APPROACHES TO THE STUDY OF RELIGION
(Pembacaan terhadap Tulisan Peter Connoly, Ed)
Pendahuluan
Dewasa ini dengan semakin meningkatnya arus perhatian
terhadap agama, secara bersamaan juga ikut meningkatkan perhatian akan perlunya
upaya untuk mengkaji agama secara lebih objektif, menyeluruh dan mendalam. Hal
ini dikarenakan perhatian terhadap agama saat ini tidak hanya menjadi monopoli penganut-penganut
agama saja (Kyai, pastur, pendeta, ustad), akan tetapi juga muncul dari
berbagai kalangan sarjana, baik kalangan sarjana yang menganut agama itu
sendiri (insider) yang mencoba bersikap agnostik terhadap agama-agama maupun
sarjana yang bahkan justru tidak sama sekali bukan merupakan seorang penganut
agama yang dikaji tersebut (outsider), sehingga dari situlah kebutuhan
terhadap pendekatan agama yang lebih bernuansa ilmiah nampak menjadi sebuah keniscayaan yang
harus terus dilakukan.
Selain itu, persoalan
mengenai alasan mengapa pendekatan terhadap studi agama memerlukan pendekatan
yang bernuansa ilmiah, hal ini disinyalir oleh karena pendekatan yang digunakan
terhadap studi agama selama ini cenderung hanya didominasi dengan pendekatan
teologis-normatif semata, yaitu suatu pendekatan terhadap agama yang dilakukan demi
untuk meneguhkan keyakinan beragama, meningkatkan loyalitas
terhadap kelompok agama itu sendiri, serta memperkuat komitmen dan dedikasi yang tinggi terhadap agama, sehingga dalam hal ini pendekatan terhadap studi agama nampak
cenderung bersifat sangat subjektif, karena para pengkaji tersebut lebih memposisikan pendekatannya
sebagai
pelaku, dan bukan sebagai pengamat.
Namun
demikian, ini bukan berarti bahwa pendekatan teologis terhadap studi agama
merupakan sesuatu yang negatif, hanya saja penggunaan pendekatan teologis yang
terlalu dominan akan cenderung mereduksi rumpun kajian-kajian studi agama yang
begitu luas. Karena pada kenyataannya agama sangatlah bersifat multidimensional,
agama bisa ditinjau dari berbagai sisi pendekatan dan sudut pandang; pendekatan
fenomenologis, filosofis, antropologis, psikologis, sosiologis, feminis, dan
termasuk juga pendekatan teologis. Dimana, sebagian besar pendekatan tersebut
sangatlah begitu penting untuk mencoba dipertautkan kembali ke dalam sudut pandang
para peminat studi agama.
Persoalan
inilah yang nampaknya menjadi suatu kegelisahan tersendiri bagi Peter Connoly dan
para koleganya, sehingga mengharuskan mereka untuk mencoba menyusun sebuah buku
yang berisi berbagai tema pendekatan dalam studi agama. Apalagi ditambah
posisinya sebagai seorang pengampu mata kuliah yang berkaitan dengan studi-studi
agama, peter merasa sangat mendesak untuk mengetengahkan persoalan mengenai
pendekatan-pendekatan dalam studi agama kepada para mahasiswanya. Hal ini
ditujukan untuk menggaris bawahi bahwa pemahaman tentang agama tidaklah lagi
menjadi monopoli para penganut agama saja (insider) dan hanya menggunakan
pendekatan teologis semata, tetapi juga siapa pun bisa memahami mengkaji agama
tanpa harus mengikuti dan meyakini agama tersebut.
Pendekatan Antropologis David N. Gellner
Pendekatan antropologis dalam studi
agama senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa. Secara sederhana
perkembangan pendekatan ini dapat digolongkan ke dalam beberapa model: Pertama,
model pendekatan Evolusionis. Model pendekatan ini digunakan oleh para
antropolog awal sekitar abad XIX seperti, Sir James Frazer dan Emil Durkheim yang
pada saat itu mendapat dukungan teori evolusi biologis Darwin. Ada pula
penganut lain seperti Karl Marx, Max Weber, dan Lewis Henry Morgan namun hanya
memiliki pengaruh yang relatif sedikit. Pada dasarnya, model pendekatan ini cenderung
memandang masyarakat seperti eskalator historis raksasa yakni
mengklasifikasikan masyarakat ke dalam beberapa kasta, masyarakat maju berada
di posisi puncak, masyarakat berkembang dalam posisi tengah, dan masyarakat primitif
dalam posisi terbawah. Setiap masyarakat senantiasa mengalami evolusi dengan
mengikuti setiap tangga evolusi tersebut, hal ini juga termasuk evolusi pada
keyakinan rasionalisme sejarah manusia yang menurut Frazer harus melalui tiga
fase; magic (sihir), agama, dan ilmu.
Berbeda dengan Frazer, meskipun masih
sama-sama penganut model evolusionis, Durkheim justru menilai bahwa metode
antropologis tersebut adalah suatu kekeliruan karena cenderung dilakukan dengan
mengambil contoh dari seluruh dunia kemudian menggeneralisasikannya tanpa
memperhatikan konteks aslinya. Menurutnya, perlu eksperimen yang tepat dan
mendalam untuk membuktikan adanya aturan tunggal dalam kajian antropologis. Selain
itu, Durkheim juga menyadari perlunya
mengkaji agama sebagai bagian esensial dari penelitian antropologis, karena dengan
cara itulah para antropolog dapat mengungkap asal-usul pemikiran manusia,
Durkheim juga berkeyakinan bahwa agama memiliki peran penting sebagai pengikat
dalam masyarakat. Adapun, sumbangan paling penting yang dilakukan Durkheim dalam
studi antropologis agama adalah mengenai analisisnya tentang perlunya pemisahan
antara wilayah yang sacred dan profane dalam setiap agama,
disertai dengan penekanan yang sama terhadap dimensi praktik (practices),
komunitas (community), serta fungsi sosial dan komunal yang dimainkan
agama.
Kedua, Model penelitian lapangan (field research), model
pendekatan ini beranjak dari kritikannya terhadap model Grand Historical
Design yang dianggap tidak relevan lagi dalam memahami suatu masyarakat
yang terus berkembang. Model penelitian lapangan (field research) banyak
dianut oleh Franz Boaz (USA) dan Bronislaw Malinowski (Inggris). Menurut Franz
Boaz satu-satunya cara untuk memahami suatu masyarakat, seorang antropolog
harus memulai dengan mengkaji dan memahami masyarakat melalui term-term mereka
sendiri serta menghindari spekulasi evolusionis yang besar. Sementara itu,
Malinowski—seorang fungsionalis-- juga menegaskan bahwa masyarakat harus
dilihat sebagai suatu totalitas fungsional, ini berarti bahwa seluruh adat
kebiasaan dan praktik harus dipahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan
dengan melihat fungsinya bagi anggota masyarakat tersebut. Baginya adalah
sebuah kekeliruan yang fatal jika memahami masyarakat dalam cara pandang survivals
evolusionis. Hal yang sama juga dia gunakan dalam menjelaskan tentang
agama, bagi Malinowski agama tidaklah lebih dari pada berfungsi sebagai pemberi
jaminan psikologis bagi kebutuhan manusia akan ketidakpastian hidup.
Teori Malinowski ini berimplikasi
pada penggunaan metode observasi partisipan (sebelumnya dikenal metode
inovatif) sebagai metode utama dalam kajian antropologis, dimana seorang
antropolog harus menceburkan diri ke dalam masyarakat yang diteliti dalam
jangka waktu yang lama, ambil bagian dalam aktifitas sehari-hari, dan
mempelajari bahasa mereka tanpa bantuan penerjemah.
Berbeda dengan fungsionalisme
Malinowski yang lebih menekankan pada kebutuhan individu, Radcliffe Brown justru
memfokuskan pada kebutuhan masyarakat, teorinya kemudian lebih dikenal sebagai
fungsionalisme struktural yang menekankan posisi agama sebagai perekat
masyarakat dan fungsinya dalam mempertahankan struktur sosial suatu kelompok.
Teori ini diperkuat oleh karya John Middleton yang membahas tentang Lugbara
Religion.
Ketiga, Model pendekatan interpretatif, tokoh utamanya adalah Clifford
Geertz. Model pendekatan ini berusaha menggantikan berbagai model pendekatan positivistik
yang cenderung mengejar generalisasi universal menuju pada pendekatan “etik”
yakni melihat kebudayaan masyarakat tidak lagi dari sisi luar (outside),
tetapi dari sudut pandang masyarakat itu sendiri. Teori ini ingin mengejar
pembahasan yang objektif tentang pandangan subjektif masyarakat terhadap dunia (indigenous).
Atau dengan kata lain, menafsirkan sebuah peristiwa menurut cara pandang masyarakat
itu sendiri. Titik tolak pandangan ini berusaha memandang antropologi tidak
lagi dalam kerangka kerja sains, tetapi lebih dipandang sebagai seni atau sebuah
disiplin humanistik.
Dalam pendekatan ini Geertz
memperkenalkan istilah Thick description (deskripsi tebal) yang
berfungsi untuk mendeskripsikan tentang apa yang sedang dikerjakan masyarakat
dan apa yang mereka pikirkan tentang hal tersebut. Tentu saja pendekatan ini
memerlukan kedekatan hubungan antara antropolog dengan informan dari penduduk
asli. Selain terlihat menonjol dalam karya Geertz; Religion of java, konsep
Thick Description juga dapat dilihat dari analisis Victor Turner atas
karya Arnold van gennep tentang upacara perjalanan, khususnya pada upacara
krisis kehidupan. Analisisnya sampai pada kesimpulan tiga
tahap fase ritual, yaitu: pemisahan, marginalisasi atau liminasi, dan
penyatuan.
Dari pemaparan beberapa fase perkembangan
pendekatan antropologi tersebut, dapat dipahami bahwa tidak ada agama atau
budaya masyarakat yang harus diterima secara taken for granted, apalagi berupaya
memaksakan kembali apa yang ada dalam teks terhadap apa yang diyakini dan
dipikirkan masyarakat.
Pendekatan Feminis (Sue Morgan)
Pendekatan feminis dalam studi agama adalah suatu
transformasi kritis yang menggunakan perspektif gender sebagai analisis
utamanya. Pendekatan ini memandang bahwa
feminisme dan agama masing-masing memiliki peran yang penting dalam kehidupan
perempuan. Tujuan utama pendekatan feminis adalah mengidentifkasi sejauh mana
terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan dan
meninjau apakah hubungan keduanya saling menguntungkan satu sama lain atau
tidak. Feminisme itu sendiri bukanlah merupakan fenomena tunggal atau monolitik
melainkan mencakup spektrum perspektif politis dan ideologis yang luas. Karena
itulah feminisme memiliki banyak model dan bentuk gerakan, seperti feminisme
religius, feminis radikal, feminis liberal, sampai ekofeminisme.
Pada dasarnya, agama dapat menjadi
faktor yang kuat dalam mengarahkan feminisme, hal ini disebabkan oleh kuatnya
hubungan ideologis antara gerakan perempuan dan semangat anti perbudakan. Secara
historis, keterlibatan feminis dengan agama sudah dimulai sejak abad XIX di
anglo-american, isu yang muncul adalah mengenai perbedaan tentang persamaan
akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisisme injil yang
cenderung dipolitisir secara eksplisit. Namun barulah sejak tahun 1980
pendekatan feminisme terhadap agama lebih dicirikan dengan upaya untuk
menciptakan paradigma kesarjanaan keagamaan baru yang lebih mengistimewakan
pengalaman perempuan.
Ada tiga pendekatan mendasar yang
sekaligus dapat menjadi jalan keluar yang memungkinkan terjadinya suatu dialog
saling menguntungkan antara feminisme dan agama. Pertama, melalui bahasa
sacred, pendekatan ini
dilakukan dengan berupaya menyesuaikan simbol-simbol tuhan dengan rangkaian
image-image yang beragam dan inklusif yang merefleksikan pengalaman kedua jenis
gender. Seperti dengan menghapus image kekuasaan tuhan sebagai laki-laki dan menyematkan
aspek ketuhanan yang feminin dengan mempersonifikasikan nilai-nilai perempuan dalam
kearifan Tuhan. Kedua, literature, hal ini dilakukan
dengan melakukan revisi maupun reinterpretasi terhadap teks-teks yang bersifat
misoginis dan mendiskreditkan perempuan. Seperti yang dilakukan Mary Gery yang
melakukan pembacaan ulang atau reinterpretasi terhadap doktrin dosa dalam ajaran
kristiani. Upaya Reintepretasi feminis terhadap teks-teks keagamaan yang
patriarkis tidak hanya melibatkan kesadaran terhadap muatan naratif, melainkan
juga kesadaran atas seluruh proses hermeneutik atau interpretatif yang dipahami
sebagai hal yang normatif.
Ketiga, melalui penemuan sejarah keagamaan perempuan, ini
dilakukan dengan memfokuskan pada penemuan kembali sosok tokoh perempuan yang
inspirasional sekaligus memiliki beragam peran spiritual dalam konteks
historis, seperti; peran pejuang perempuan di masa pra-Islam, partisipasi
perempuan dalam kehidupan Israel kuno, inisiatif ekonomis perempuan Yahudi,
sampai biarawati-biarawati katolik inggris berkulit hitam di abad XIX.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pendekatan feminisme mengharuskan adanya suatu penyesuaian pemahaman
kembali terhadap situasi-situasi patriarkis yaitu dengan mengakui dan memahami
bahwa perempuan itu sendiri juga dapat menunjukkan bentuk kekhasan kultural
maupun ekonomis. Selain itu upaya pembebasan perempuan harus bersifat
multidimensional, tidak hanya secara sederhana dengan menggambarkan seolah-olah
seluruh perempuan adalah sebagai korban teraniaya, sedang laki-laki adalah
sebagai penganiaya. Melainkan dengan cara yang lebih komprehensif yakni
melakukan pendekatan yang lebih Selain ketiga pendekatan tersebut, ada satu
aliran yang menggunakan pendekatan yang cukup menarik yaitu ekofeminisme.
Pendekatan yang digunakan aliran ini berusaha menghapuskan dominasi paradigma
yang dualistik.
Pendekatan Fenomenologis (Clive Erricker)
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama meniscayakan perlunya memandang
agama sebagai sebuah entitas tersendiri. Agama adalah
ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang
terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi
simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama. Dengan
demikian, tema pokok penelitian ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan
pengungkapannya atau dalam bahasa sederhananya upaya menjadikan agama sebagai
sasaran penelitian. Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan
terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan
sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual,
konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya.
Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati dan meneliti
dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan jangkauannya Pendekatan fenomenologi agama hadir dalam
rangka untuk mengkaji agama sebagai suatu entitas tersendiri. Secara historis, perkembangan fenomenologi agama di
awali oleh Jacques Waardenberg dalam penelitiannya; Classical approaches to
the study of religion. Dia menjelaskan perlunya menjadikan agama sebagai
subjek penelitian empiris dan rasional. Meskipun pada dasarnya menjadikan agama
sebagai objek studi tidaklah bisa benar-benar murni objektif, tetapi upaya
untuk mengkajinya secara ilmiah tetap harus dilakukan.
Secara
filosofis, bangunan dasar yang membentuk pendekatan fenomenologis dapat
ditelusuri dari karya filsafat Hegel: The Phenomenology of Spirit. Hegel
mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dapat dipahami melalui
penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (Erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada
satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi
atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara
esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan
merupakan sesuatu yang berbeda.
Selain
Hegel, menurut Van der leeuw pengaruh filsafat Edmund Husserl juga turut
menjadi titik tolak yang sangat bernilai dalam meletakkan pendekatan
fenomenologis terhadap agama. Husserl membagi dua hal pokok, yakni: epochè dan eiditic
vision. Kata epochè
berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan”
(bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena
pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah
sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian. Sedangkan Eidetic
vision berarti “yang terlihat” atau pengandaian terhadap epochè yang
merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang
penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali
fenomena tersebut.
Satu metode penting yang dikenalkan
dalam pendekatan fenomenologi agama, yaitu Metode Verstehen. Metode Verstehen adalah metode yang dianggap cukup penting dalam
pendekatan fenomenologi, metode ini berusaha mencari “pengertian” mendalam terhadap
suatu fenomena, yaitu gejala yang hadir dalam kesadaran manusia. Caranya adalah
dengan menghilangkan sekat antara subjek (peneliti/pengamat) dengan objek (yang
diteliti), atau dengan kata lain, si peneliti menempatkan diri sebagai objek
sehingga dengan perenungan intuitif akhirnya ia mencapai “pengertian” akan
ide-ide, kepercayaan, perasaan, dan nilai-nilai partikular-unik dari objek,
untuk kemudian dicari makna atau pola general yang ada.
Pendekatan
Filosofis (Rob Fisher)
Pertautan antara pendekatan
filosofis terhadap agama terletak pada proses-proses nalar rasional dalam
memahami korpus keagamaan, proses rasional ini mencakup dua hal: Pertama,
dengan menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam refleksi
pengalaman dan keyakinan keagamaan dari suatu tradisi keagamaan. Bagian proses
refleksi ini melibatkan peninjauan secara terbuka terhadap bahasa, doktrin,
simbol, model, dan mite-mite dalam tradisi. Kedua, dengan menunjukkan
fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya tradisi keagamaan harus dapat
menggunakan akal dalam memproduksi argumen-argumen logis dan klaim-klaim yang
dapat dibenarkan dengan nalar yang masuk akal.
Namun demikian, filsafat bukan persoalan nasehat maupun upaya untuk
mempengaruhi orang lain dengan mengindoktrinasi. Pendekatan filsafat membantu
seseorang untuk lebih teliti dalam membaca, berfikir dengan cermat, dan mau
melihat ide-ide sendiri berdasarkan daftar penelitian rasional dan kritis.
Selain itu, menurut Brenda Almond berfilsafat selalu mencakup dua komitmen,
yaitu: berfilsafat memperlihatkan komitmen kepada kebenaran dan berfilsafat
selalu menghendaki kejujuran dalam dialog, keterbukaan, dan keingintahuan untuk
menjelajahi wilayah pembicaraan, serta berusaha bersikap adil. Ada beberapa
posisi utama mengenai hubungan antara filsafat dan agama, diantaranya: (1)
filsafat sebagai agama, (@2) filsafat sebagai pelayan agama, (3) filsafat
sebagai suatu perangkat analitis bagi agama, (5) filsafat sebagai studi tentang
penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan.(Read More)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar