MUHAMMAD ABDUH (1849-1905)
(Sang Penantang
Kejumudan Umat Dan Penggagas Pembaharuan Islam)
Cahaya Khaeroni
a. Pendahuluan
Gerakan pembaharuan Islam di Mesir muncul sekitar abad
ke-19 M, gerakan ini berawal dari kesadaran umat Muslim yang secara faktual ternyata
benar-benar sudah jauh tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa. Beberapa tokoh
pembaharu telah lahir akibat kondisi ketertinggalan bangsa Mesir tersebut, diantaranya
adalah Muhammad Abduh yang dikenal sebagai seorang pembangun dimensi pembaharu
sosial dan intelektualis dalam modernisme Islam.
Dalam pandangannya, Abduh menilai bahwa kemunduran
masyarakat Muslim sesungguhnya disebabkan oleh faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam. Dalam kata jumud, terkandung arti keadaan membeku,
keadaan statis, dan tak ada perubahan. Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki
perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Hal ini ditambah dengan adanya taqlid yang sudah mengakar dalam jiwa
kaum muslimin pada waktu itu sehingga melemahkan jiwa mereka. Untuk itulah,
Abduh meniscayakan perlu adanya pembaharuan dalam tubuh umat Muslim.
Berbeda dengan pendahulunya, seperti Jamaluddin
al-Afghani yang cenderung melakukan gagasan pembaharuannya lewat politik
sebagaimana tertuang dalam ide populernya tentang Pan-Islamisme (gagasan mengenai
persatuan seluruh umat Islam). Muhammad Abduh justru memalingkan diri dari
aktifitas politik dan lebih memusatkan perhatiannya pada pembaharuan pemikiran
agama, sosial dan pendidikan.
Dalam lingkup pemikiran agama, Abduh memberikan alasan mengenai
perlunya pembaruan hukum Islam. Dia mengemukakan bahwa kalau hukum yang
menyangkut peribadatan kepada Tuhan tak dapat berubah, sedangkan hukum sosial
Islam dapat mengalami perubahan substantif. Seperti yang tertulis dalam karyanya
harian al-Manar (mercusuar) yang
berisi penafsiran ayat Al-Qur’an dan ilmu ketuhanan. Dia mengajarkan kecocokan
wahyu Tuhan dengan nalar, mengutuk sikap yang mengikuti hadits Nabi secara
membabi buta, mengunggulkan legitimasi dan perlunya penafsiran kembali Islam
sebagai tanggapan terhadap tuntutan zaman modern. Muhammad Abduh juga merupakan
tokoh yang memperbaiki status wanita dalam Islam. Dia juga mengecam poligami
dan dampak negatifnya terhadap keluarga Islam. Dia mengungkapkan bahwa hal itu
pernah diperbolehkan sehubungan dengan keadaan sosial yang dialami di Arab pada
zaman Nabi Muhammad. Abduh memberi penafsiran bahwa ideal Al qur’an adalah
monogami, karena izin yang diberikan oleh Al-Qur’an untuk lebih dari satu itu
dibarengi dengan syarat agar berlaku adil dan tidak berat sebelah, yang
keduanya tidak mungkin dapat dilakukan.[1]
Sementara itu, dalam lingkup pendidikan juga merupakan
salah satu hal terpenting yang menjadi perhatian Abduh sepanjang hayat dan
karirnya. bekerja untuk memperbaharui para ulama, khususnya kurikulum di
Universitas al-Azhar, dan pengadilan agama.
Dalam tulisan ringkas ini, penulis hendak mencoba menguraikan
lebih mendalam mengenai gagasan-gagasan pembaharuan Islam Muhammad Abduh,
dengan harapan semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi signifikan dalam
memajukan khazanah keilmuan dan keIslaman di Negeri Indonesia tercinta, amin.
b.
Sekilas Riwayat Kehidupan
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di
Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris ternasuk Mesir Hilir di propinsi
Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah, seorang berdarah Turki,
sedangkan ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga
besar keturunan Umar bin Khattab. Kedua orang tua Abduh hidup dalam masa rezim
Muhammad Ali Pasya, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Karena ketidakcocokan dengan beberapa kebijakan penguasa, ayah
Abduh pernah dituduh hendak menentang pemerintah yang kemudian menyebabkannya
masuk tahanan. Situasi sosial-politik yang demikian mengakibatkan kedua orang
tua Abduh tidak sempat memperoleh pendidikan yang tinggi. Meskipun demikian,
keluarga Abduh Chairullah dikenal sangat kuat dalam menjalankan agama, dan
inilah yang dijadikan pijakan dalam membesarkan anak-anaknya.[2]
Sampai usia 10 tahun Abduh dididik dalam lingkungan
keluarga sendiri terutama mengenai membaca dan menulis. Setelah itu sang ayah
mengirimnya kepada seorang hafidz untuk belajar Al-Qur’an dan hanya dalam tempo
dua tahun ia sudah berhasil menghafalkannya. Studinya tentang Al-Qur’an ini
kemudian dimantapkannya di Masjid Syekh Ahmad, di kota Thanta yang terkenal
mempunyai spesialisasi dalam kajian Qur’an. Di sini pulalah Abduh mempelajari
ilmu-ilmu tradisional keislaman seperti ilmu tata bahasa dan fiqih. Namun,
Abduh sendiri merasa tak mengerti apa-apa. Tentang pengalaman ini Abduh pernah
mengatakan: “Satu setengah tahun saya belajar di Mesjid Syekh Ahmad dengan tak
mengerti apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah, guru-guru mulai
mengajak kita dengan menghafal istilah-istilah tentang nahwu atau fiqh yang tak
kita mengerti atau tidak mengerti arti-arti istilah itu. Hal ini disebabkan
metode yang dipakai pada waktu itu ialah metode menghafal diluar kepala. Karena
tidak puas dengan metode menghafal diluar kepala ini, Muhammad Abduh akhirnya
lari dan meninggalkan pelajarannya di Tantha.[3]
Sewaktu baru berumur 16 tahun, Abduh-pun menikah. Namun,
baru saja empat puluh hari menikah, ia dipaksa orang tuanya untuk kembali
belajar ke Tantha. Ia pun meninggalkan kampungnya, tetapi bukannya pergi ke
Tantha, Abduh malahan bersembunyi lagi dirumah pamannya. Dan disini, Abduh
bertemu dengan seseorang yang merubah riwayat hidupnya. Orang tersebut bernama
syeikh Darwisy Khadr yang sekaligus adalah paman dari ayahnya sendiri. Pada
mulanya Syekh Darwisy tahu bahwa Abduh cukup enggan untuk belajar, maka ia
selalu membujuk pemuda tersebut untuk ikut membaca bersama-sama dengannya. Kengganan
Abduh dalam belajar rupanya selalu dibarengi dengan bimbingan yang penuh
kesabaran dari Syekh Darwisyi tersebut, hal ini sebagaimana yang diceritakan
oleh Muhammad Abduh sendiri, ia pada waktu itu sangat benci melihat buku, dan buku
yang diberikan Syekh Darwisy kepadanya untuk dibaca ia lemparkan jauh-jauh.
Buku itu dipungut Syekh Darwisy kembali dan diberikan kepadanya dan akhirnya
Abduh membaca juga beberapa baris. Setiap habis satu kalimat, Syekh Darwisy
memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang dikandung kalimat itu.
Setelah beberapa hari membaca buku bersama-sama dengan cara yang diberikan
Syekh Darwisy itu, Muhammad Abduhpun berubah secara drastis sikapnya terhadap
buku dan ilmu pengetahuan. Ia sekarang mulai mengerti dan mengetahui lebih
banyak.[4]
Setelah belajar di Thanta, pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi
al-Azhar di Cairo, dan di sinilah ia bertemu dan berkenalan dengan Sayyid
Jamaluddin al-Afghani.
Ketika Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir pada tahun
1871 M, dan sekaligus untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh pun langsung menjadi
muridnya yang paling setia. Ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani dan
di masa inilah ia mulai membuat karangan harian al-Ahram yang pada saat itu
baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya di al-Azhar selesai dengan hasil yang
sangat baik dan ia mendapatkan gelar alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen
al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum. Karena
hubungannya dengan Jamaluddin al-Afghani dituduh mengadakan gerakan menentang
Khadewi Taufik, maka Muhammad Abduh yang juga turut dipandang turut campur
dalam persoalan ini dibuang keluar kota Cairo, tetapi setahun kemudian, di
tahun 1880 M. ia dibolehkan kembali ke ibukota dan kemudian diangkat menjadi
redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir yang bernama Al-Waqa’il
Mishriyah, yang dibantu oleh Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata
menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah ini Muhammad Abduh
mendapat kesempatan yang lebih luas menyampaikan ide-idenya, melalui
artikel-artikelnya yang hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu agama,
filsafat, kesusasteraan, dan lain-lain. Ia juga mempunyai kesempatan untuk
mengadakan kritikan terhadap pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan
pengajaran di Mesir.[5]
Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882),
Muhammad Abduh ikut terlibat didalamnya, sehingga ketika pemberontakan itu
berakhir, ia diusir dari Mesir. Dalam pembuangannya ia memilih Syiria (Beirut),
disini ia mendapat kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sultaniah, kurang
lebih satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayid
Jamaluddin al-Afghani, yang pada waktu itu tahun 1884 telah berada di sana.
Bersama-sama Jamaluddin al-Afghani disusunlah suatu gerakan yang bernama “Al-Urwatul
Wusqa” suatu gerakan kesadaran umat Islam sedunia.[6]
Tujuan gerakan/organisasi ini adalah untuk menyatukan umat Islam, dan sekaligus
melepaskan dari sebab-sebab perpecahan mereka. Setelah 18 bulan di Paris
organisasi tersebut bubar dan Abduh kembali mengajar di Beirut. Di situlah ia
menulis Risalatut Tauhid[7]
dan menterjemahkan Al-Rad ‘Alaal Dahriyin, buku tulisan Jamaluddin
al-Afghani yang semula berbahasa Perancis. Di sini pula ia menikah untuk kedua
kalinya setelah istrinya yang pertama meninggal.[8]
Setelah diijinkan untuk kembali ke Mesir, pada tanggal 3
Juni 1899 beliau diserahi oleh pemerintah untuk memangku jabatan “Mufti Mesir”,
yaitu suatu jabatan yang paling tinggi menurut pandangan kaum Muslimin. Berbeda
dengan mufti-mufti sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya hanya sebagai
alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja, tetapi ia memperluas tugas
jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Apa saja masalah-masalah yang
timbul di kalangan kaum Muslimin, terutama bangsa Mesir, yang dihadapkan kepadanya,
dilayaninya dengan senang hati dan diselesaikannya dengan baik.[9]
Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada tanggal 11 Juli
1905.
Disamping itu pula, ia juga diangkat menjadi anggota
Majelis Perwakilan (Legislative Council), Muhammad Abduh pernah juga
diserahi jabatan Hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai
seorang hakim yang adil.[10]
C. Karya-karya
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh berhasil menulis
sekian banyak karya ilmiah, antara lain adalah:
1.
Al-Hikmah asy-Syar’iyah fi
Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rifa’iyah. Buku ini adalah karya pertamanya diwaktu
ia masih belajar, isinya adalah bantahan kepada Abdul Hadyi Ash-Shayyad yang
mengecilkan tokoh sufi besar Abdulkadir Al-Jailani, juga menjelaskan kekeliruan–kekeliruan
yang dilakukan oleh para penganut tasawuf, tentang busana Muslim, sikap meniru
non-Muslim, Imam Mahdi, masalah dakwah dan kekeramatan.
2.
Al-Azhar dan Al-Manar.
Isinya, antara lain, sejarah Al-Azhar, perkembangan dan misinya, serta bantahan
terhadap sementara ulama Azhar yang menentang pendapat-pendapatnya.
3.
Tarikh Al-Ustadz Al-Imam,
berisi riwayat Muhammad Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.
4.
Nida’li Al-Jins Al-Lathif,
berisi uraian tentang hak dan kewajiban-kewajiban wanita.
5.
Zikra Al-Maulid An-Nabawi.
6.
Risalatu Hujjah Al-Islam
Al-Ghazali.
7.
Al-Sunnah wa Al-Syi’ah.
8.
Al-Wahdah Al-Islamiyah.
9.
Haqiqah Al-Riba.
10.
Majalah Al-Manar, yang
terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan 1354 H/1935 M.
11.
Tafsir Al-Manar.
12.
Tafsir surah-surah Al-Kautsar,
Al-Kafirun, Al-Ikhlas, dan Al-Mu’awidzatayn.[11]
13.
Risalah al-Tauhid, yang merupakan
karya paling monumental dari Muhammad Abduh.[12]
D. Pemikiran dan Ide Pembaharuan Muhammad Abduh
Dipandang dalam aspek pembaruan teologi dan hukum, maka
Muhammad Abduh dapat digolongkan sebagai seorang pembaharu pada zamannya.
Pemikirannya muncul atas situasi dan tuntutan sosial yang mengharuskannya
melakukan pembaharuan. Oleh sebab itulah ia digolongkan sebagai kaum modernis,
yakni orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang terjadi dan
sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya.
Kalau dicermati secara seksama, sesungguhnya gagasan
pembaruan Abduh bertumpu pada tiga hal berikut; (1) Pembebasan pemikiran dari
belenggu taqlid sehingga akal tidak tunduk pada otoritas manapun. (2) Purifikasi (Gerakan Pemurnian ajaran
Islam). (3) Penempatan agama sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan, atau
dengan kata lain, menjadikan sains sebagai partner agama. Berikut akan
diuraikan secara lebih mendalam pokok-pokok pemikiran Muhammad Abduh tersebut.
1. Pembebasan pemikiran dari
belenggu taqlid
Dalam masalah ini Abduh tidak menghendaki adanya taqlid,
dan mengobarkan seruan agar pintu ijtihad selalu terbuka. Bahkan dengan
bersemangat ia menyampaikan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama,[13]
Al-Qur’an bukan saja sesuai dengan ilmu pengetahuan tapi juga mendorong
semangat umat Islam untuk mengembangkannya.[14]
Ide Muhammad Abduh tersebut ternyata mendapatkan
sambutan yang cukup luas dan hampir menyebar ke seluruh dunia Islam. seruannya
untuk anti taqlid, memang
mencerminkan kenyataan umat Islam yang tengah mengalami kejumudan berpikir.
Sikap demikian pada gilirannya mengalami sikap antipati terhadap sains modern,
dan merupakan sikap yang harus dihapuskan menurut Abduh.
Dalam beberapa hal, pemikiran Abduh memiliki garis
penghubung dengan Muhammad bin Abdul Wahab, yakni ingin mengembalikan pemahaman
agama sebagai ulama salaf. Kendatipun demikian, karena sikapnya yang sangat
positif terhadap sains, Abduh berpendapat bahwa ajaran-ajaran Islam perlu
diberi interpretasi baru, dan pintu ijtihad harus dibuka selebar-lebarnya.
Ijtihad menurut pendapatnya bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu
diadakan. Tetapi yang dimaksudkannya bukan tiap-tiap orang boleh melakukan
ijtihad. Hanya orang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan yang boleh
melakukan ijtihad. Yang tak memenuhi syarat, harus mengikuti pendapat mujtahid
yang ia setujui fahamnya. Ijtihad dilakukan langsung pada al-Qur’an dan Hadis
sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam.
Dengan demikian, taqlid
kepada ulama lama tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taqlid inilah yang membuat umat Islam
berada dalam kemunduran dan tak dapat maju. Pendapat tentang pemberantasan taqlid dan pembukaan pintu ijtihad
didasarkan atau kepercayaannya pada kekuatan akal. Menurut abduh, Al-Qur’an
berbicara bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.
Kepercayaan pada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh
selanjutnya kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan
perbuatan (free will and free act atau
qadariyah), dengan faham tersebut, maka manusia akan bebas mewujudkan perbuatannya
dengan kemauan dan usahanya sendiri, dan tentunya dengan tidak melupakan bahwa
diatasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi.
2.
Purifikasi (Gerakan pemurnian ajaran Islam)
Abduh berupaya untuk
memurnikan ajaran Islam dengan kembali pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi, hal ini
terkait dengan banyaknya fenomena bid’ah dan khurafat. Menurutnya, kaum Muslim
tidak perlu mempercayai adanya karamah yang dimiliki wali atau kemampuan mereka
sebagai perantara atau wasilah kepada Allah. Syirik harus dihindari karena
tidak sesuai dengan akidah Islam.[15]
Lebih lanjut, Abduh juga
menekankan bahwa mentauhidkan Allah merupakan pangkal dari segala keimanan yang
lainnya. Dalam hal ini seruan mentauhidkan itu tidak bersandar pada dalil
apapun kecuali nash qat’i yang dipadukan dengan pemakaian rasio yang benar.
Inilah salah satu prinsip penting yang menjadi pedoman Abduh. Abduh telah
mencoba menempatkan posisi tauhid pada posisinya yang lurus dengan
mengesampingkan bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang mempunyai kekuatan
sumber (otoritas).[16]
Dalam pandangan Abduh, bahwa
masuknya berbagai macam bid’ah ke dalam Islamlah yang membuat Islam lupa akan
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itulah yang mewujudkan
masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya.
Untuk menolong umat Islam, faham-faham asing lagi salah itu harus dikeluarkan
dari tubuh Islam. Umat harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula,
ajaran-ajaran sebagaimana terdapat di zaman salaf, yaitu di zaman sahabat dan
ulama-ulama’ besar.[17]
Perlu ditegaskan juga bahwa
bagi Muhammad Abduh tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli itu,
karena zaman dan suasana umat Islam sekarang telah jauh berubah dari zaman dan
suasana umat Islam zaman klasik, ajaran-ajaran asli itu perlu disesuaikan
dengan keadaan modern sekarang.
3. Pembaharuan
dalam pendidikan Islam
Program pembaharuan Abduh juga
berfokus pada pembaharuan pendidikan Islam dan perumusan ajaran-ajaran Islam
dalam pengertian, kalau tidak menurut pemikiran modern, setidak-tidaknya yang
lebih bisa diterima oleh orang-orang modern. Dari pada perumusan abad
pertengahan yang sudah ketinggalan zaman. Secara ideal kedua butir ini
merupakan dua aspek dari kegiatan yang sama dan merupakan kelengkapan yang
diperlukan untuk melaksanakan pemurnian Islam. Karena hanya dengan meningkatkan
mutu pendidikan Islam dan mengemukakan kembali ajaran-ajaran dasar Islam dengan
tegas dan jelas, pengaruh-pengaruh yang merusak, baik yang bersifat animistik
maupun materialistik dapat dikeluarkan dan dilenyapkan.[18]
Dalam pandangan Abduh, konsep pendidikan yang
dikemukakan oleh Jamaluddin dalam bukunya “Refutation of the Materialistik” (Ar-Raddu’ ‘alad Dahriyyin) begitu umum
pengertian-pengertiannya, sehingga sedikit saja menunjukkan pemikirannya. Di
lain pihak, penolakan Abduh terhadap idealisme revolusioner Jamaluddin
al-Afghani menjadikan Abduh untuk lebih memfokuskan tujuan utamanya untuk
mengembangkan landasan pendidikan, terutama universitas al-Azhar.[19]
Salah satu artikelnya yang dikirimkannya ke surat kabar al-ahram pada tahun 1876, yang meskipun ketika itu dia masih dibawah pengaruh Jamaluddin
al-Afghani, ia menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban belajar tidak hanya
mengenai buku-buku klasik berbahasa Arab dan tentang ilmu-ilmu kalam dogmatik
dalam rangka membela agama, tetapi juga berbagai sains modern serta sejarah dan
agama eropa agar dapat mengetahui sebab-sebab kemajuan bangsa-bangsa Barat.[20]
Penegasan Abduh untuk memasukkan materi sains modern
kedalam kurikulum al-Azhar juga dilandaskan pada kegelisahannya terhadap munculnya
dua tipe pendidikan di Mesir pada waktu itu. Tipe pertama, sekolah-sekolah tradisional dengan al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan tertinggi, tipe kedua,
sekolah-sekolah modern baik yang didirikan oleh pemerintah Mesir maupun oleh
para missionaris asing. Pada waktu itu, sekolah-sekolah agama semata-mata
mengajarkan ilmu agama belaka, dan mengabaikan ilmu-ilmu umum atau tidak
mengajarkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Sementara sekolah-sekolah modern
tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya,
tanpa adanya upaya untuk memasukkan ilmu pengetahuan agama ke dalam
kurikulumnya.[21]
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak pada
munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe sekolah pertama
melahirkan para ulama dan tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan atau
perkembangan dan cenderung mempertahankan tradisi. Sedang tipe sekolah kedua
melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan
dari Barat tanpa melakukan filterisasi. Muhammad Abduh melihat bahwa terdapat
segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran itu, sehingga ia mengkritik kedua
corak lembaga tersebut. Ia memandang bahwa jika pola fikir pertama tetap
dipertahankan, maka akan membuat umat Islam tertinggal jauh dan semakin
terdesak oleh arus kehidupan dan pola hidup modern. Sementara pola fikir kedua,
penekanan pada pemikiran modern yang mereka serap dari Barat namun tanpa penanaman
nilai-nilai religius, merupakan bahaya yang akan mengancam sendi-sendi agama
dan moral.[22]
Untuk itulah, bagi Abduh dualisme yang terjadi dalam dua lembaga pendidikan
tersebut harus dihapuskan. Terlebih pembenahan kepada lembaga-lembaga
pendidikan agama semacam al-Azhar, hal tersebut merupakan satu hal krusial yang
harus dilakukan pembenahan secara serius.
Abduh berkeyakinan bahwa jika universitas semacam
al-Azhar itu diperbaiki, maka kondisi kaum Muslim akan membaik. Menurutnya,
apabila al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan di
dalamnya pun harus dibenahi, kurikulumnya diperluas, mencakup sebagian
ilmu-ilmu modern, sehingga al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan
universitas-universitas lain di Eropa, serta menjadi mercusuar dan pelita bagi
kaum muslimin pada zaman modern.
Hanya saja, pada waktu itu Abduh gagal meyakinkan para
pemuda dan tokoh-tokoh lainnya untuk melakukan perbaikan terhadap al-Azhar.
Lalu dia berusaha memperoleh dukungan al-Khudaywi untuk merestui rencananya,
namun dia gagal juga. Hingga ketika Abbas Hilmi naik ke pentas kekuasaan, dia
mengeluarkan kebijakan untuk membuat suatu panitia yang mengatur al-Azhar.
Dalam kepanitiaan itu, Abduh mewakili pemerintah dan menjadi pemrakarsanya.
Panitia itu berhasil menaikkan gaji para guru-guru yang miskin, memperhatikan
tempat tinggal dan kesehatan orang-orang yang tinggal disekitarnya, serta
memperbaiki kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan. Dan yang paling
penting adalah menambahkan mata pelajaran di sana, yaitu berhitung, aljabar,
sejarah Islam, bahasa dan sastra, dan prinsip-prinsip geometri dan geografi.
Selain itu, Abduh juga menghidupkan metode munazarah (discussion) dalam memahami pengetahuan yang sebelumnya banyak
mengarah kepada taqlid semata
terhadap pendapat ulama-ulama tertentu yang dianggap mempunyai berpengaruh. Hal
tersebut diubahnya dengan jalan pengembangan kebebasan intelektual di kalangan
mahasiswa al-Azhar. Demikian juga halnya dengan sikap ilmiah, terutama dalam
memahami sumber-sumber ilmu agama yang selama ini memiliki landasan yang tidak
dapat diganggu gugat oleh pemikiran dan kemajuan zaman.[23]
Dengan perbaikan-perbaikan serta pembaharuan yang dibawa
oleh Muhammad Abduh ke dalam tubuh al-Azhar, beliau berharap agar universitas
ini kelak akan menjadi pusat pembaharuan yang diinginkan dalam dunia Islam.
Akan tetapi usahanya ini kandas karena mendapat tantangan dari kalangan ulama
yang kuat berpegang pada tradisi lama serta teguh dalam mempertahankannya. Namun
demikian, di al-Azhar tersebut Abduh meninggalkan kelompok orang-orang yang
berpikir cerah, sekalipun hanya sedikit
yang percaya pada prinsip-prinsip yang diletakkan oleh Abduh dan menerima
pandangan-pandangannya, dan sekalipun juga mereka tidak mempunyai keberanian
dan kegairahan seperti Muhammad Abduh,[24]
baginya itu sudah cukup.
E. Penutup
Ketertinggalan
bangsa Muslim dibandingkan peradaban-peradaban bangsa Eropa, sedikit banyak
telah menggugah kesadaran bangsa-bangsa Muslim untuk senantiasa melakukan
pembaharuan-pembaharuan. Muhammad Abduh, sebagai salah satu tokoh pembaharu di
Mesir telah sedikit banyak memberikan analisa mendalam mengenai penyebab
kemunduran bangsa-bangsa Muslim. Dalam pandangannya problematika kejumudan dan
taqlid buta merupakan faktor pokok penyebab ketertinggalan umat Muslim. Setidaknya
ada beberapa pokok pemikiran Muhammad Abduh yang menjadi solusi tawaran atas
problem krusial ketertinggalan bangsa-bangsa muslim tersebut. Pertama, perlunya Pembebasan
pemikiran-pemikiran umat Muslim dari belenggu taqlid sehingga akal tidak
tunduk pada otoritas manapun. Kedua, Purifikasi,
yakni sebuah gerakan untuk melakukan pemurnian ajaran-ajaran Islam. Ketiga, Pembaharuan dalam lingkup
pendidikan Islam dengan mencoba memasukkan ilmu-ilmu modern dan tawaran
metodologi pembelajaran yang tidak kaku dan statis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amir, Pembaruan Teologi; Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo
Modernisme Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Teras, 2009).
Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan
anggota IKAPI, 1996).
Erva Yuly Rakhmawanti, Muhammad Abduh dan Gagasan Pembaharuan Islam,
(Makalah tidak diterbitkan).
H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husein, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1993).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996).
Husayn ahmad amir, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, terj. Bahruddin Fanani (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1995).
John J. Donohue dan John L. Esposito (ed),
Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi
masalah-masalah, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali, 1984).
John L. Esposito, Ancaman
Islam; Mitos atau Realitas?, (Bandung: Mizan, 1996).
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar; Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid
Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1987).
Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid, terj. Firdaus, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995).
Mukti Sahal dan Ahmad Amir Azizi, Teologi Islam Modern, (Surabaya:
Gitamedia Press, 1992).
Suwito dan Fauzan (ed), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan,
(Bandung: Angkasa, 2003).
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar