PENDIDIKAN ISLAM
BERBASIS MUTU
Cahaya Khaeroni
A. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri, bahwa
kondisi pendidikan Islam saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam
berbagai aspek yang sangat kompleks, hal itu meliputi: persoalan dikotomi
pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam
yang belum memadai.[1] Dan
pada muaranya, problematika tersebut akan semakin melemahkan kualitas mutu pendidikan
Islam pada tingkat yang lebih akut, sehingga pada gilirannya akan berdampak
pula pada rendahnya output SDM yang kurang
mampu berkompetisi didunia global.
Beberapa ahli mengklaim bahwa
rendahnya kualitas mutu pendidikan islam tesebut disebabkan oleh kecenderungan
pola pendidikan Islam yang berjalan hingga saat ini secara umum masih sangatlah
tradisional. Bahkan, hal senada juga dituturkan oleh Syed M. Amir, dalam
tulisannya Science Research In Moslem countries, dikatakan bahwa pola
pendidikan Islam saat ini masih sangat tradisional, hal itu terlihat dari aspek
tidak memadainya fasilitas pendidikan, metode mengajarnya yang klasik, dan materinya
yang out of date.[2]
Padahal, jika ditinjau dalam
konteks ke-Indonesiaan, sesungguhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam memiliki
potensi yang sangat besar sekali dalam mewujudkan tercapainya kualitas
pendidikan bangsa Indonesia yang merata dan bermutu. Saat ini tercatat bahwa
jumlah lembaga pendidikan islam diseantero Indonesia seperti madrasah telah
mencapai jumlah 40.000, sementara jumlah pesantren mencapai lebih dari 26.000.[3]
Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia setidaknya
telah mencapai lebih dari 237,6 juta jiwa dengan mayoritas adalah masyarakat muslim.
Tentu saja jika pemerintah hanya semata-mata mengandalkan peran dari lembaga-lembaga
pendidikan umum saja, penulis rasa ini sangat terlalu naif sekali dan
sepertinya tidak akan cukup mampu untuk mengakomodasi seluruh kebutuhan pendidikan
anak bangsa Indonesia.
Maka dari situlah penulis
berasumsi bahwa keberadaan dan partisipasi lembaga-lembaga pendidikan Islam menduduki
posisi yang sangat penting sekali dalam kancah dunia pendidikan Indonesia. Namun
sayangnya, problematika kualitas pendidikan Islam yang kurang berasaskan pada standar
mutu serta manajemen yang kurang memadai sering menjadi hambatan mendasar dalam
ranah pendidikan Islam secara keseluruhan.
Beranjak dari kegelisahan akademik tersebut,
maka disini penulis mencoba untuk membahas dan mengkaji secara lebih mendalam
mengenai konsep pendidikan Islam berbasis mutu. Dengan harapan, pendidikan
Islam kedepan dapat lebih berasaskan pada pijakan mutu dan selaras dengan trend kontemporer, sehingga mampu menghasilkan output lulusan
yang siap berkompetisi didunia global, menguasai Iptek, dan yang lebih utama
mampu mewujudkan cita-cita Islam sebagai rahmatan alamin.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang penulis ajukan diantaranya adalah:
1. Apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan konsep mutu dalam pendidikan Islam?
2. Bagaimanakah indikator
mengenai mutu pendidikan Islam?
3. Bagaimanakah Strategi
Peningkatan Mutu dalam pendidikan Islam?
C. Menelusuri Pengertian Mendasar Tentang Konsep Mutu
Dalam Pendidikan Islam
Definisi Mutu Dalam Kamus Indonesia-Inggris memiliki arti sepadan
dalam bahasa Inggris quality yang artinya taraf atau tingkatan kebaikan;
nilaian sesuatu.[4] Secara umum kualitas atau
mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang
menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau
tersirat. Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk
(hasil kerja/upaya baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible
maupun yang intangible.[5]
Sementara
itu, pembahasan tentang definisi mutu produk menurut pandangan beberapa pakar
Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Juran menyebutkan bahwa mutu produk adalah kecocokan
penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.[6]
2.
Crosby mendefinisikan mutu adalah conformance to
requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan.
3.
Deming mendefinisikan mutu, bahwa mutu adalah kesesuaian
dengan kebutuhan pasar.
4.
Feigenbaum mendefinisikan mutu adalah kepuasan pelanggan
sepenuhnya.[7]
5.
Garvin dan Davis menyebutkan bahwa mutu adalah suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas,
serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
6.
Tenner dan De Toro menyatakan “Quality a basic
business strategy that provides and service that completely satisfy both
internal and external customers by meeting their explicit expectation.”[8]
7.
Menurut Tampubolon mutu adalah “paduan sifat-sifat produk
yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik
kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat, masa kini dan masa
depan.”[9]
Meskipun tidak ada
definisi mutu yang diterima secara universal, namun dari kelima pendapat diatas
terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut :
a. Mutu mencakup usaha
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
b. Mutu mencakup produk,
tenaga kerja, proses, dan lingkungan.
c. Mutu merupakan
kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan mutu saat
ini, mungkin dianggap kurang bermutu pada masa mendatang).
Pengertian
kualitas atau mutu dapat dilihat juga dari konsep secara absolut dan relatif.
Dalam konsep absolut, sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi
standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang
melebihi. Bila diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini
bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu
menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang
akan mampu membayarnya. Sedangkan, dalam konsep relatif, kualitas berarti
memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan (fit for their
purpose). Kualitas dalam konsep relatif berhubungan dengan produsen, maka
kualitas berarti sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pelanggan.[10]
Menurut Oemar Hamalik, pengertian mutu dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu dari segi
normatif dan segi deskiptif. Dalam arti normatif, mutu ditentukan berdasarkan
pertimbangan kriteria intrinsik dan ekstrinsik. Berdasarkan kriteria intrinsik,
mutu pendidikan merupakan produk pendidikan yakni manusia yang terdidik sesuai
dengan standar ideal, jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, maka produknya
ialah tercapainya Insan kamil yang mampu menyeimbangkan ilmu umum dan ilmu
agama. Sedangkan kriteria ekstrinsik, pendidikan merupakan instrumen untuk
mendidik tenaga kerja yang terlatih. Adapun dalam arti deskriptif, mutu
ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya, misalnya hasil tes belajar.
Sedangkan konsep tentang mutu pendidikan menurut Sudarwan
Danim mengacu pada masukan, proses, luaran dan dampaknya. Mutu masukan dapat
dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber
daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, dan
siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat
peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana, sarana sekolah, dan lain-lain. Ketiga,
memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti
peraturan, struktur organisasi, deskripsi kerja, dan struktur organisasi.
Keempat, mutu masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi,
motivasi, ketekunan dan cita-cita.
Mutu proses pembelajaran mengandung makna bahwa
kemampuan sumber daya sekolah mentransformasikan multi jenis masukan dan
situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu dari peserta didik.
Dilihat dari hasil pendidikan, mutu pendidikan dipandang berkualitas jika mampu
melahirkan keunggulan akademis dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang
dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program
pembelajaran tertentu.
Berdasarkan konsepsi dasar dari makna mutu, maka mutu
pendidikan Islam adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh jasa pelayanan
pendidikan secara internal maupun eksternal yang menunjukkan kemampuannya
memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat mencakup input, proses,
dan output pendidikan. Dalam konteks mutu pendidikan, pada hakekatnya tujuan
lembaga pendidikan adalah untuk menciptakan dan mempertahankan kepuasan para
pelanggan dan dalam kepuasan pelanggan ditentukan oleh stakeholder lembaga
pendidikan tersebut. Oleh karena hanya dengan memahami proses dan kepuasan
pelanggan maka lembaga dapat menyadari dan menghargai kualitas. Semua usaha
atau kegiatan manajemen mutu harus diarahkan pada suatu tujuan utama, yaitu
kepuasan pelanggan, apa yang dilakukan manajemen tidak ada gunanya bila tidak
melahirkan kepuasan pelanggan.[11]
D. Indikator mutu pendidikan
Setelah memahami tentang pengertian mutu, maka perlu
diketahui pula apa saja yang termasuk dalam dimensi mutu. Garvin, seperti apa
yang dikutip oleh M.N Nasution mendefinisikan delapan dimensi yang dapat
digunakan untuk menganalisis karakteristik kualitas produk. Kedelapan dimensi
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kinerja/performa
(performance), yaitu berkaitan dengan aspek fungsional dari produk dan
merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan ketika ingin
membeli suatu produk yakni karakteristik pokok dari produk inti.
2.
Features, merupakan aspek kedua dari performa yang menambah fungsi dasar serta
berkaitan dengan pilihan-pilihan dan pengembangannya, yaitu
ciri-ciri/keistimewaan tambahan atau karakteristik pelengkap/tambahan.
3.
Keandalan
(reliability), yaitu berkaitan dengan kemungkinan suatu produk yang
berfungsi secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi
tertentu. Dengan demikian, keandalan merupakan karakteristik yang merefleksikan
kemungkinan tingkat keberhasilan dalam penggunaan suatu produk.
4.
Konformitas
(conformance), yaitu berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap
spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.
Kalau menurut Tjiptono, konformitas berkaitan dengan sejauhmana karakteristik
desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
5.
Daya
tahan (durability), yaitu berkaitan dengan berapa lama produk tersebut
dapat terus digunakan.
6.
Kemampuan
pelayanan (serviceability), merupakan karakteristik yang berkaitan
dengan kecepatan/kesopanan, kompetensi, kemudahan, serta penanganan keluhan
yang memuaskan.
7.
Estetika
(aestetics), merupakan karakteristik mengenai keindahan yang bersifat
subjektif sehingga berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari
preferensi atau pilihan individual.
8.
Kualitas
yang dipersepsikan (perceive quality), yaitu karakteristik yang
berkaitan dengan reputasi (brand name, image).
Adapun indikator atau kriteria yang dapat dijadikan
tolok ukur mutu pendidikan Islam yaitu hasil akhir pendidikan, hasil langsung pendidikan
(hasil langsung inilah yang dipakai sebagai titik tolak pengukuran mutu
pendidikan suatu lembaga pendidikan, misal: tes tulis, daftar cek, anekdot,
skala rating, dan skala sikap), proses pendidikan, instrumen input (alat
interaksi dengan raw input, yakni siswa), serta raw input dan lingkungan.
E. Strategi
Peningkatan Mutu pendidikan Islam
Dalam rangka
memenuhi tuntutan dan kepuasan pelanggan atau pengguna jasa pendidikan, maka
diperlukan strategi yang ampuh. Strategi tersebut diharapkan mampu mengatasi
sejumlah masalah rendahnya mutu pendidikan melalui optimalisasi sumber daya
lembaga pendidikan Islam yang secara langsung dapat meningkatkan mutu
pendidikan.
Untuk
pengembangan basis manajemen mutu terpadu, peran lembaga pendidikan Islam tidak
lain adalah sebagai lembaga usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada
pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut,
yakni peserta didik yang biasanya disebut klien/pelanggan primer (primary
external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan
pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait dengan orang yang
mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orangtua atau lembaga tempat klien
tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary
external customers). Pelanggan lainnya yang bersifat tersier adalah
lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary
external customers).
Selain itu,
dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal
dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru dan tenaga administrasi
lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers).
Walaupun para guru dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan
tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga
pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan
lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas mereka
diuntungkan, baik secara kebanggaan maupun finansial.
Sementara
itu, strategi peningkatan mutu pendidikan Islam harus senantiasa berorientasi
kepada kebutuhan atau harapan pelanggan, maka dari situlah layanan pendidikan
Islam tentu saja harus memperhatikan setiap masing-masing kebutuhan pelanggan
tersebut. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan
pendidikan harus menjadi acuan mendasar bagi program peningkatan mutu layanan
pendidikan Islam.
Untuk
mengaplikasikan konsep mutu ke dalam pendidikan Islam, perlu kita meminjam
prinsip-prinsip pencapaian mutu Edward Deming, berikut ini, ialah uraian
tentang penerapan prinsip-prinsip tersebut ke dalam pendidikan Islam:
Pertama, untuk menjadi lembaga
pendidikan Islam yang bermutu perlu kesadaran, niat dan usaha yang
sungguh-sungguh dari segenap unsur di dalamnya. Mutu pendidikan Islam dapat
diukur dari pengakuan orang lain (siswa, sejawat dan masyarakat) bahwa
pendidikan Islam tersebut benar-benar memberikan pengaruh positif bagi kemajuan
personal, melahirkan temuan-temuan melalui riset yang bermanfaat bagi
pengembangan masyarakat, bangsa dan dunia.
Kedua, lembaga pendidikan
Islam yang bermutu adalah yang secara keseluruhan memberikan kepuasan kepada
masyarakat pelanggannya, artinya harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi
dengan jasa yang diberikan oleh lembaga tersebut. Kebutuhan pelanggan adalah
berkembangnya SDM yang bermutu dan tersedianya informasi, pengetahuan dan
teknologi yang bermanfaat, karya lembaga pendidikan Islam tersebut. Bentuk
kepuasan pelanggan misalnya para lulusannya merasakan manfaat pendidikannya
dalam meniti karirnya di lapangan kerja. Selain itu di dalam pendidikan Islam
tersebut terjadi proses belajar-mengajar yang teratur dan lancar, guru-gurunya
produktif, berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, dan lulusannya
berprestasi cemerlang di masyarakat.
Ketiga, perhatian lembaga
pendidikan Islam selalu ditujukan pada kebutuhan dan harapan para pelanggan:
siswa, masyarakat, industri, pemerintahan dan lainnya, sehingga mereka puas
karenanya. Pendidikan Islam yang mampu memberikan kontribusi bagi tatanan
kehidupan yang lebih luas. Pendidikan Islam mampu bersaing pada posisi-posisi
strategis untuk membangun kualitas hidup manusia secara adil, setara dan
bijaksana.
Keempat, pendidikan Islam yang
bermutu tumbuh dan berkembang karena adanya modal kerjasama yang baik antar
sesama unsur di dalamnya untuk mencapai mutu yang ditetapkan. Sebagai contoh
kelompok pengajar bekerjasama menyusun strategi pembelajaran siswa secara
efektif dan efisien. Jika hanya satu atau dua saja guru yang mengajar secara
baik tidaklah cukup, karena tidak akan menjamin terjadinya mutu siswa yang
baik.
Untuk itu,
maka semua guru harus menjadi pengajar yang baik. Sebaliknya, jika gurunya mampu
menjadi pengajar yang baik, maka siswanya haruslah ingin belajar secara
efektif. Proses belajar mengajar tidak dapat dikatakan efektif dan efisien jika
hanya sepihak, gurunya saja atau siswanya saja yang baik. Interaksi yang baik
antar sesama unsur dalam pendidikan Islam harus terjalin secara intensif, agar
pencapaian mutu dapat berhasil sesuai harapan. Dalam upaya menggiatkan
kerjasama antar unsur dalam pendidikan Islam tersebut perlu dibentuk “tim
perbaikan mutu” yang diberi kewenangan untuk mencari upaya agar mutu pendidikan
Islam lebih baik. Untuk ini pelatihan kepada tim terutama tentang cara-cara
bekerjasama yang efektif dan efisien dalam tim sangat diperlukan.
Kelima, diperlukan pimpinan
yang mampu memotivasi, mengarahkan, dan mempermudah serta mempercepat proses
perbaikan mutu. Pimpinan lembaga (kepala sekolah atau madrasah, wakil kepala
sekolah, hingga kepala bagian-bagian terkait) bertugas sebagai motivator dan
fasilitator bagi orang-orang yang bekerja dibawah pengawasannya untuk mencapai
mutu. Setiap atasan adalah pemimpin, sehingga ia haruslah memiliki
kepemimpinan. Kepemimpinan haruslah yang mampu membuat orang kemudian merasa
lebih berdaya, sehingga yang dipimpin mampu melaksanakan tugas pekerjaannya
lebih baik dan hasil yang lebih baik pula. Oleh sebab itu, keterlibatan
langsung pemimpin lembaga pendidikan sangatlah penting.[12]
Keenam, semua karya lembaga
pendidikan Islam (pengajaran, penelitian, pengabdian, administrasi dan
seterusnya) selalu diorientasikan pada mutu, karena setiap unsur yang ada di
dalamnya telah berkomitmen kuat pada mutu. Akibat dari orientasi ini, maka
semua karya yang tidak bermutu ditolak atau dihindari. Ketujuh, ada
upaya perbaikan mutu lembaga pendidikan Islam secara berkelanjutan. Untuk ini
standar mutu yang ditetapkan sebelumnya selalu dievaluasi dan diperbaiki
sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Kedelapan, segala keputusan untuk
perbaikan mutu pelayanan pendidikan Islam atau pengajaran harus selalu
didasarkan data dan fakta untuk menghindari adanya kelemahan dan keraguan dalam
pelaksanaannya. Kesembilan, penyajian data dan
fakta dapat ditunjang dengan berbagai alat dan teknik untuk perbaikan mutu yang
bisa dianalisis dan disimpulkan, sehingga tidak menyesatkan.
Kesepuluh, hendaknya pekerjaan di
lembaga pendidikan Islam jangan dilihat sebagai pekerjaan rutin yang sama saja
dari waktu ke waktu, karena bisa membosankan. Setiap kegiatan di lembaga
tersebut harus direncanakan dan dilaksanakan dengan cermat, serta hasilnya
dievaluasi dan dibandingkan dengan standar yang ditetapkan. Hendaknya tercipta
kondisi pada setiap yang bekerja dilembaga tersebut untuk bersedia belajar
sambil bekerja, dan sedapat mungkin diprogramkan baik belajar tentang materi,
metode, prosedur dan lain-lain. Kesebelas, dari waktu ke waktu
prosedur kerja yang digunakan di lembaga pendidikan Islam perlu ditinjau apakah
mendatangkan hasil yang diharapkan. Jika tidak maka prosedur tersebut perlu
diubah dengan yang lebih baik.
Keduabelas, perlunya pengakuan dan
penghargaan bagi yang telah berusaha memperbaiki mutu kerja dan hasilnya. Para
guru dan karyawan administrasi mencoba cara-cara kerja baru dan jika mereka
berhasil diberikan pengakuan dan penghargaan. Ketigabelas, perbaikan prosedur antar fungsi di lembaga pendidikan
Islam sebagai bentuk kerjasama harus dijalin hubungan saling membutuhkan satu
sama lain. Tidak ada yang lebih penting satu unsur dari unsur yang lain dalam
mencapai mutu pendidikan Islam. Misalnya, tenaga administrasi sama pentingnya
dengan tenaga pengajar, dan sebaliknya.
Keempatbelas, tradisikan pertemuan
antar pengajar dan siswa untuk mereview proses belajar-mengajar dalam rangka
memperbaiki pengajaran yang bemutu. Pertemuan dengan orangtua siswa, pertemuan
dengan tokoh masyarakat, dengan alumni, pemerintah daerah, pengusaha dan
donatur lembaga pendidikan Islam dapat dilakukan oleh penyelenggara lembaga
pendidikan Islam. Pendek kata, hendaknya semua unsur yang berkepentingan dengan
lembaga pendidikan Islam dapat berpartisipasi ikut mengembangkan pendidikan
Islam mencapai mutu yang baik.[13]
Mendasarkan
hal-hal di atas, tampak bahwa sebenarnya mutu pendidikan Islam adalah merupakan
akumulasi dari cerminan semua mutu jasa pelayanan yang ada di lembaga
pendidikan Islam yang diterima oleh para pelanggannya. Layanan pendidikan Islam
adalah suatu proses yang panjang, dan sistem yang berjalan secara padu. Bila
semua kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan
tersebut akan mencapai hasil yang baik, berupa “mutu terpadu.”
F. Penutup
Peningkatan
mutu pendidikan Islam merupakan satu langkah awal penting yang harus dilakukan.
Peningkatan mutu tersebut harus dilakukan secara menyeluruh dengan
mempergunakan dan memberdayakan semua aspek sumber daya yang ada. Dengan kata
lain, strategi dasar untuk meningkatkan mutu secara berkesinambungan yaitu
melalui peningkatan seluruh objek garapan dalam manajemen pendidikan Islam,
mulai dari peningkatan tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, proses
pembelajaran, sarana prasarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya
dengan masyarakat. Semua program dan kegiatan manajemen pendidikan juga harus
diarahkan pada suatu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan, dan apa yang
dilakukan manjemen tidak ada gunanya apabila tidak melahirkan kepuasan pelanggan,
baik eksternal maupun internal.
Dengan
demikian, menggagas suatu konsepsi pendidikan Islam berbasis mutu harus
senantiasa mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu demi
peningkatan mutunya, maka lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu dibantu,
dibela, dan diperjuangkan agar mampu hidup dan berkembang, serta dapat bersaing
dengan lembaga-lembaga pendidikan sekolah.[]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Assegaf dkk, Pendidikan
Islam di Indonesia, (SUKA PRESS: Yogyakarta, 2010).
Company.Tenner,
A.R, dan De Toro, I.J , Total Quality Management: Three Steps To Continuous
Improvement, Reading, (MA: Addison-Wesley Publishing Company. 1992).
Edward Sallis, Manajemen
Mutu Terpadu Pendidikan; Peran Strategis Pendidikan di Era Globalisasi Modern,
terj,A.Riyadi, (Yogyakarta: Ircisod, 2011).
Imam Machali dan Adhi
Setiyawan (ed), Antologi Kependidikan Islam (Yogyakarta: Fakultas
Tarbiyah, 2010).
John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Indonesia Inggris; An Indonesian-English Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 1998).
Sanaki, Paradigma Pendidikan
Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2003).
Tampubolon,
Daulat P, Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan
Tinggi Menghadapi Tantangan Abad Ke-21. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992).
Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen
Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan; ‘menjual’ mutu pendidikan dengan
pendekatan quality control bagi pelaku lembaga pendidikan, (Yogyakarta:
Ircisod, 2011).
Zamakhsyari Dhofier,
“Pesantren dan Modernitas”, Makalah disampaikan dalam seminar ilmiah di PP
Nurussalam al Munawwir krapyak Yogyakarta, 22 Januari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar