ISLAMISASI ILMU VS PENGILMUAN ISLAM
Oleh
Cahaya Khaeroni
1
Prakata
Diskursus tentang sebuah konstruksi
paradigma akan selalu hidup dan menarik. Sebab, hal ini akan memiliki
signifikansi terhadap fungsionalisasi dan relevansi sebuah disiplin ilmu bagi
kehidupan manusia. Salah satunya adalah munculnya perdebatan kuat antara gagasan Islamisasi ilmu dan pengilmuan Islam.
Kemunculan
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan
berangkat dari kegelisahan beberapa intelektual muslim (diantaranya:
syed M. Naquib al-Attas, Ismail raji’ al
Faruqi, Ziauddin Sardar) atas kuatnya hegemoni barat terhadap Islam. Terlebih
setelah menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat di Barat hingga
saat ini sesungguhnya dibangun diatas landasan nilai-nilai
sekuler-materialistik dan atheistik, sehingga sangat perlu untuk diIslamkan. Dan
sejatinya dalam hal ini, sebuah penafsiran ulang yang lebih mendalam terhadap
konsep genuine Islam mengenai ilmu
pengetahuan dan pendidikan dengan sendirinya menjadi prioritas utama. Apalagi
jika ternyata superioritas pencapaian, pemrosesan, pemahaman, pemakaian, dan
sirkulasi penerbitan informasi dan ilmu pengetahuan memegang peranan penting
dalam menentukan kekuatan pada abad-abad mendatang, dan tentunya hal ini membutuhkan
sesuatu peranan yang lebih besar dari peranan yang dimainkannya pada abad-abad
sebelumnya.
Sementara
itu, kemunculan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan cukup menimbulkan banyak
respon pro dan kontra. Bagi yang pro gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan,
menganggap bahwa hal ini dapat membuat
ilmu pengetahuan terbimbing oleh
nilai-nilai agama. Sementara bagi yang menolak menganggap bahwa ilmu
pengetahuan harus objektif dan harus selalu netral. Diantara pemikir kontemporer yang menolak
gagasan tersebut adalah Kuntowijoyo, yang mengemukakan gagasannya mengenai
pentingnya Islam sebagai Ilmu. Berbeda dengan gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan yang merupakan gerakan keilmuan dari konteks menuju teks, maka bagi
Kuntowijoyo, gerakan intelektual saat ini harus bergerak dari teks menuju
konteks, yang bersendikan pada tiga hal, yaitu (1) “Pengilmuan Islam” sebagai proses keilmuan yang bergerak
dari teks Al qur’an menuju konteks sosial dan ekologis manusia; (2) “Paradigma
Islam” adalah hasil keilmuan, yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu
integralistik, sebagai hasil penyatuan agama dan wahyu; (3) “Islam sebagai
Ilmu” yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil (Kuntowijoyo, 2007: vi).
2
Gagasan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Naquib al-Attas
Sebagai sebuah gerakan intelektual,
gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dimunculkan oleh Isma’il Raji
al-Faruqi dari Lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institute
of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Gagasan kearah
Islamisasi ilmu pengetahuan sebelumnya sudah dicetuskan oleh Naquib al-Attas
dari Malaysia. Terkait dengan gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan, ada 3
hal temuan ilmiah terpenting dalam dunia Islam yang ditemukan oleh Naquib
al-Attas, penemuan tersebut adalah; (1) problem terpenting yang dihadapi umat
Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern
tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan
keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman
manusia barat; dan (3) umat Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu
pengetahuan masa kini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik mengenai
realitas dan kebenaran (Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003: 317).
Islamisasi Pengetahuan berusaha
supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan
mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari Tauhid, akan ada
tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan
kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka
umat Islam akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya, bahwa
pengetahuan harus menuju kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya
perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan
sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia. Islamisasi
pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid, atau konteks kepada
teks, atau konteks-teks. Maksudnya, supaya ada koherensi (bahasa Latin cohaere berarti “lekat bersama”),
pengetahuan tidak terlepas dari iman (Kuntowijoyo, 2007: 07-08).
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan oleh
al-Attas didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan yang berkembang di Barat banyak
mewariskan anomali, diantaranya pemahaman yang tidak adil dan etnosentrik yang
telah menyebabkan kekacauan global, bukannya perdamaian dan keadilan. Selain
itu pengetahuan Barat yang bercorak atheistik, mengangkat peraguan dan
pendugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Ilmu pengetahuan modern yang
diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun diatas visi intelektual dan
psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut al-Attas ada 5 faktor yang
menjiwai budaya dan peradaban Barat yang kelimanya saling berkait-kelindan (inter-related characteristics): (1)
Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi
kehidupan; (2) mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai
realitas dan kebenaran; (3) membenarkan aspek temporal wujud yang
memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler; (4) pembelaan terhadap doktrin
humanisme; (5) peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai
realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transcendental, atau
kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai
elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia (Wan Mohd
Nor Wan Daud, 2003: 333-334).
Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan tidak
semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang
dipandang relevan dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level
epistemologis, di mana dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi Barat
yang berkembang sekarang dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif
dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual
Muslim” yang telah dibina selama lebih dari satu millennium oleh para filosof
dan ilmuan klasik. Menurut Mulyadhi, konstruksi ulang epistemologi ini akan
meliputi pembahasan status ontologis obyek ilmu, klasifikasi dan metodologi
ilmu
3
Gagasan
pengilmuan Islam (Respon dan kritik terhadap “Islamisasi ilmu”)
Merespon
kemunculan gagasan Islamisasi Ilmu, Kuntowijoyo mengkritik sekaligus memberikan
tawaran konsep yang berbeda, yakni gagasan pengilmuan Islam. Pengilmuan Islam
bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan
“pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu
tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan
agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan
Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan
Selain
itu Kuntowijoyo menawarkan methodological objectivisme, seraya menolak methodological
secularism dengan membawa alternative ilmu sosial profetik. Jadi, disatu
sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu
sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak
dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya
keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi,
dan transendensi. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan
disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat
Ali Imran (3) ayat 110.
Menurut
Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan,
karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan
orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih
mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu
dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat
dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada
kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi,
bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah
pekerjaan yang tidak berguna. Adapun mengenai “ketakbebasnilaian” suatu ilmu
itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif dalam
melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya
adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang bisa
dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota
masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat
objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu
kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak
mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah
“trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas
diantara komunitas keilmuan.
Kuntowijoyo
melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai,
sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi.
Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal
yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih
berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada
beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah
proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya
sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri.
Yang
diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh
ilmu. Yang pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan,
namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya. Ilmu yang integralistik tak
akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Terakhir, Dengan mengangkat gagasan
“pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif
(atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang
dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini
dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik
yang bersumber dari agama.
4
Penutup
Melihat
2 gagasan besar dari para pemikir kontemporer, dan terlepas mengenai bagaimana
sesungguhnya seorang akademisi harus berkiblat. Tentunya sangat perlu sekali
untuk mengapresiasi 2 gagasan tersebut-(islamisasi ilmu dan pengilmuan islam)
sebagai buah pemikiran yang mendalam terhadap realitas objektif keilmuan Islam
yang masih berkutat pada level formal keagamaan. Semoga apa yang digagas oleh
para intelektual tersebut mampu mengantarkan dan mengaktualisasikan Islam
sebagai apa yang sering kita sebut sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wallahu ‘alamu bis shawab.
Daftar
Pustaka
Kuntowijoyo,
Islam sebagai Ilmu (Epistemologi,
Metodologi dan Etika), Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006.
Wan
Daud, wan Nor Mohd, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam syed M. Naquib al-Attas, Mizan, Bandung, 2003.
4 komentar:
makasih info ttg islamisasi ilmu pengetahuannya.. masih nyari bukunya
makasih infonya islamisasi ilmu penetahuannya..
Bagus dan bermanfaat
Terima kasih ilmunya. Jazakumullahu khoir
Posting Komentar