Metodologi penelitian hadis
Ma’anil hadis (fahm al-hadis/syarah
hadits) dalam teks
Cahaya Khaeroni
a.
Pendahuluan
Hadis yang bermakna sebagai sebuah ucapan, perbuatan, taqrir
dan hal ihwal Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al
Qur’an. Untuk itulah, berbagai upaya telah dilakukan oleh para ulama’, baik
ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin dalam rangka mencari dan membuktikan
otentisitas suatu hadis serta melakukan upaya memahami serta menangkap maksud
kandungan suatu hadis tersebut.
Dalam ranah studi hadis, proses memahami hadis lebih
dikenal dengan istilah fiqh al hadits
atau fahm al-hadits, yakni proses
memahami dan menyingkap kandungan sebuah hadis. Dalam proses memahami dan
menyingkap makna hadis tersebut, diperlukan suatu cara dan teknik-teknik
pemahaman dan eksplorasi maksud sebuah hadis. Bertolak dari sini, muncul term ilmu fiqh al-hadits yakni ilmu yang
mempelajari tata cara memahami sebuah hadis agar dapat disingkap dan diperoleh
hasil kandungan makna sebuah hadis sesuai dengan maksud dan spirit
kandungannya. Istilah lain yang semakna adalah ilmu ma’anil al-hadits.[1]
Pada awal kemunculannya, kajian ilmu hadis yang berkaitan
dengan pemahaman matan hadis memang dirasakan belum begitu mandapat perhatian
secara khusus. Ketika itu tradisi ilmu hadis pada generasi ulama mutaqaddimin
lebih pada masalah bagaimana membuktikan otentisitas hadis tersebut. Lalu, para
ulama berikutnya berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai maksud suatu
hadis. Ini artinya bahwa aplikasi ilmu ma’anil
hadits[2]
sebenarnya telah dilakukan, terbukti dengan munculnya berbagai kitab syarah
hadis.
Dalam memahami hadis Nabi, secara garis besar dapat
dibagi dalam dua kelompok, yakni: (1) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah
teks hadis, yang disebut dengan ahl
al-hadits, Tekstualis. (2) kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap
faktor-faktor yang berada di belakang teks disebut Ahl al-Ra’yi, Kontekstualis.[3]
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengkaji metodologi
penelitian ma’anil hadis dalam ranah
teks. Dengan harapan, semoga tulisan ini dapat memberi sumbangsih dalam
khazanah intelektual Islam di Indonesia tercinta, secara lebih khusus dalam
khazanah wacana hadis.
b. Sejarah perkembangan ilmu
Ma’anil Hadits
Istilah ilmu Ma’anil
hadits belum muncul di zaman Nabi Muhammad SAW maupun zaman sahabat serta
tabi’in. Dalam berbagai literatur kitab hadis, syarah hadis maupun ulumul
hadis, tidak pernah disebutkan tentang istilah ilmu Ma’anil hadits yang mengacu pada disiplin ilmu tersendiri. Istilah
tersebut merupakan istilah baru dalam studi hadis kontemporer. Namun demikian,
sebenarnya ilmu Ma’anil Hadits telah
diaplikasikan sejak zaman Nabi Muhammad SAW., meski mungkin masih sangat
sederhana. Sebab setiap kali Nabi Saw menyampaikan hadis, tentu para sahabat
terlibat dalam proses pemahaman hadis tersebut. Apalagi Nabi Saw menyampaikan
hadis dengan bahasa Arab, sudah barang tentu para sahabat dengan cita rasa
bahasa mereka, langsung dapat mengerti apa maksud dari hadis tersebut.
Pada awal munculnya ilmu hadis, kajian yang berkaitan
dengan pemahaman matan hadis memang belum begitu mendapat perhatian khusus.
Ketika itu tradisi ilmu hadis pada generasi ulama mutaqaddimin lebih pada masalah bagaimana membuktikan otentisitas
hadis tersebut. Namun kemudian, para ulama berikutnya berusaha untuk memberikan
penjelasan mengenai maksud suatu hadis. Ini artinya bahwa aplikasi ilmu Ma’anil Hadits sebenarnya telah
dilakukan, terbukti dengan munculnya berbagai kitab syarah hadis. Misalnya, Tanwir al-Hawalik: Syarh al-Muwaththa’ Imam
Malik, karya Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi, Fath al Bari: Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Syarh Shahih Muslim,
karya Imam al-Nawawi, ‘Aunul Ma’bud:
Syarh Sunan Abi Dawud, karya Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-Azhim,
Faidl al-Qadir: Syarh al-Jami’ al-Shaghir
min Ahadits, al Basyir al-Nadzir, karya Muhammad Abdur Ra’uf al-Munawi dan
lain-lain.[4]
Munculnya istilah ilmu Ma’anil hadits agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan memberikan imbangan
dari istilah Ilmu Ma’anil Qur’an, dengan asumsi bahwa jika dalam studi
al-Qur’an ada istilah Ma’anil Qur’an, maka mengapa dalam studi hadits tidak
dimunculkan istilah Ilmu Ma’anil Hadits. Meskipun
sebenarnya kalau ditelisik lebih mendalam, dalam ilmu Ma’anil Qur’an masih cenderung berbicara tentang makna-makna suatu
huruf yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan kata-kata tertentu yang dianggap
sulit dipahami. Hal ini seperti tampak dalam kitab Ma’anil Qur’an karya al-Farra’, ketika menjelaskan makna kata al-Munkhaniqah, al-Mauqudzah,
al-Mutaraddiyah, al-Nathihah dan sebagainya dan juga dalam al-Burhan fi Ulum al-Qur’an karya
al-Zarkasyi ketika menjelaskan berbagai varian makna huruf dalam al-Qur’an
seperti huruf min, ila, laysa, ma, law,
kaifa dsb.[5]
c. Signifikansi Ilmu ma’anil
hadis
Ilmu ma’anil hadis sangat penting dalam konteks
pengembangan studi hadits, diantaranya:
1.
untuk memberikan prinsip-prinsip
metodologi dalam memahami hadis. Seorang peminat studi hadis harus belajar
tentang prinsip-prinsip metodologi dalam memahami hadis. Misalnya: a). prinsip
tidak terburu-buru menolak suatu hadis hanya karena dianggap bertentangan
dengan akal, sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. b).
Prinsip memahami hadis secara tematik (maudlu’i), sehingga memperoleh gambaran
utuh mengenai tema yang dikaji, c) Prinsip membedakan antara ketentuan hadis
yang bersifat formal dengan aspek yang bersifat ideal moral (baca: maqashid al-syari’ah), d). prinsip
bagaimana misalnya membedakan hadis-hadis yang bersifat lokal temporal dan
universal.
2.
Untuk melengkapi kajian ilmu hadis
riwayah, sebab kajian hadis riwayah saja tidak cukup. Hadis itu dicatat bukan
sekedar untuk diriwayatkan, tetapi untuk dipahami oleh generasi-generasi
berikutnya. Maka pendekatan ilmu ma’anil hadis dalam rangka menangkap
pesan-pesan ideal yang tersirat maupun tersurat dalam teks hadis menjadi sangat
penting. Tanpa itu, rasanya periwayatan hadis menjadi meaningless.
3. Sebagai kritik terhadap model pemahaman hadis yang terasa rigid
dan kaku. Ilmu ma’anil hadis akan memberi perspektif baru dalam memahami hadis
Nabi Saw. Dengan ilmu ma’anil hadis,
pembacaan terhadap hadis-hadis Nabi Saw menjadi lebih hidup (al-qira’ah al-hayah), dan terhindar dari
model pembacaan yang mati (al-qira’ah
al-mayyitah).[6]
d. Metodologi penelitian
ma’anil hadis dalam teks
Pada dasarnya ilmu ma’anil hadis adalah ilmu tentang
bagaimana memahami teks hadis, yang selalu mempertautkan tiga variable secara
triadik dan dialektik, yaitu antara author,
reader dan audience. Author dalam
hal ini adalah Nabi Saw, sedangkan reader
adalah pembaca teks hadis dan audience
adalah para pendengar, baik pendengar teks hadis ketika hadis itu disampaikan
oleh Nabi Saw waktu itu maupun pendengar ketika hadis itu disampaikan sekarang.
Ketiga variable itu juga memiliki konteks sendiri-sendiri yang perlu
dipertimbangkan dalam memahami hadis Nabi, sehingga ada keseimbangan dan
terhindar dari kesewenang-wenangan interpretasi.[7]
Para ulama’ dahulu telah banyak mencoba melakukan
penafsiran atau pemahaman terhadap hadis yang terdapat dalam al-kutub al-sittah,yakni dengan menulis kitab-kitab
syarah terhadap al-kutub al-sittah tersebut.
Kendatipun telah banyak kitab-kitab syarah telah banyak disusun, tetapi
upaya untuk menemukan metode atau cara yang digunakan ulama dalam memahami
hadis jarang di sentuh. Untuk itulah mengetahui cara atau metode pemahaman
(baca: syarah) hadis yang digunakan para ulama sangat diperlukan dalam rangka
mencapai bangunan metodologis dalam pemahaman hadits.
Ada beberapa metode pemahaman (syarah) yang digunakan oleh para ulama, diantaranya: metode tahlili, metode ijmali, dan metode
muqarin, serta metode tematik.
1. Metode Tahlili (Analitis)
a. Pengertian
Metode syarh tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan
dan keahlian pensyarah.[8]
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah
hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat
dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah hadis memulai penjelasannya dari kalimat demi
kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai
aspek yang dikandung hadis seperti kosakata, konotasi kalimatnya, latar
belakang turunnya hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan
pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang
berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama hadis.[9]
b. Ciri-ciri Metode Tahlili
Secara umum
kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili biasanya berbentuk ma'sur (riwayat) atau ra'y (pemikiran
rasional). Syarah yang berbentuk ma'sur ditandai dengan banyaknya dominasi
riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi'in atau ulama hadis. Sementara
syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi oleh pemikiran rasional
pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah
yang menggunakan metode tahlili mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1).
Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung
di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
2). Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi
kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga
menerangkan sabab al wurud dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab
wurudnya.
3). Diuraikan pula
pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi' in dan
para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4). Di samping itu dijelaskan juga munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis
lain.
5). Selain itu,
kadang kala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensyarah pada salah
satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak
fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.[10]
c. Kelebihan
dan Kekurangan Metode Tahlili
Kelebihan
1). Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas.
Metode analitis dapat mencakup berbagai
aspek: kata, frasa, kalimat, sabab al wurud, munasabah (munasabah internal) dan lain sebagainya.
2). Memuat berbagai ide dan gagasan.
Memberikan kesempatan yang sangat longgar
kepada pensyarah untuk menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan yang pernah
dikemukakan oleh para ulama.
Kekurangan
1). Menjadikan petunjuk hadis parsial
Metode analitis menjadikan petunjuk hadis
bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga seolah-olah hadis memberikan
pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah yang diberikan pada
hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau
sama redaksinya dengannya.
2). Melahirkan syarah yang subyektif
Dalam metode analitis, pensyarah tidak sadar bahwa
dia telah mensyarah hadis secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di
antara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.[11]
2. Metode Ijmali (Global)
a. Pengertian
Metode ijmali (global) adalah menjelaskan atau
menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-Kutub
al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadis
dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.[12]
b. Ciri-ciri
Metode Ijmali [13]
1). Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis
dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.
2). Penjelasan umum dan sangat ringkas.
Pensyarah tidak memiliki ruang untuk
mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap
hadis-hadis tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlili.
c. Kelebihan dan
Kekurangan Metode Ijmali
Kelebihan
1). Ringkas dan
padat
Metode ini terasa
lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya. Syarah
tidak bertele-tele, sanad dan kritik matan sangat minim.
2). Bahasa Mudah
Pensyarah langsung
menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide atau
pendapatnya secara pribadi.
Kekurangan
1). Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial
Metode ini tidak
mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk hadis
bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadis yang
bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya
rinci.
2). Tidak ada ruang untuk mengemukakan
analisis yang memadai.
Metode ini tidak
mnyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas pemahaman
suatu hadis.[14]
3. Metode Muqarin (komparatif)
a. Pengertian
Metode
Muqarin adalah metode
memahami hadis dengan cara: (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang
sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda
dalam kasus yang sama. (2) Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam
mensyarah hadis.19
Dengan demikian, metode ini dalam memahami hadis tidak hanya
membandingkan hadis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat para
ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadis. Diantara Kitab yang menggunakan metode
muqarin ini adalah
Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi karya Imam Nawawi, Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari karya Badr al-Din
Abu Muhammad Mahmud al-’Aini,
dan lain-lain
b. Ciri-ciri Metode Muqarin
1). Membandingkan analitis redaksional (mabahis\
lafziyyah) dan
perbandingan periwayat periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang
diperbandingkan.
2). Membahas perbandingan berbagai hal yang
dibicarakan oleh hadis tersebut.
3). Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup
ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek,
baik menyangkut kandungan (makna) hadis
maupun korelasi (munasabah) antara hadis dengan hadis.20
Ciri utama metode
ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hadis dengan hadis, dan pendapat
ulama syarah dalam mensyarah hadis.
c. Urutan Metode Muqarin
Metode ini diawali
dengan menjelaskan pemakaian mufradat
(suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan
adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :
1). mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang
redaksinya bermiripan,
2). memperbandingkan antara hadis yang redaksinya
mirip tersebut, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang
berbeda dalam satu redaksi yang sama,
3). menganalisa perbedaan yang terkandung di
dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan itu mengenai konotasi hadis
maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam
hadis, dan sebagainya,
4). memperbandingkan antara berbagai pendapat
para pensyarah tentang hadis yang dijadikan objek bahasan.21
d. Kelebihan dan
Kekurangan
Kelebihan
1). Memberikan wawasan pemahaman yang relatif
lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan denga metode lain.
2) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran
terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh. berbeda.
3) Pemahaman dengan metode muqarin sangat
berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah
hadis.
4) Pen-syarah didorong untuk mengkaji berbagai
hadis serta pendapat-pendapat para pensyarah lainnya.
Kekurangan
1) Metode ini tidak relevan bagi pembaca
tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit
untuk menentukan pilihan.
2) Metode ini tidak dapat diandalkan untuk
menjawab permasalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat, karena
pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah.
3) Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri
pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru.23
4.
Metode Tematik
a.
Pengertian
Metode tematik
ialah metode yang membahas hadis-hadis Nabi saw, sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan. Semua hadis yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya. Sesuai
dengan namanya tematik, maka yang
menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik
pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut
metode topikal. Dimana pengkaji hadis
mencari tema-tema atau topik-topik yang ada ditengah masyarakat atau berasal
dari hadis itu sendiri, kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara
tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau
petunjuk yang termuat di dalam hadis-hadis yang ditafsirkan.[15]
Sejauh ini metode
tematik dalam bidang tafsir telah mendapat respon yang cukup ramai di kalangan
ahli tafsir untuk memahami isi kandungan Al Qur’an, namun tidak di bidang
hadis. Dalam bidang ulum al-hadis, ulama hadis berusaha merumuskan epistemologi
’ilm ma’an al-hadis yang boleh diartikan
dengan ilmu tentang pemahaman hadis, namun ilmu ini belum banyak dikembangkan
secara signifikan, sehingga belum bisa ditemukan rumusan metodologi yang mapan
dalam aplikasinya. Akibatnya, pemahaman hadis Nabi cenderung masih bersifat
general tanpa melihat struktur hadis. Artinya semua hadis dipahami sama, apakah
itu riwayat bi al-lafdz atau riwayat bi al-ma’na, begitu juga apakah
hadis itu muthlaq atau muqayyad.[16]
Hal ini disebabkan
barangkali kompleksnya wilayah kajian ulum al-hadis –sanad dan matan- kalaupun
ada yang berusaha melakukan pemahaman secara tematik, belum mencapai level yang
memuaskan, karena yang muncul adalah baru pemahaman tekstual, parsial dan
sporadis, tanpa melihat konteks kesejarahan (historis), geografis dan
sosio-kultural, dan aspek lainnya misalnya kapasitas Nabi, setting antropologis, bahkan politis. Maka, sudah barang tentu
pemahaman semacam ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan yang bisa diacu
secara keilmuan. Belum lagi pertimbangan-pertimbangan kategorik hadis berdasar
pada lokal, temporal (insidental) atau universal, termasuk kategori hadis
tentang aqidah, ibadah, atau mu’amalah.[17]
b.
Langkah-langkah Metodologis
Meskipun sepintas
lalu pemaknaan hadis dengan pendekatan metode tematis sederhana, tetapi jika
dilakukan secara serius diperlukan kerangka metodologis yang prosedural, adapun
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tema
tertentu sesuai keinginan peneliti, misalnya: kesempurnaan iman, silaturahmi,
ilmu, etika, dll.
2. Menghimpun hadis yang
shahih dan atau setidak-tidaknya hasan (senada/sejalan, tidak sejalan, tampak
kontradiktif (ta’arudl/tanaqud),
melalui prosedur takhrij al-hadis,
dengan melakukan i’tibarat, muttabi’at dan syawahid.
3. Jika langkah kedua
belum dilakukan, maka peneliti harus melakukan tahqiq al-hadis (verifikasi dan validasi) untuk menentukan kualitas sanadnya.
4. Melacak asbab al-wurud al-hadis, beberapa hadis
(jika mungkin paling tidak 2 buah) yang dinilai memenuhi kualifikasi sanad dan rawi-nya.
5. Mengidentifikasi teks
(matan) hadis dari aspek kebahasaan (linguistik), terutama kata yang mutasyabbih (dibawa ke yang muhkam), mutlaq (mengaitkan ke yang muqayyad)
atau makna konotasi ke denotasi, dan ’am
(menafsirkan ke yang khash) artinya
dari makro ke mikro, musykil (menuju
ke makna yang sharih), haqiqi dan majazi, juga makna yang gharib
ke makna wadlih, dsb.
6. Melakukan
identifikasi kandungan konsep dalam suatu hadis, diharapkan dari identifikasi lafdziyyah ini dapat ditemukan ide pokok
(main idea) dan ide-ide sekunder.
7. Dipahami maksud
kandungan maknanya dengan meneliti dalalah
(variabel dan indikasi).
8. Mencari teks
(ayat-ayat) al-Qur’an secara proporsional jika ada, paling tidak memiliki
kesamaan pesan (ideal) moral dan arti maknawi (spirit).
9. Melakukan pendekatan
holistik-komprehensif secara multidisipliner.
10. Melakukan
pengembangan dan ”pengembaraan” makna dengan pendekatan kontekstual.
11. Mengambil kesimpulan
secara deduktif atau induktif, dengan menentukan wilayah keilmuan: ontologis,
epistemologis, dan aksiologis.[18]
c.
Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan
1. Menjawab tantangan
zaman.
Permasalahan dalam
kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu
sendiri. Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks
dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas.
Untuk menghadapi
permasalahan demikian, hal itu dapat ditangani dengan menggunakan metode
pemahaman hadis tematik, karena kajian tematik memang ditujukan untuk
menyelesaikan permasalahan dalam sekup-sekup tertentu.
2. Praktis dan
sistematis
Pemahaman hadis
dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan
permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini amat cocok dengan kehidupan umat
yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan
tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab hadis yang besar. Dengan adanya
hadis-hadis tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk secara praktis dan
sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efisien.[19]
3. Dinamis
Metode tematik
membuat pemahaman terhadap hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman
sehingga menimbulkan image di dalam
benak pembaca dan pendengarnya bahwa hadis-hadis nabi dapat membimbing
kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial.
kekurangan
1.
Membatasi pemahaman hadis
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu
ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut, padahal tidak
mustahil suatu hadis itu dapat di tinjau dari berbagai aspek. dengan ditetapkannya judul pembahasan,
berarti yang akan dikaji hanya dari satu sudut pandang saja, dan itu merupakan
konsekuensi logis dari diterapkannya metode tematis.[20]
e. Penutup
Dari pemaparan dan analisa
singkat di atas, dapatlah kami simpulkan bahwa kajian ilmu ma’anil hadis
kendatipun pada awal permulaan munculnya ilmu hadis belum begitu mendapat
perhatian, yang diakibatkan oleh para ulama’ mutaqaddimin lebih
cenderung mencari otentisitas hadis, namun sesungguhnya ilmu ma’anil
hadis memegang peranan penting. Karena selain mencari keotentikan hadis
Rasulullah Saw memang penting, sesungguhnya akan sangat lebih penting lagi jika
umat Islam dapat memahami makna pesan yang terkandung dalam teks hadis
Rasulullah tersebut, dan disinilah peran pokok ‘ilm ma’anil hadis. Ada tiga metode yang digunakan oleh para Ulama’
dalam upaya memahami hadis Nabi Saw, yakni; Metode
Tahlili, metode Ijmali, dan metode Muqorin. Namun demikian, metode yang
telah dipersembahkan oleh para ulama’ bukanlah sesuatu yang final. Kajian dan
telaah hadis tetap sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menangkap makna
kandungan hadis secara komprehensif. Disinilah hadis selalu terbuka untuk dapat
dikaji dengan berbagai pendekatan dan metode baru sehingga nilai ruhiyah hadis
Rasulullah dapat selalu menjadi pencerah dan pedoman bagi umat manusia.[]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil
Hadits Paradigma Interkoneksi; Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadits,
(Yogyakarta: Idea Press, 2008).
___________ dkk, Paradigma
Integrasi-Interkoneksi dalam memahami Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009).
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan,
(Yogyakarta: CESaD, 2001).
Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
[1]
Kata pengantar dalam, Abdul Mustaqim, Ilmu
Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi; Berbagai Teori dan Metode Memahami
Hadits, (Yogyakarta: Idea Press, 2008), hlm. viii.
[2]
Ilmu ma’anil hadis, yakni ilmu yang
mengkaji tentang bagaimana memaknai dan memahami hadis Nabi Saw, dalam definisi
lain, ilmu ma’anil hadist
didefinisikan sebagai ilmu yang membahas bagaimana prinsip-prinsip metodologi
(proses dan prosedur) memahami hadis Nabi, sehingga hadis tersebut dapat
dipahami maksud dan kandungannya secara tepat dan proposional. Lihat, Ibid, hlm. 11.
[3]
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami
Hadis Nabi; Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawy,
(Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.73.
[4]
Abdul Mustaqim, “Ilmu Ma’anil Hadits
Paradigma….” Hlm. 5-7.
[5] Ibid, hlm.9
[6] Ibid, Hlm. 13-14.
[7] Ibid, Hlm. 10
[8] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta:CESaD,
2001), hlm. 29
[9] Ibid,
hlm. 29.
[10] Ibid.,
hlm.30-31.
[11] Ibid.,
hlm 38-39.
[12] Ibid.,
hlm. 42.
[13] Ibid.,
hlm. 43.
11
Ibid.,hlm. 46.
12Ibid.,hlm
48-49.
13 Ibid., hlm. 49.
14 Ibid., hlm.51-52.
[15]
Definisi ini penulis rumuskan dari metodologi penafsiran tematik yang ada di
dalam konteks penafsiran Al Qur’an, penulis sengaja mengambil rumusan dari hal
tersebut, karena menurut hemat penulis, metodologi penafsiran yang diterapkan
dalam hadis hampir kebanyakan mengikuti dari pola yang dilakukan dalam kajian
tafsir al qur’an. Lihat: Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 151-152.
[16]
Abdul Mustaqim dkk, Paradigma
Integrasi-Interkoneksi dalam memahami Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009),
hlm. 32.
[17] Ibid, hlm. 33.
[18] Ibid, hlm. 33-35.
[19]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran …,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 165-166.
[20] Ibid, hlm. 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar