Kamis, 10 Desember 2015

APPROACHES TO THE STUDY OF RELIGION
(Pembacaan terhadap Tulisan Peter Connoly, Ed)

Pendahuluan
Dewasa ini dengan semakin meningkatnya arus perhatian terhadap agama, secara bersamaan juga ikut meningkatkan perhatian akan perlunya upaya untuk mengkaji agama secara lebih objektif, menyeluruh dan mendalam. Hal ini dikarenakan perhatian terhadap agama saat ini tidak hanya menjadi monopoli penganut-penganut agama saja (Kyai, pastur, pendeta, ustad), akan tetapi juga muncul dari berbagai kalangan sarjana, baik kalangan sarjana yang menganut agama itu sendiri (insider) yang mencoba bersikap agnostik terhadap agama-agama maupun sarjana yang bahkan justru tidak sama sekali bukan merupakan seorang penganut agama yang dikaji tersebut (outsider), sehingga dari situlah kebutuhan terhadap pendekatan agama yang lebih bernuansa  ilmiah nampak menjadi sebuah keniscayaan yang harus terus dilakukan.
            Selain itu, persoalan mengenai alasan mengapa pendekatan terhadap studi agama memerlukan pendekatan yang bernuansa ilmiah, hal ini disinyalir oleh karena pendekatan yang digunakan terhadap studi agama selama ini cenderung hanya didominasi dengan pendekatan teologis-normatif semata, yaitu suatu pendekatan terhadap agama yang dilakukan demi untuk meneguhkan keyakinan beragama, meningkatkan loyalitas terhadap kelompok agama itu sendiri, serta memperkuat komitmen dan dedikasi yang tinggi terhadap agama, sehingga dalam hal ini pendekatan terhadap studi agama nampak cenderung bersifat sangat subjektif, karena para pengkaji tersebut lebih memposisikan pendekatannya sebagai pelaku, dan bukan sebagai pengamat.
            Namun demikian, ini bukan berarti bahwa pendekatan teologis terhadap studi agama merupakan sesuatu yang negatif, hanya saja penggunaan pendekatan teologis yang terlalu dominan akan cenderung mereduksi rumpun kajian-kajian studi agama yang begitu luas. Karena pada kenyataannya agama sangatlah bersifat multidimensional, agama bisa ditinjau dari berbagai sisi pendekatan dan sudut pandang; pendekatan fenomenologis, filosofis, antropologis, psikologis, sosiologis, feminis, dan termasuk juga pendekatan teologis. Dimana, sebagian besar pendekatan tersebut sangatlah begitu penting untuk mencoba dipertautkan kembali ke dalam sudut pandang para peminat studi agama.
            Persoalan inilah yang nampaknya menjadi suatu kegelisahan tersendiri bagi Peter Connoly dan para koleganya, sehingga mengharuskan mereka untuk mencoba menyusun sebuah buku yang berisi berbagai tema pendekatan dalam studi agama. Apalagi ditambah posisinya sebagai seorang pengampu mata kuliah yang berkaitan dengan studi-studi agama, peter merasa sangat mendesak untuk mengetengahkan persoalan mengenai pendekatan-pendekatan dalam studi agama kepada para mahasiswanya. Hal ini ditujukan untuk menggaris bawahi bahwa pemahaman tentang agama tidaklah lagi menjadi monopoli para penganut agama saja (insider) dan hanya menggunakan pendekatan teologis semata, tetapi juga siapa pun bisa memahami mengkaji agama tanpa harus mengikuti dan meyakini agama tersebut.

Pendekatan Antropologis David N. Gellner
Pendekatan antropologis dalam studi agama senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa. Secara sederhana perkembangan pendekatan ini dapat digolongkan ke dalam beberapa model: Pertama, model pendekatan Evolusionis. Model pendekatan ini digunakan oleh para antropolog awal sekitar abad XIX seperti, Sir James Frazer dan Emil Durkheim yang pada saat itu mendapat dukungan teori evolusi biologis Darwin. Ada pula penganut lain seperti Karl Marx, Max Weber, dan Lewis Henry Morgan namun hanya memiliki pengaruh yang relatif sedikit. Pada dasarnya, model pendekatan ini cenderung memandang masyarakat seperti eskalator historis raksasa yakni mengklasifikasikan masyarakat ke dalam beberapa kasta, masyarakat maju berada di posisi puncak, masyarakat berkembang dalam posisi tengah, dan masyarakat primitif dalam posisi terbawah. Setiap masyarakat senantiasa mengalami evolusi dengan mengikuti setiap tangga evolusi tersebut, hal ini juga termasuk evolusi pada keyakinan rasionalisme sejarah manusia yang menurut Frazer harus melalui tiga fase; magic (sihir), agama, dan ilmu.
Berbeda dengan Frazer, meskipun masih sama-sama penganut model evolusionis, Durkheim justru menilai bahwa metode antropologis tersebut adalah suatu kekeliruan karena cenderung dilakukan dengan mengambil contoh dari seluruh dunia kemudian menggeneralisasikannya tanpa memperhatikan konteks aslinya. Menurutnya, perlu eksperimen yang tepat dan mendalam untuk membuktikan adanya aturan tunggal dalam kajian antropologis. Selain itu, Durkheim juga  menyadari perlunya mengkaji agama sebagai bagian esensial dari penelitian antropologis, karena dengan cara itulah para antropolog dapat mengungkap asal-usul pemikiran manusia, Durkheim juga berkeyakinan bahwa agama memiliki peran penting sebagai pengikat dalam masyarakat. Adapun, sumbangan paling penting yang dilakukan Durkheim dalam studi antropologis agama adalah mengenai analisisnya tentang perlunya pemisahan antara wilayah yang sacred dan profane dalam setiap agama, disertai dengan penekanan yang sama terhadap dimensi praktik (practices), komunitas (community), serta fungsi sosial dan komunal yang dimainkan agama.  
Kedua, Model penelitian lapangan (field research), model pendekatan ini beranjak dari kritikannya terhadap model Grand Historical Design yang dianggap tidak relevan lagi dalam memahami suatu masyarakat yang terus berkembang. Model penelitian lapangan (field research) banyak dianut oleh Franz Boaz (USA) dan Bronislaw Malinowski (Inggris). Menurut Franz Boaz satu-satunya cara untuk memahami suatu masyarakat, seorang antropolog harus memulai dengan mengkaji dan memahami masyarakat melalui term-term mereka sendiri serta menghindari spekulasi evolusionis yang besar. Sementara itu, Malinowski­­—seorang fungsionalis-- juga menegaskan bahwa masyarakat harus dilihat sebagai suatu totalitas fungsional, ini berarti bahwa seluruh adat kebiasaan dan praktik harus dipahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan dengan melihat fungsinya bagi anggota masyarakat tersebut. Baginya adalah sebuah kekeliruan yang fatal jika memahami masyarakat dalam cara pandang survivals evolusionis. Hal yang sama juga dia gunakan dalam menjelaskan tentang agama, bagi Malinowski agama tidaklah lebih dari pada berfungsi sebagai pemberi jaminan psikologis bagi kebutuhan manusia akan ketidakpastian hidup.
Teori Malinowski ini berimplikasi pada penggunaan metode observasi partisipan (sebelumnya dikenal metode inovatif) sebagai metode utama dalam kajian antropologis, dimana seorang antropolog harus menceburkan diri ke dalam masyarakat yang diteliti dalam jangka waktu yang lama, ambil bagian dalam aktifitas sehari-hari, dan mempelajari bahasa mereka tanpa bantuan penerjemah.
Berbeda dengan fungsionalisme Malinowski yang lebih menekankan pada kebutuhan individu, Radcliffe Brown justru memfokuskan pada kebutuhan masyarakat, teorinya kemudian lebih dikenal sebagai fungsionalisme struktural yang menekankan posisi agama sebagai perekat masyarakat dan fungsinya dalam mempertahankan struktur sosial suatu kelompok. Teori ini diperkuat oleh karya John Middleton yang membahas tentang Lugbara Religion.
Ketiga, Model pendekatan interpretatif, tokoh utamanya adalah Clifford Geertz. Model pendekatan ini berusaha menggantikan berbagai model pendekatan positivistik yang cenderung mengejar generalisasi universal menuju pada pendekatan “etik” yakni melihat kebudayaan masyarakat tidak lagi dari sisi luar (outside), tetapi dari sudut pandang masyarakat itu sendiri. Teori ini ingin mengejar pembahasan yang objektif tentang pandangan subjektif masyarakat terhadap dunia (indigenous). Atau dengan kata lain, menafsirkan sebuah peristiwa menurut cara pandang masyarakat itu sendiri. Titik tolak pandangan ini berusaha memandang antropologi tidak lagi dalam kerangka kerja sains, tetapi lebih dipandang sebagai seni atau sebuah disiplin humanistik.
Dalam pendekatan ini Geertz memperkenalkan istilah Thick description (deskripsi tebal) yang berfungsi untuk mendeskripsikan tentang apa yang sedang dikerjakan masyarakat dan apa yang mereka pikirkan tentang hal tersebut. Tentu saja pendekatan ini memerlukan kedekatan hubungan antara antropolog dengan informan dari penduduk asli. Selain terlihat menonjol dalam karya Geertz; Religion of java, konsep Thick Description juga dapat dilihat dari analisis Victor Turner atas karya Arnold van gennep tentang upacara perjalanan, khususnya pada upacara krisis kehidupan. Analisisnya sampai pada kesimpulan tiga tahap fase ritual, yaitu: pemisahan, marginalisasi atau liminasi, dan penyatuan.
Dari pemaparan beberapa fase perkembangan pendekatan antropologi tersebut, dapat dipahami bahwa tidak ada agama atau budaya masyarakat yang harus diterima secara taken for granted, apalagi berupaya memaksakan kembali apa yang ada dalam teks terhadap apa yang diyakini dan dipikirkan masyarakat.

Pendekatan Feminis (Sue Morgan)
Pendekatan feminis dalam studi agama adalah suatu transformasi kritis yang menggunakan perspektif gender sebagai analisis utamanya. Pendekatan ini memandang bahwa feminisme dan agama masing-masing memiliki peran yang penting dalam kehidupan perempuan. Tujuan utama pendekatan feminis adalah mengidentifkasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan dan meninjau apakah hubungan keduanya saling menguntungkan satu sama lain atau tidak. Feminisme itu sendiri bukanlah merupakan fenomena tunggal atau monolitik melainkan mencakup spektrum perspektif politis dan ideologis yang luas. Karena itulah feminisme memiliki banyak model dan bentuk gerakan, seperti feminisme religius, feminis radikal, feminis liberal, sampai ekofeminisme.
Pada dasarnya, agama dapat menjadi faktor yang kuat dalam mengarahkan feminisme, hal ini disebabkan oleh kuatnya hubungan ideologis antara gerakan perempuan dan semangat anti perbudakan. Secara historis, keterlibatan feminis dengan agama sudah dimulai sejak abad XIX di anglo-american, isu yang muncul adalah mengenai perbedaan tentang persamaan akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisisme injil yang cenderung dipolitisir secara eksplisit. Namun barulah sejak tahun 1980 pendekatan feminisme terhadap agama lebih dicirikan dengan upaya untuk menciptakan paradigma kesarjanaan keagamaan baru yang lebih mengistimewakan pengalaman perempuan.
Ada tiga pendekatan mendasar yang sekaligus dapat menjadi jalan keluar yang memungkinkan terjadinya suatu dialog saling menguntungkan antara feminisme dan agama. Pertama, melalui bahasa  sacred, pendekatan ini dilakukan dengan berupaya menyesuaikan simbol-simbol tuhan dengan rangkaian image-image yang beragam dan inklusif yang merefleksikan pengalaman kedua jenis gender. Seperti dengan menghapus image kekuasaan tuhan sebagai laki-laki dan menyematkan aspek ketuhanan yang feminin dengan mempersonifikasikan nilai-nilai perempuan dalam kearifan Tuhan. Kedua, literature, hal ini dilakukan dengan melakukan revisi maupun reinterpretasi terhadap teks-teks yang bersifat misoginis dan mendiskreditkan perempuan. Seperti yang dilakukan Mary Gery yang melakukan pembacaan ulang atau reinterpretasi terhadap doktrin dosa dalam ajaran kristiani. Upaya Reintepretasi feminis terhadap teks-teks keagamaan yang patriarkis tidak hanya melibatkan kesadaran terhadap muatan naratif, melainkan juga kesadaran atas seluruh proses hermeneutik atau interpretatif yang dipahami sebagai hal yang normatif.
Ketiga, melalui penemuan sejarah keagamaan perempuan, ini dilakukan dengan memfokuskan pada penemuan kembali sosok tokoh perempuan yang inspirasional sekaligus memiliki beragam peran spiritual dalam konteks historis, seperti; peran pejuang perempuan di masa pra-Islam, partisipasi perempuan dalam kehidupan Israel kuno, inisiatif ekonomis perempuan Yahudi, sampai biarawati-biarawati katolik inggris berkulit hitam di abad XIX.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan feminisme mengharuskan adanya suatu penyesuaian pemahaman kembali terhadap situasi-situasi patriarkis yaitu dengan mengakui dan memahami bahwa perempuan itu sendiri juga dapat menunjukkan bentuk kekhasan kultural maupun ekonomis. Selain itu upaya pembebasan perempuan harus bersifat multidimensional, tidak hanya secara sederhana dengan menggambarkan seolah-olah seluruh perempuan adalah sebagai korban teraniaya, sedang laki-laki adalah sebagai penganiaya. Melainkan dengan cara yang lebih komprehensif yakni melakukan pendekatan yang lebih Selain ketiga pendekatan tersebut, ada satu aliran yang menggunakan pendekatan yang cukup menarik yaitu ekofeminisme. Pendekatan yang digunakan aliran ini berusaha menghapuskan dominasi paradigma yang dualistik.

Pendekatan Fenomenologis (Clive Erricker)
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama meniscayakan perlunya memandang agama sebagai sebuah entitas tersendiri. Agama adalah ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama. Dengan demikian, tema pokok penelitian ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapannya atau dalam bahasa sederhananya upaya menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya. Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati dan meneliti dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan jangkauannya    Pendekatan fenomenologi agama hadir dalam rangka untuk mengkaji agama sebagai suatu entitas tersendiri. Secara historis, perkembangan fenomenologi agama di awali oleh Jacques Waardenberg dalam penelitiannya; Classical approaches to the study of religion. Dia menjelaskan perlunya menjadikan agama sebagai subjek penelitian empiris dan rasional. Meskipun pada dasarnya menjadikan agama sebagai objek studi tidaklah bisa benar-benar murni objektif, tetapi upaya untuk mengkajinya secara ilmiah tetap harus dilakukan.
            Secara filosofis, bangunan dasar yang membentuk pendekatan fenomenologis dapat ditelusuri dari karya filsafat Hegel: The Phenomenology of Spirit. Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dapat dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (Erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.
Selain Hegel, menurut Van der leeuw pengaruh filsafat Edmund Husserl juga turut menjadi titik tolak yang sangat bernilai dalam meletakkan pendekatan fenomenologis terhadap agama. Husserl membagi dua hal pokok, yakni: epochè dan eiditic vision. Kata epochè berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan” (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian. Sedangkan Eidetic vision berarti “yang terlihat” atau pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.
Satu metode penting yang dikenalkan dalam pendekatan fenomenologi agama, yaitu Metode Verstehen. Metode Verstehen adalah metode yang dianggap cukup penting dalam pendekatan fenomenologi, metode ini berusaha mencari “pengertian” mendalam terhadap suatu fenomena, yaitu gejala yang hadir dalam kesadaran manusia. Caranya adalah dengan menghilangkan sekat antara subjek (peneliti/pengamat) dengan objek (yang diteliti), atau dengan kata lain, si peneliti menempatkan diri sebagai objek sehingga dengan perenungan intuitif akhirnya ia mencapai “pengertian” akan ide-ide, kepercayaan, perasaan, dan nilai-nilai partikular-unik dari objek, untuk kemudian dicari makna atau pola general yang ada.






Pendekatan Filosofis (Rob Fisher)
          Pertautan antara pendekatan filosofis terhadap agama terletak pada proses-proses nalar rasional dalam memahami korpus keagamaan, proses rasional ini mencakup dua hal: Pertama, dengan menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dari suatu tradisi keagamaan. Bagian proses refleksi ini melibatkan peninjauan secara terbuka terhadap bahasa, doktrin, simbol, model, dan mite-mite dalam tradisi. Kedua, dengan menunjukkan fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya tradisi keagamaan harus dapat menggunakan akal dalam memproduksi argumen-argumen logis dan klaim-klaim yang dapat dibenarkan dengan nalar yang masuk akal.

            Namun demikian, filsafat bukan persoalan nasehat maupun upaya untuk mempengaruhi orang lain dengan mengindoktrinasi. Pendekatan filsafat membantu seseorang untuk lebih teliti dalam membaca, berfikir dengan cermat, dan mau melihat ide-ide sendiri berdasarkan daftar penelitian rasional dan kritis. Selain itu, menurut Brenda Almond berfilsafat selalu mencakup dua komitmen, yaitu: berfilsafat memperlihatkan komitmen kepada kebenaran dan berfilsafat selalu menghendaki kejujuran dalam dialog, keterbukaan, dan keingintahuan untuk menjelajahi wilayah pembicaraan, serta berusaha bersikap adil. Ada beberapa posisi utama mengenai hubungan antara filsafat dan agama, diantaranya: (1) filsafat sebagai agama, (@2) filsafat sebagai pelayan agama, (3) filsafat sebagai suatu perangkat analitis bagi agama, (5) filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan.(Read More) 

Tidak ada komentar: