuk mempertahankan keberadaan kementerian ini.
Menanggapi persoalan tersebut Wahid Hasyim langsung berusaha menepisnya dengan tegas. Menurutnya pemerintah tetap wajib untuk melayani dan memenuhi keperluan rakyatnya tentang agama berdasarkan pancasila. Pemisahan agama dan Negara pada dasarnya hanya ada dalam wilayah teori belaka, karena pada kenyataannya tidak ada sama sekali Negara yang dapat memisahkan dirinya dengan agama, kecuali Negara yang benar-benar ateis. Meskipun penghapusan kementerian agama dilakukan dan fungsinya ditangani oleh kementerian lain, Wahid Hasyim mengingatkan bahwa hal itu akan sangat menyakiti perasaan umat Islam sebagai masyarakat mayoritas. Sedangkan, terkait dengan keberatan kalangan non-muslim yang beranggapan kementerian ini lebih banyak memperhatikan umat islam saja, secara sigap Wahid Hasyim menunjukkan fakta bahwa jumlah penganut Islam jauh lebih besar dari pada non Muslim, sehingga wajar saja jika kementerian agama lebih banyak memperhatikan umat Islam. Tetapi hal itu dilakukan bukan disebabkan oleh sikap diskriminasi, melainkan semata karena jumlah umat Islam yang memang jauh lebih besar. Wahid Hasyim menegaskan bahwa kementerian agama bukanlah kementerian bagi umat Islam saja, tetapi bagi semua pemeluk agama. Tanggapan Wahid Hasyim inilah yang pada akhirnya langsung berhasil membungkam berbagai persepsi negatif dari berbagai kalangan masyarakat yang mencoba menolak keberadaan kementerian agama.
Selanjutnya pada wilayah kedua, yang menjadi sorotan Wahid Hasyim adalah mengenai persoalan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Wahid Hasyim telah berkali-kali menegaskan bahwasanya penting bagi bangsa Indonesia khususnya umat muslim untuk menguasai tidak hanya ilmu agama semata, tetapi juga ilmu umum juga. Dalam beberapa kesempatan dia juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dikungkung oleh perasaan keagamaan yang sempit. Salah satu implementasi dari pandangannya ini adalah keputusannya untuk mendirikan perguruan tinggi Islam yang baik dengan menggunakan sistem modern. Akhirnya keluarlah peraturan pemerintah no 34 tahun 1950 tentang pengembangan fakultas agama dari Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Indonesia (PTAIN). Guna melaksanakan itu dibentuklah panitia perguruan tinggi Islam, yang diketuai oleh  KH Fathurrahman Kafrawi dengan beranggotakan 11 orang resmi dibukalah PTAIN di Yogyakarta pada tanggal 15 september 1951.
Dalam sambutan pembukaan PTAIN, Wahid Hasyim menjelaskan bahwa latar belakang pendirian PTAIN tersebut adalah mengenai keprihatinannya akan kualitas Sumber daya Manusia dikalangan umat islam, padahal di sisi lain umat Islam adalah masyarakat mayoritas. Selain itu, Wahid Hasyim juga merasa prihatin akan kecenderungan pimpinan bangsa Indonesia yang dualistik. Di satu sisi ada pemimpin politik Islam yang pada umumnya berpendidikan Barat, namun tidak punya pengetahuan agama yang cukup. Sementara di sisi lain, pemimpin agama Islam, yang para ulama yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan umum dan politik. Atas dasar itulah Wahid hasyim mengharapkan agar PTAIN tersebut dapat melahirkan cendekiawan yang tidak hanya memiliki pemahaman agama yang mendalam, tetapi juga memahami persoalan-persoalan umum termasuk persoalan politik.
Perhatian Wahid Hasyim mengenai perlunya integrasi ilmu dan agama juga diimplementasikannya pada bentuk pemberian pelajaran-pelajaran agama di sekolah umum. Hingga munculnya UU pendidikan no 4/1950. Menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan bersama menteri agama mengeluarkan keputusan bersama yang intinya menegaskan bahwa pelajaran agama harus diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu untuk memenuhi akan kebutuhan terhadap guru agama, Wahid Hasyim mengeluarkan surat edaran yang menegaskan agar di tiap daerah karisidenan didirikan sekolah guru agama Islam (SGAI), yang kemudian berubah menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). Dampak pendirian lembaga ini begitu luar biasa, karena keberadaan PGA tidak lagi hanya ada di karisidenan, tetapi juga sampai ditingkatan kabupaten. Hal ini secara tidak langsung juga berdampak terhadap peningkatan jumlah peminat di PTAIN, karena dengan semakin banyaknya alumni PGAN, tentu saja akan banyak pula yang melanjutkan pendidikannya ke PTAIN.
Upaya lain yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah mengenai perbaikan manajemen penyelenggaraan Haji. Hal ini bisa dimaklumi karena pada awal kemerdekaan, umat Islam sulit sekali untuk dapat menunaikan ibadah haji karena masih disibukkan dengan upaya mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Selain itu umat Islam juga terikat dengan fatwa para ulama yang melarang umat Islam menunaikan haji dalam rangka memboikot terhadap jasa layanan pelayaraan yang pada saat itu dikuasai oleh armada pelayaran Belanda.
Hingga akhirnya Wahid Hasyim memutuskan kebijakan bahwa pelaksanaan haji sepenuhnya berada di tangan pemerintah, yakni bagian urusan haji dari kementerian agama. Bidang ini bekerjasama dengan yayasan PHI (Yayasan perjalanan haji Indonesia), dan ini merupakan hasil kongres Muslimin Indonesia pada Desember 1949. Dengan adanya kebijakan ini tentu saja akan semakin memudahkan penyelenggaraan ibadah haji dan juga menyelamatkan para calon jamaah haji dari tipuan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Selain itu, Manajemen penyelenggaraan haji juga semakin ditingkatkan dengan memperketat aturan-aturan bagi calon jamaah seperti cek kesehatan, pembatasan kuota jamaah haji, memiliki harta yang cukup, dan tidak buta huruf. Kebijakan untuk melarang jamaah yang buta huruf untuk berangkat haji untuk masa itu, aturan tersebut barangkali cukup memberatkan bagi para calon jamaah, mengingat pada masa itu masih banyak masyarakat Islam yang buta huruf. Akan tetapi ini memang diniatkan oleh Wahid Hasyim agar umat Islam mau belajar untuk membaca, sehingga pada gilirannya nanti akan meningkatkan sumber daya manusia masyarakat muslim.
Terobosan lain yang dicetuskan oleh Wahid Hasyim adalah dimulainya perayaan hari besar secara kenegaraan, tepatnya adalah pada perayaan Maulid nabi yang diadakan di istana Negara pada 2 januari 1950, sejak saat itulah, perayaan tersebut selalu diadakan ditempat yang sama dan dihadiri oleh presiden.

III.  Keunggulan
Keunggulan dari tulisan Saiful Umam adalah pada cara penuturannya yang terasa begitu runtut dalam setiap tulisannya. Cara dia menjelaskan mengenai kiprah Wahid Hasyim terasa begitu mengalir sehingga setiap pembaca dapat dengan mudah mencerna setiap bagian dari tulisannya tersebut tanpa merasa jenuh. Keunggulan lain yang dimiliki tulisan Saiful Umam ini adalah dari segi sumber yang begitu padat dan kaya, sehingga berbagai argumentasi yang dipaparkan didalamnya selalu mengacu pada sumber-sumber yang otoritatif.

IV.  Kekurangan
Barangkali agak cukup sulit sebenarnya untuk mencari kekurangan dari tulisan Saiful Umam yang telah dibuat secara nyaris sempurna. Namun demikian, jika dikaji secara lebih teliti sesungguhnya ada satu kekurangan mendasar dari tulisan yang dibuat oleh Saiful Umam. Kekurangan itu adalah terletak pada cara bersikap dia ketika menuturkan berbagai hal mengenai Wahid Hasyim dan perjuangan beliau dalam meneguhkan eksistensi agama di ranah Negara, sikap yang dia tunjukkan dalam tulisannya cenderung berkesan sebagai seorang pengagum Wahid Hasyim, sehingga nampak banyak sekali kata-kata yang cenderung bombastis dalam mengekspresikan sosok tersebut. Selain itu, tulisan Saiful Umam disini juga sepertinya lupa untuk mencoba memberikan kritik terhadap pemikiran maupun segala kebijakan yang dilakukan Wahid Hasyim. Seorang yang cenderung menjadi pengagum pada umumnya memang akan sangat sulit sekali untuk dapat memberikan kritik terhadap subjek yang dia kaji, dan perihal inilah yang menjadi kekurangan mendasar dari tulisan Saiful Umam.

V.    Penutup
Dari berbagai penjelasan yang dipaparkan sebelumnya dalam tulisan Saiful Umam dapat disimpulkan bahwa sosok wahid hasyim adalah seorang yang sangat moderat. Kendatipun dilahirkan dalam kultur pesantren yang begitu kental dengan nuansa Islam, tidaklah lantas membuatnya terkungkung dalam pusaran dunia Islam semata, dimana pada saat itu banyak sekali ulama-ulama Islam yang biasanya cenderung kaku dan menjauhkan diri dari dunia luar. Kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam yang begitu memprihatinkan membuatnya tergerak untuk melakukan suatu perubahan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mengantarkan umat muslim kepada kemajuan.
Sumbangannya begitu terasa bagi masyarakat, khususnya berkaitan dengan perjuangannya dalam meneguhkan eksistensi agama di dalam cakupan ranah Negara. Kemampuannya untuk meneguhkan keyakinan masyarakat akan perlunya eksistensi kementerian agama di Indonesia merupakan upaya yang begitu sangat luar biasa. Tanpa gagasannya yang begitu brilian, bisa dibayangkan barangkali saat ini Indonesia tidak akan pernah memiliki lembaga kementerian agama. Gagasannya untuk memperbaiki penyelenggaraan haji juga telah membantu para calon jamaah haji lebih mudah dalam melaksanakannya. Selain itu, PTAIN yang saat ini telah banyak berkembang menjadi universitas-universitas yang begitu besar dan telah melahirkan beribu-ribu kader sarjana dan cendekiawan muslim barangkali tidak akan pernah ada eksistensinya jika pada waktu itu Wahid Hasyim tidak pernah menggagas pendirian PTAIN.
Terakhir, meskipun masih ada kekurangan yang cukup mendasar dalam tulisan Saiful Umam. Penulis tetap mengapresiasi karya Saiful Umam sebagai karya yang sangat baik dalam turut serta memperkaya khazanah keilmuan dan keIslaman di Bumi Indonesia tercinta. Wallahu A’lam bi Ash Shawwab.[]


Tidak ada komentar: