SEJARAH AL QUR’AN
(Menggugah Nalar dalam Menggali Sejarah Kalam Tuhan)
Cahaya Khaeroni
a. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia (hudallinnas) yang meletakkan dasar-dasar prinsipil dalam segala persoalan kehidupan umat manusia dan merupakan kitab universal. Petunjuk inilah yang menjadi landasan pokok agama Islam dan berfungsi sebagai pedoman hidup bagi penganutnya dan menjamin kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Al Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin dan selalu dipelihara oleh Allah, sebagaimana penegasan Allah dalam firman-Nya; Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahfizhun (sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Qur’an dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS Al Hijr: 9).
Bahkan seorang ulama besar Syi’ah Kontemporer, Muhammad Husain Thabathaba’iy menyatakan bahwa sejarah Al Qur’an demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak dulu sampai sekarang, sehingga pada hakekatnya Al Qur’an tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Karena kitab suci tersebut memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya.[1]
Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang panjang.
Tulisan ini mencoba memberikan over view terhadap sejarah turunnya Al Qur’an dimulai dari pemaparan mengenai periode pewahyuan Al Qur’an, kodifikasi Al Qur’an, asbabun nuzul hingga upaya menggali nilai-nilai dalam penurunan Al Qur’an secara bertahap, dengan harapan dapat menambah wawasan khazanah keilmuan dan keislaman ditanah air tercinta.
b. Pewahyuan Al qur’an dan masanya
Para ulama membagi sejarah turunnya Al qur’an dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah (ayat-ayat makkiyyah); dan (2) periode sesudah hijrah (ayat-ayat madaniyyah), tetapi disini akan dipetakan menjadi tiga periode guna mempermudah dalam pengklasifikasiannya.
Periode pertama, pada permulaan turunnya wahyu yang pertama (al Alaq 1-5) Muhammad saw belum diangkat menjadi Rasul, dan hanya berperan sebagai nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya. Sampai pada turunnya wahyu yang kedua barulah Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74: 1-2).[2]
Kemudian sesudah itu, kandungan wahyu ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw, dalam membentuk kepribadiannya (Q.s. Al-Muddatsir [74]: 1-7). Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai ketuhanan (Q.s. Al-A’la [87] dan Al-Ikhlash [112].[3] Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat Jahiliah ketika itu. Dapat dilihat, misal dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir-miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi dikalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok: Pertama, Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al Qur’an. Kedua, Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al Qur’an, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan apalagi yang tinggal untuk kami. Ketiga, Dakwah Al-Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah lainnya.[4]
Periode kedua, sejarah turunnya Al Qur’an pada periode kedua terjadi selama 8-9 tahun, pada masa ini terjadi pertikaian dahsyat antara kelompok Islam dan Jahiliah. Kelompok oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara untuk menghalangi kemajuan dakwah Islam. Pada masa itu, ayat-ayat Al-Qur’an di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu (Q.s. An-Nahl [16]: 125). Sementara di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran (Q.S 41: 13). Selain itu, turun juga ayat-ayat mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat (Q.S. Yasin [36]: 78-82).[5]
Di sini terbukti bahwa ayat-ayat Al Qur’an telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode ketiga, pada periode ini dakwah Al-Qur’an telah mencapai atau mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama 10 tahun. Ini merupakan periode yang terakhir, saat Islam disempurnakan oleh Allah SwT dengan turunnya ayat yang terakhir, Al-Maidah [5]: 3, ketika Rasulullah Saw wukuf pada haji wada’ 9 Dzulhijjah 10 H/7 Maret 632 M. Dan ayat terakhir turun secara mutlak, surat Al-Baqarah [2]: 281, sehingga dari ayat pertama kalinya memakan waktu sekitar 23 tahun.[6]
c. Pembukuan Al qur’an dan konsekuensinya
Sesungguhnya penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasi dan pembukuannya menjadi teks dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakr dan selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa Rasullulah SAW, Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup,[7] terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.[8]
Penulisan pada masa Rasulullah belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni; Pertama,tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan Al-Qur’an menjadi satu mushaf mengingat Rasulullah masih hidup, di samping banyaknya sahabat yang menghafal Al-Qur’an dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian Al-Qur’an. Kedua, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-Qur’an bisa dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi saw wafat. Ketiga, selama proses turunnya Al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mansukh.[9]
Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq, pada waktu terjadi pertempuran di Yamamah,[10] yaitu “Perang Kemurtadan (riddah)” banyak penghafal Al-Qur’an yang terbunuh. Hal ini membuat Umar ibn al-Khattab risau tentang masa depan Al-Qur’an. Sebab itu beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakr untuk melakukan pengumpulan Al-Qur’an. Kendatipun pada mulanya Abu Bakr ragu-ragu untuk melakukan tugas itu,[11] karena dia belum mendapat wewenang dari Nabi Muhammad saw, tetapi pada akhirnya beliau menyetujuinya dan menugasi Zaid ibn Tsabit[12] (salah satu mantan juru tulis Nabi Muhammad saw) untuk itu.[13]
Pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan, Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.[14] Naskah itu kemudian disempurnakan oleh dua orang pejabat Umayyah, Ibn Muqlah dan Ibn ‘Isa pada 933 dengan bantuan Ibn Mujahid. Ibn Mujahid mengenali adanya tujuh corak pembacaan Al Qur’an, yang berkembang karena tidak adanya huruf vokal dan tanda baca.[15]
Kendatipun begitu, ada satu konsekuensi yang harus diterima oleh umat Islam akibat kebijakan khalifah Utsman bin affan. Kalau dirunut ulang dari awal, bahwa sebelum pembukuan Al Qur’an, kita tidak bisa membayangkan betapa banyak ragam bacaan pada saat itu. Al Qur’an begitu sangat plural, kaya akan bacaan dan maknanya. Tetapi searah dengan kebijakan politik khalifah Utsman, Al Qur’an menjadi tampil dalam bentuk tunggal, Al Qur’an versi mushaf Utsmani. Inilah mushaf yang dianggap paling sah dan benar sampai sekarang. Tentunya, sah dan benar dalam pandangan khalifah saat itu yang memiliki inisiatif dan otoritas untuk membukukannya. Dari sudut pandang ini, tampilnya mushaf versi Utsman sebagai mushaf resmi Umat Islam tidak lain adalah hasil dari tafsiran atas berbagai mushaf yang berkembang pada saat itu, yang didalamnya melibatkan proses selektifitas, pembuangan dan penambahan.[16]
d. Bukti historis turunnya al quran bertahap dan dampaknya
Al-Qur’an turun dalam masa sekitar 22 tahun atau lebih tepatnya dalam masa 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi bukti historis turunnya Al Qur’an secara bertahap, diantaranya;
Pertama, kondisi masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya Al Qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis (ummi). Bahkan Nabi Muhammad sendiri juga termasuk dalam golongan masyarakat tersebut, ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban seperti Mesir, Persia atau Romawi. Dan satu-satunya andalan mereka adalah melalui hafalan. Hal ini mengindikasikan bahwa Al Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus, mengapa? Karena Al Qur’an diturunkan kepada seorang Nabi yang tidak kenal baca-tulis (ummi) dan dari proses turunnya Al Qur’an secara berangsur-angsur tentu akan lebih mempermudah beliau dalam menghafalkannya.[17] Selain itu, jika Al Qur’an diturunkan secara sekaligus di dalam masyarakat baru yang mulai berkembang, tentu akan mengejutkan mereka dengan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan dan etika yang belum biasa mereka hayati sebelumnya.
Kedua,ayat Al Qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebagaimana ketika Al Qur’an menegaskan bahwa wahyu turun secara terpisah dan berangsur-angsur.
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Q.s. Al-Isra’ [17]: 106).
Dilihat dari ungkapan-ungkapan ayat-ayat tersebut, untuk arti menurunkan, semuanya menggunakan kata tanzil bukan inzal. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap atau berangsur-angsur. Berbeda dengan kitab-kitab samawi sebelumnya, yakni Taurat, Injil, dan Zabur yang turun sekaligus
Rupa-rupanya keterangan tersebut membangkitkan reaksi kaum musyrikin yang biasa menerima sya’ir dalam jumlah banyak dan sekaligus, bahkan ada yang mendengar dari kaum Yahudi bahwa Taurat diturunkan secara sekaligus. Mereka mempertanyakan perihal kenapa Al Qur’an turun secara berangsur-angsur, malah mereka ingin Al Qur’an diturunkan secara sekaligus.[18] Reaksi mereka disebut dan dijawab dalam Al Qur’an:
Orang-orang kafir mempertanyakan: ‘Kenapa Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) sekaligus’? Demikianlah, (Al Qur’an Kami turunkan secara berangsur-angsur) untuk memperteguh hatimu (hai Muhammad) dan Kami membacakannya secara tartil (perlahan-lahan, jelas dan sebagian demi sebagian). Tiap mereka datang kepadamu membawa suatu permasalahan, Kami selalu datangkan kepadamu kebenaran dan penafsiran yang sebaik-baiknya (Al Furqon: 32-33).
Pertanyaan orang kafir itulah yang dijadikan landasan beberapa ahli tafsir. Bahwasanya orang kafir merasa heran dengan turunnya Al Qur’an secara berangsur-angsur karena mereka mengetahui bahwa kitab-kitab sebelumnya diturunkan secara sekaligus. Bukanlah kitab itu benda kemudian diturunkan secara sekaligus begitu saja, tetapi diturunkan (dibacakan) sekaligus oleh malaikat Jibril.[19]
Dampak dari proses turunnya Al Qur’an secara berangsur-angsur sesungguhnya membuat dakwah Nabi dan ajaran Al Qur’an lebih mudah dan leluasa untuk diterima dikalangan masyarakat saat itu. Karena proses turunnya ayat-ayat Al Qur’an tersebut sangat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat saat itu, bahkan sejarah yang diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab, peristiwa-peristiwa yang dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka, adat-istiadat dan ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.[20] Kendatipun begitu, bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al Qur’an hanya dapat diterapkan dalam masyarakat pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah dan peristiwa dari sejarah umat-umat diungkapkan sebagai pelajaran atau peringatan bagaimana perlakuan Tuhan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak mereka.
e. Latar belakang turun ayat dan implikasinya
Latar belakang turun ayat atau Asbab an-Nuzul adalah “Peristiwa yang melatarbelakangi pada saat turunnya Al-Qur’an”.[21] Pengertian ini dapat dipahami bahwa ketika muncul peristiwa atau ketika adanya pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah, lalu turunlah satu atau beberapa ayat dari Al-Qur’an yang didalamnya terdapat jawaban mengenai hal tersebut.
Ada banyak sekali kegunaan dari mengetahui sebab turunnya ayat, di antaranya: Pertama, mengetahui hikmah penetapan hukum. Bahwa pengetahuan tersebut menegakkan kebaikan ummat, menghindarkan bahaya, menggali kebajikan dan rahmat. Seperti peristiwa Khaulah binti Tsa’labah ketika menemui Nabi saw; mengadukan suaminya (‘Aus bin Ashamid). Khaulah berkata:
Ya Rasul, aku telah menyia-nyiakan masa mudaku; menyebarkan benih perutku hingga umurku tua terputus kemungkinan untuk melahirkan anakku, dia menziharku, ya Allah aku mengadukan hal kepadamu. Lalu turunlah surat al-Mujadalah ayat 1 (Suyuthi, 1978:206).
Lalu Allah mensyari’atkan kaffarat (untuk Zihar) sebagai Rahmat untuk Khaulah dan untuk orang-orang yang senasib dengannya, juga sebagai penjagaan terhadap keluarga dalam masyarakat Islam dari perceraian, serta sebagai benteng (pencegah) perpecahan untuk anak keturunan.[22]
Kedua, pengetahuan terhadap sebab turunnya ayat membantu memahami maksud ayat dan (untuk kemudian) menafsirkan dengan benar, menghindari pemakaian kata dan simbol yang (keluar) dari maknanya. Sebagai contoh, Firman Allah swt:
Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka kemanapun engkau menghadap, disitulah wajah Allah. Sungguh Allah Maha luas (rahmatnya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 115).
Menangkap yang nampak dari ayat tersebut, bahwa manusia boleh shalat kearah manapun yang dia kehendaki. Tidak wajib menghadap kiblat. Juga tidak tergantung dalam perjalanan, atau pun berada di rumah. Juga tidak memandang apakah shalat fardhu, ataupun shalat sunnah (nafilah). Hal ini bertentangan dengan dalil-dalil lain yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah tentang wajibnya menghadap Masjidil-Haram. Persoalan rumit semacam ini akan menjadi jelas apabila diketahui sebab-sebab turunnya ayat ini. Sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ra berkata:
Rasulullah mengutus para sahabatnya. Lalu kami ditimpa kegelapan, yang membuat kami tidak mengetahui kiblat. Sekelompok orang berkata: “Kami telah mengetahui kiblat.” Sekelompok orang berkata: “Kami telah mengetahuinya, kiblatnya disini, ke arah utara.” Mereka pun shalat dan membuat garis (sebagai tanda). Sebagian yang lain mengatakan: “Kiblat tersebut berada di sini kearah selatan.” Lalu mereka shalat serta membuat garis. Ketika hari sudah terang, matahari sudah terbit, ternyata garis-garis tersebut bukan ke arah kiblat. Ketika kami pulang dari perjalanan, kami bertanya kepada Rasulullah saw tentang hal tersebut. Nabi terdiam, lalu Allah menurunkan surat al-Baqarah ayat 115 (Naisaburi, 1388: 23).[23]
Dengan demikian kita mengetahui bahwa ayat di atas khusus bagi orang yang shalat dalam keadaan tidak mengetahui kiblat. Ketiga, di antara manfaat mengetahui sebab turunnya ayat adalah kemudahan dalam menghafal, memahami serta memantapkan kepastian wahyu dalam ingatan/pikiran.
Pada hakikatnya, latar belakang turunnya ayat atau asbabun-nuzul memiliki implikasi yang sangat luas dalam berbagai khazanah penafsiran Al Qur’an dari era klasik hingga modern. Hal ini dikarenakan asbabun-nuzul berperan penting dalam mengartikan ayat-ayat Al Qur’an sebagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat itu sendiri. Itulah sebabnya banyak orang yang terperosok kedalam kebingungan dan keragu-raguan dikarenakan tidak mengetahui asbabun-nuzul.
f. Nilai-nilai pendidikan dalam penurunan Al qur’an bertahap
Dari beberapa ringkasan mengenai sejarah turunnya Al Qur’an, tampak bahwa proses turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berangsur-angsur memiliki makna dan nilai yang signifikan. Diantaranya menunjukkan bahwa proses turunnya ayat-ayat Al Qur’an sangat disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu, dan bergantung pada kebutuhan dan hajat mereka, sehingga manakala dakwah Rasulullah saw telah menyeluruh, orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dan barulah ketika itu berakhir pulalah turunnya ayat-ayat Al Qur’an, sebagaimana penegasan dari Allah swt: “Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu” (QS 5:3).
Selain puas dengan pemahaman di atas, lalu kita dapat bertanya-tanya lagi mengapa harus 20 tahun lebih proses turunnya Al qur’an? Di sinilah dapat kita simak hasil penelitian seorang guru besar Harvard University, yang dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan dan kemunduran negara-negara itu. Salah satu faktor utamanya adalah materi bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang kemajuan atau kemunduran Negara-negara yang ditelitinya itu, para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktifitas, peranan yang pada hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah dua puluh tahun berlalu, sama dengan lama turunnya Al Qur’an.[24]
Dalam analisa penulis, setidaknya ada beberapa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dari proses turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara bertahap, diantaranya:,[25] Read More
g. Penutup
Dari pemaparan dan analisa singkat di atas, dapatlah kami simpulkan bahwa sejarah turunnya Al Qur’an sangatlah disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat saat itu. Meskipun Al Qur’an adalah sajian samawi, tetapi Al Qur’an sangat berkepentingan bagi penataan dunia khususnya umat manusia. Dalam merefleksikan konstruksi bangunan yang dikehendaki Al Qur’an, diapresiasikannya sendiri dalam bentuk pentahapan turunnya wahyu bernilai strategis. Aspek penerimaan wahyu sangat diperhatikan sebagai peran kunci kesuksesan misi Al Qur’an. Absoluditas Al Qur’an tidak dapat dipisahkan dengan relativitas faktual yang responsif. Gradualisasi Al Qur’an yang parallel dengan antropologis dan psikologis masyarakat memiliki nilai strategis dalam penataan masyarakat kontemporer.[]
Daftar Pustaka
Fahd Bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an; Studi Kompleksitas Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999).
Fajrul Munawir Dkk, Al Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
Ignaz Goldziher, Kata Pengantar dalam buku “Mazhab Tafsir; Dari Klasik Hingga Modern,” (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006).
Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum; Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006).
Nur Kholis, Pengantar Al Qur’an dan Al Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008).
Philip K. Hitti, History Of The Arabs; Rujukan Induk dan paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi,2005).
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an ; fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006)
----------------, Wawasan Al Qur’an ;Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2006).
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008).
Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Al Qur’an, terj, Aunur Rafiq El Mazni, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007).
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009).
W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998).
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Quran, dibaca pada tanggal 29 September 2010.
http://qitri.tripod.com/kodifikasi.htm, dibaca pada tanggal 29 September 2010.
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/891-sejarah-perjalanan-al-quran, dibaca pada tanggal 29 September 2010.
1 komentar:
perlu pemahaman mendalam untuk menggali kitab pengetahuan akan suci
Posting Komentar