Sabtu, 15 Oktober 2011

ISLAMISASI ILMU VS PENGILMUAN ISLAM


ISLAMISASI ILMU VS PENGILMUAN ISLAM
Oleh Cahaya Khaeroni

1
Prakata

            Diskursus tentang sebuah konstruksi paradigma akan selalu hidup dan menarik. Sebab, hal ini akan memiliki signifikansi terhadap fungsionalisasi dan relevansi sebuah disiplin ilmu bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah munculnya  perdebatan kuat antara  gagasan Islamisasi ilmu dan pengilmuan Islam.
Kemunculan Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan  berangkat dari kegelisahan beberapa intelektual muslim (diantaranya: syed  M. Naquib al-Attas, Ismail raji’ al Faruqi, Ziauddin Sardar) atas kuatnya hegemoni barat terhadap Islam. Terlebih setelah menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat di Barat hingga saat ini sesungguhnya dibangun diatas landasan nilai-nilai sekuler-materialistik dan atheistik, sehingga sangat perlu untuk diIslamkan. Dan sejatinya dalam hal ini, sebuah penafsiran ulang yang lebih mendalam terhadap konsep genuine Islam mengenai ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan sendirinya menjadi prioritas utama. Apalagi jika ternyata superioritas pencapaian, pemrosesan, pemahaman, pemakaian, dan sirkulasi penerbitan informasi dan ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam menentukan kekuatan pada abad-abad mendatang, dan tentunya hal ini membutuhkan sesuatu peranan yang lebih besar dari peranan yang dimainkannya pada abad-abad sebelumnya.
Sementara itu, kemunculan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan cukup menimbulkan banyak respon pro dan kontra. Bagi yang pro gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, menganggap bahwa hal ini dapat membuat  ilmu pengetahuan  terbimbing oleh nilai-nilai agama. Sementara bagi yang menolak menganggap bahwa ilmu pengetahuan harus objektif dan harus selalu netral.  Diantara pemikir kontemporer yang menolak gagasan tersebut adalah Kuntowijoyo, yang mengemukakan gagasannya mengenai pentingnya Islam sebagai Ilmu. Berbeda dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang merupakan gerakan keilmuan dari konteks menuju teks, maka bagi Kuntowijoyo, gerakan intelektual saat ini harus bergerak dari teks menuju konteks, yang bersendikan pada tiga hal, yaitu (1) “Pengilmuan Islam” sebagai proses keilmuan yang bergerak dari teks Al qur’an menuju konteks sosial dan ekologis manusia; (2) “Paradigma Islam” adalah hasil keilmuan, yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu integralistik, sebagai hasil penyatuan agama dan wahyu; (3) “Islam sebagai Ilmu” yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil (Kuntowijoyo, 2007: vi).
     
2
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Naquib al-Attas

            Sebagai sebuah gerakan intelektual, gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dimunculkan oleh Isma’il Raji al-Faruqi dari Lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan sebelumnya sudah dicetuskan oleh Naquib al-Attas dari Malaysia. Terkait dengan gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan, ada 3 hal temuan ilmiah terpenting dalam dunia Islam yang ditemukan oleh Naquib al-Attas, penemuan tersebut adalah; (1) problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat; dan (3) umat Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran (Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003: 317).
            Islamisasi Pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari Tauhid, akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka umat Islam akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya, bahwa pengetahuan harus menuju kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia. Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid, atau konteks kepada teks, atau konteks-teks. Maksudnya, supaya ada koherensi (bahasa Latin cohaere berarti “lekat bersama”), pengetahuan tidak terlepas dari iman (Kuntowijoyo, 2007: 07-08).
            Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan oleh al-Attas didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan yang berkembang di Barat banyak mewariskan anomali, diantaranya pemahaman yang tidak adil dan etnosentrik yang telah menyebabkan kekacauan global, bukannya perdamaian dan keadilan. Selain itu pengetahuan Barat yang bercorak atheistik, mengangkat peraguan dan pendugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Ilmu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun diatas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut al-Attas ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat yang kelimanya saling berkait-kelindan (inter-related characteristics): (1) Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; (2) mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran; (3) membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler; (4) pembelaan terhadap doktrin humanisme; (5) peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transcendental, atau kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia (Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003: 333-334).
 Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan tidak semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang dipandang relevan dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis, di mana dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual Muslim” yang telah dibina selama lebih dari satu millennium oleh para filosof dan ilmuan klasik. Menurut Mulyadhi, konstruksi ulang epistemologi ini akan meliputi pembahasan status ontologis obyek ilmu, klasifikasi dan metodologi ilmu

3
Gagasan pengilmuan Islam (Respon dan kritik terhadap “Islamisasi ilmu”)

Merespon kemunculan gagasan Islamisasi Ilmu, Kuntowijoyo mengkritik sekaligus memberikan tawaran konsep yang berbeda, yakni gagasan pengilmuan Islam. Pengilmuan Islam bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan “pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan
Selain itu Kuntowijoyo menawarkan methodological objectivisme, seraya menolak methodological secularism dengan membawa alternative ilmu sosial profetik. Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110.
Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi, bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna. Adapun mengenai “ketakbebasnilaian” suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah “trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas diantara komunitas keilmuan.
Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri.
Yang diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Yang pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Terakhir, Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.




4
Penutup

Melihat 2 gagasan besar dari para pemikir kontemporer, dan terlepas mengenai bagaimana sesungguhnya seorang akademisi harus berkiblat. Tentunya sangat perlu sekali untuk mengapresiasi 2 gagasan tersebut-(islamisasi ilmu dan pengilmuan islam) sebagai buah pemikiran yang mendalam terhadap realitas objektif keilmuan Islam yang masih berkutat pada level formal keagamaan. Semoga apa yang digagas oleh para intelektual tersebut mampu mengantarkan dan mengaktualisasikan Islam sebagai apa yang sering kita sebut sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wallahu ‘alamu bis shawab.


Daftar Pustaka

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika), Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006.
Wan Daud, wan Nor Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam syed M. Naquib al-Attas, Mizan, Bandung, 2003.



Metodologi penelitian hadis

Metodologi penelitian hadis
Ma’anil hadis (fahm al-hadis/syarah hadits) dalam teks
Cahaya Khaeroni
a.    Pendahuluan
Hadis yang bermakna sebagai sebuah ucapan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al Qur’an. Untuk itulah, berbagai upaya telah dilakukan oleh para ulama’, baik ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin  dalam rangka mencari dan membuktikan otentisitas suatu hadis serta melakukan upaya memahami serta menangkap maksud kandungan suatu hadis tersebut.
Dalam ranah studi hadis, proses memahami hadis lebih dikenal dengan istilah fiqh al hadits atau fahm al-hadits, yakni proses memahami dan menyingkap kandungan sebuah hadis. Dalam proses memahami dan menyingkap makna hadis tersebut, diperlukan suatu cara dan teknik-teknik pemahaman dan eksplorasi maksud sebuah hadis. Bertolak dari sini, muncul term ilmu fiqh al-hadits yakni ilmu yang mempelajari tata cara memahami sebuah hadis agar dapat disingkap dan diperoleh hasil kandungan makna sebuah hadis sesuai dengan maksud dan spirit kandungannya. Istilah lain yang semakna adalah ilmu ma’anil al-hadits.[1]
Pada awal kemunculannya, kajian ilmu hadis yang berkaitan dengan pemahaman matan hadis memang dirasakan belum begitu mandapat perhatian secara khusus. Ketika itu tradisi ilmu hadis pada generasi ulama mutaqaddimin lebih pada masalah bagaimana membuktikan otentisitas hadis tersebut. Lalu, para ulama berikutnya berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai maksud suatu hadis. Ini artinya bahwa aplikasi ilmu ma’anil hadits[2] sebenarnya telah dilakukan, terbukti dengan munculnya berbagai kitab syarah hadis.
Dalam memahami hadis Nabi, secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni: (1) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadis, yang disebut dengan ahl al-hadits, Tekstualis. (2) kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada di belakang teks disebut Ahl al-Ra’yi, Kontekstualis.[3]
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengkaji metodologi penelitian ma’anil hadis dalam ranah teks. Dengan harapan, semoga tulisan ini dapat memberi sumbangsih dalam khazanah intelektual Islam di Indonesia tercinta, secara lebih khusus dalam khazanah wacana hadis.   

b.   Sejarah perkembangan ilmu Ma’anil Hadits 
Istilah ilmu Ma’anil hadits belum muncul di zaman Nabi Muhammad SAW maupun zaman sahabat serta tabi’in. Dalam berbagai literatur kitab hadis, syarah hadis maupun ulumul hadis, tidak pernah disebutkan tentang istilah ilmu Ma’anil hadits yang mengacu pada disiplin ilmu tersendiri. Istilah tersebut merupakan istilah baru dalam studi hadis kontemporer. Namun demikian, sebenarnya ilmu Ma’anil Hadits telah diaplikasikan sejak zaman Nabi Muhammad SAW., meski mungkin masih sangat sederhana. Sebab setiap kali Nabi Saw menyampaikan hadis, tentu para sahabat terlibat dalam proses pemahaman hadis tersebut. Apalagi Nabi Saw menyampaikan hadis dengan bahasa Arab, sudah barang tentu para sahabat dengan cita rasa bahasa mereka, langsung dapat mengerti apa maksud dari hadis tersebut.
Pada awal munculnya ilmu hadis, kajian yang berkaitan dengan pemahaman matan hadis memang belum begitu mendapat perhatian khusus. Ketika itu tradisi ilmu hadis pada generasi ulama mutaqaddimin lebih pada masalah bagaimana membuktikan otentisitas hadis tersebut. Namun kemudian, para ulama berikutnya berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai maksud suatu hadis. Ini artinya bahwa aplikasi ilmu Ma’anil Hadits sebenarnya telah dilakukan, terbukti dengan munculnya berbagai kitab syarah hadis. Misalnya, Tanwir al-Hawalik: Syarh al-Muwaththa’ Imam Malik, karya Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi, Fath al Bari: Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, Syarh Shahih Muslim, karya Imam al-Nawawi, ‘Aunul Ma’bud: Syarh Sunan Abi Dawud, karya Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-Azhim, Faidl al-Qadir: Syarh al-Jami’ al-Shaghir min Ahadits, al Basyir al-Nadzir, karya Muhammad Abdur Ra’uf al-Munawi dan lain-lain.[4]
  Munculnya istilah ilmu Ma’anil hadits agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan memberikan imbangan dari istilah Ilmu Ma’anil Qur’an, dengan asumsi bahwa jika dalam studi al-Qur’an ada istilah Ma’anil Qur’an, maka mengapa dalam studi hadits tidak dimunculkan istilah Ilmu Ma’anil Hadits. Meskipun sebenarnya kalau ditelisik lebih mendalam, dalam ilmu Ma’anil Qur’an masih cenderung berbicara tentang makna-makna suatu huruf yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan kata-kata tertentu yang dianggap sulit dipahami. Hal ini seperti tampak dalam kitab Ma’anil Qur’an karya al-Farra’, ketika menjelaskan makna kata al-Munkhaniqah, al-Mauqudzah, al-Mutaraddiyah, al-Nathihah dan sebagainya dan juga dalam al-Burhan fi Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi ketika menjelaskan berbagai varian makna huruf dalam al-Qur’an seperti huruf min, ila, laysa, ma, law, kaifa dsb.[5]

c.    Signifikansi Ilmu ma’anil hadis
Ilmu ma’anil hadis sangat penting dalam konteks pengembangan studi hadits, diantaranya:
1.   untuk memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami hadis. Seorang peminat studi hadis harus belajar tentang prinsip-prinsip metodologi dalam memahami hadis. Misalnya: a). prinsip tidak terburu-buru menolak suatu hadis hanya karena dianggap bertentangan dengan akal, sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. b). Prinsip memahami hadis secara tematik (maudlu’i), sehingga memperoleh gambaran utuh mengenai tema yang dikaji, c) Prinsip membedakan antara ketentuan hadis yang bersifat formal dengan aspek yang bersifat ideal moral (baca: maqashid al-syari’ah), d). prinsip bagaimana misalnya membedakan hadis-hadis yang bersifat lokal temporal dan universal.
2.   Untuk melengkapi kajian ilmu hadis riwayah, sebab kajian hadis riwayah saja tidak cukup. Hadis itu dicatat bukan sekedar untuk diriwayatkan, tetapi untuk dipahami oleh generasi-generasi berikutnya. Maka pendekatan ilmu ma’anil hadis dalam rangka menangkap pesan-pesan ideal yang tersirat maupun tersurat dalam teks hadis menjadi sangat penting. Tanpa itu, rasanya periwayatan hadis menjadi meaningless.
3.   Sebagai kritik terhadap model pemahaman hadis yang terasa rigid dan kaku. Ilmu ma’anil hadis akan memberi perspektif baru dalam memahami hadis Nabi Saw. Dengan ilmu ma’anil hadis, pembacaan terhadap hadis-hadis Nabi Saw menjadi lebih hidup (al-qira’ah al-hayah), dan terhindar dari model pembacaan yang mati (al-qira’ah al-mayyitah).[6]
 
d.   Metodologi penelitian ma’anil hadis dalam teks
Pada dasarnya ilmu ma’anil hadis adalah ilmu tentang bagaimana memahami teks hadis, yang selalu mempertautkan tiga variable secara triadik dan dialektik, yaitu antara author, reader dan audience. Author dalam hal ini adalah Nabi Saw, sedangkan reader adalah pembaca teks hadis dan audience adalah para pendengar, baik pendengar teks hadis ketika hadis itu disampaikan oleh Nabi Saw waktu itu maupun pendengar ketika hadis itu disampaikan sekarang. Ketiga variable itu juga memiliki konteks sendiri-sendiri yang perlu dipertimbangkan dalam memahami hadis Nabi, sehingga ada keseimbangan dan terhindar dari kesewenang-wenangan interpretasi.[7]
Para ulama’ dahulu telah banyak mencoba melakukan penafsiran atau pemahaman terhadap hadis yang terdapat dalam al-kutub al-sittah,yakni dengan menulis kitab-kitab syarah terhadap al-kutub al-sittah tersebut.  Kendatipun telah banyak kitab-kitab syarah telah banyak disusun, tetapi upaya untuk menemukan metode atau cara yang digunakan ulama dalam memahami hadis jarang di sentuh. Untuk itulah mengetahui cara atau metode pemahaman (baca: syarah) hadis yang digunakan para ulama sangat diperlukan dalam rangka mencapai bangunan metodologis dalam pemahaman hadits.
Ada beberapa metode pemahaman (syarah) yang digunakan oleh para ulama, diantaranya: metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin, serta metode tematik.

1.    Metode Tahlili (Analitis)
a.    Pengertian
Metode syarh tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.[8]
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah hadis memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis seperti kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama hadis.[9]

b.   Ciri-ciri Metode Tahlili
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili  biasanya berbentuk ma'sur (riwayat) atau ra'y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma'sur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi'in atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1). Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
2).   Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al wurud dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab wurudnya.
3). Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi' in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4).  Di samping itu dijelaskan juga munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain.
5). Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.[10]

c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
Kelebihan
1).  Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas.
Metode analitis dapat mencakup berbagai aspek: kata, frasa, kalimat, sabab al wurud, munasabah (munasabah internal) dan lain sebagainya.
2).  Memuat berbagai ide dan gagasan.
Memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarah untuk menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama.
Kekurangan
1).  Menjadikan petunjuk hadis parsial
Metode analitis menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga seolah-olah hadis memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah yang diberikan pada hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
2).  Melahirkan syarah yang subyektif
Dalam metode analitis, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadis secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.[11] 
2.  Metode Ijmali (Global)
a. Pengertian
Metode ijmali (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadis­-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-Kutub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.[12]


b. Ciri-ciri Metode Ijmali [13]
1).   Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir  tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2).   Penjelasan umum dan sangat ringkas.
Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlili.

c.    Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Kelebihan
1). Ringkas dan padat
Metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya. Syarah tidak bertele-tele, sanad dan kritik matan sangat minim.
2).   Bahasa Mudah
Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide atau pendapatnya secara pribadi.

Kekurangan
1).   Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadis yang bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.
2).   Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Metode ini tidak mnyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas pemahaman suatu hadis.[14]



3.    Metode Muqarin (komparatif)
a.  Pengertian
Metode Muqarin adalah metode memahami hadis dengan cara: (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2) Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.19
Dengan demikian, metode ini dalam memahami hadis tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadis. Diantara Kitab yang menggunakan metode muqarin ini adalah Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi karya Imam Nawawi, Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud al-’Aini, dan lain-lain

b. Ciri-ciri Metode Muqarin
1).   Membandingkan analitis redaksional (mabahis\ lafziyyah) dan perbandingan periwayat periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.
2).   Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
3).   Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut  kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah) antara hadis dengan hadis.20
Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hadis dengan hadis, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.

c. Urutan Metode Muqarin
Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :
1).   mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan,
2).   memperbandingkan antara hadis yang redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama,
3).   menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan itu mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam hadis, dan sebagainya,
4).   memperbandingkan antara berbagai pendapat para pensyarah tentang hadis yang dijadikan objek bahasan.21

d.    Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
1).   Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan denga metode lain.
2)    Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh. berbeda.
3)    Pemahaman dengan metode muqarin sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
4)    Pen-syarah didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat-­pendapat para pensyarah lainnya.

Kekurangan
1)    Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
2)    Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah.
3)    Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru.23

4.    Metode Tematik
a.    Pengertian
Metode tematik ialah metode yang membahas hadis-hadis Nabi saw, sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua hadis yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya. Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Dimana pengkaji hadis mencari tema-tema atau topik-topik yang ada ditengah masyarakat atau berasal dari hadis itu sendiri, kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam hadis-hadis yang ditafsirkan.[15]
Sejauh ini metode tematik dalam bidang tafsir telah mendapat respon yang cukup ramai di kalangan ahli tafsir untuk memahami isi kandungan Al Qur’an, namun tidak di bidang hadis. Dalam bidang ulum al-hadis, ulama hadis berusaha merumuskan epistemologi ’ilm ma’an al-hadis yang boleh diartikan dengan ilmu tentang pemahaman hadis, namun ilmu ini belum banyak dikembangkan secara signifikan, sehingga belum bisa ditemukan rumusan metodologi yang mapan dalam aplikasinya. Akibatnya, pemahaman hadis Nabi cenderung masih bersifat general tanpa melihat struktur hadis. Artinya semua hadis dipahami sama, apakah itu riwayat bi al-lafdz atau riwayat bi al-ma’na, begitu juga apakah hadis itu muthlaq atau muqayyad.[16]
Hal ini disebabkan barangkali kompleksnya wilayah kajian ulum al-hadis –sanad dan matan- kalaupun ada yang berusaha melakukan pemahaman secara tematik, belum mencapai level yang memuaskan, karena yang muncul adalah baru pemahaman tekstual, parsial dan sporadis, tanpa melihat konteks kesejarahan (historis), geografis dan sosio-kultural, dan aspek lainnya misalnya kapasitas Nabi, setting antropologis, bahkan politis. Maka, sudah barang tentu pemahaman semacam ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan yang bisa diacu secara keilmuan. Belum lagi pertimbangan-pertimbangan kategorik hadis berdasar pada lokal, temporal (insidental) atau universal, termasuk kategori hadis tentang aqidah, ibadah, atau mu’amalah.[17]

b.   Langkah-langkah Metodologis
Meskipun sepintas lalu pemaknaan hadis dengan pendekatan metode tematis sederhana, tetapi jika dilakukan secara serius diperlukan kerangka metodologis yang prosedural, adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1.  Menentukan tema tertentu sesuai keinginan peneliti, misalnya: kesempurnaan iman, silaturahmi, ilmu, etika, dll.
2.  Menghimpun hadis yang shahih dan atau setidak-tidaknya hasan (senada/sejalan, tidak sejalan, tampak kontradiktif (ta’arudl/tanaqud), melalui prosedur takhrij al-hadis, dengan melakukan i’tibarat, muttabi’at dan syawahid.
3.  Jika langkah kedua belum dilakukan, maka peneliti harus melakukan tahqiq al-hadis (verifikasi dan validasi) untuk menentukan kualitas sanadnya.
4.  Melacak asbab al-wurud al-hadis, beberapa hadis (jika mungkin paling tidak 2 buah) yang dinilai memenuhi kualifikasi sanad dan rawi-nya.
5.  Mengidentifikasi teks (matan) hadis dari aspek kebahasaan (linguistik), terutama kata yang mutasyabbih (dibawa ke yang muhkam), mutlaq (mengaitkan ke yang muqayyad) atau makna konotasi ke denotasi, dan ’am (menafsirkan ke yang khash) artinya dari makro ke mikro, musykil (menuju ke makna yang sharih), haqiqi dan majazi, juga makna yang gharib ke makna wadlih, dsb.
6.  Melakukan identifikasi kandungan konsep dalam suatu hadis, diharapkan dari identifikasi lafdziyyah ini dapat ditemukan ide pokok (main idea) dan ide-ide sekunder.
7.  Dipahami maksud kandungan maknanya dengan meneliti dalalah (variabel dan indikasi).
8.  Mencari teks (ayat-ayat) al-Qur’an secara proporsional jika ada, paling tidak memiliki kesamaan pesan (ideal) moral dan arti maknawi (spirit).
9.  Melakukan pendekatan holistik-komprehensif secara multidisipliner.
10.   Melakukan pengembangan dan ”pengembaraan” makna dengan pendekatan kontekstual.
11.   Mengambil kesimpulan secara deduktif atau induktif, dengan menentukan wilayah keilmuan: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.[18]

c.    Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan
1.  Menjawab tantangan zaman.
Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas.
Untuk menghadapi permasalahan demikian, hal itu dapat ditangani dengan menggunakan metode pemahaman hadis tematik, karena kajian tematik memang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan dalam sekup-sekup tertentu.

2.  Praktis dan sistematis
Pemahaman hadis dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini amat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab hadis yang besar. Dengan adanya hadis-hadis tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efisien.[19]

3.  Dinamis
Metode tematik membuat pemahaman terhadap hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa hadis-hadis nabi dapat membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial.
kekurangan
1.    Membatasi pemahaman hadis
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut, padahal tidak mustahil suatu hadis itu dapat di tinjau dari berbagai aspek. dengan ditetapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya dari satu sudut pandang saja, dan itu merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya metode tematis.[20]



e.    Penutup
Dari pemaparan dan analisa singkat di atas, dapatlah kami simpulkan bahwa kajian ilmu ma’anil hadis kendatipun pada awal permulaan munculnya ilmu hadis belum begitu mendapat perhatian, yang diakibatkan oleh para ulama’ mutaqaddimin lebih cenderung mencari otentisitas hadis, namun sesungguhnya ilmu ma’anil hadis memegang peranan penting. Karena selain mencari keotentikan hadis Rasulullah Saw memang penting, sesungguhnya akan sangat lebih penting lagi jika umat Islam dapat memahami makna pesan yang terkandung dalam teks hadis Rasulullah tersebut, dan disinilah peran pokok ‘ilm ma’anil hadis. Ada tiga metode yang digunakan oleh para Ulama’ dalam upaya memahami hadis Nabi Saw, yakni; Metode Tahlili, metode Ijmali, dan metode Muqorin. Namun demikian, metode yang telah dipersembahkan oleh para ulama’ bukanlah sesuatu yang final. Kajian dan telaah hadis tetap sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menangkap makna kandungan hadis secara komprehensif. Disinilah hadis selalu terbuka untuk dapat dikaji dengan berbagai pendekatan dan metode baru sehingga nilai ruhiyah hadis Rasulullah dapat selalu menjadi pencerah dan pedoman bagi umat manusia.[]






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi; Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadits, (Yogyakarta: Idea Press, 2008).

___________ dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam memahami Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009).

Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta: CESaD, 2001).

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).

Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi; Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawy, (Yogyakarta: Teras, 2008).


[1] Kata pengantar dalam, Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi; Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadits, (Yogyakarta: Idea Press, 2008), hlm. viii.
[2] Ilmu ma’anil hadis, yakni ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan memahami hadis Nabi Saw, dalam definisi lain, ilmu ma’anil hadist didefinisikan sebagai ilmu yang membahas bagaimana prinsip-prinsip metodologi (proses dan prosedur) memahami hadis Nabi, sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud dan kandungannya secara tepat dan proposional. Lihat, Ibid, hlm. 11.
[3] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi; Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawy, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.73.
[4] Abdul Mustaqim, “Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma….” Hlm. 5-7.
[5] Ibid, hlm.9
[6] Ibid, Hlm. 13-14.
[7] Ibid, Hlm. 10
[8] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta:CESaD, 2001), hlm. 29
[9] Ibid, hlm. 29.
[10] Ibid., hlm.30-31.
[11] Ibid., hlm 38-39.
[12] Ibid., hlm. 42.
[13] Ibid., hlm. 43.
[14] Ibid., hlm.44-46.
11 Ibid.,hlm. 46.
12Ibid.,hlm 48-49.
13 Ibid., hlm. 49.
14 Ibid., hlm.51-52.
[15] Definisi ini penulis rumuskan dari metodologi penafsiran tematik yang ada di dalam konteks penafsiran Al Qur’an, penulis sengaja mengambil rumusan dari hal tersebut, karena menurut hemat penulis, metodologi penafsiran yang diterapkan dalam hadis hampir kebanyakan mengikuti dari pola yang dilakukan dalam kajian tafsir al qur’an. Lihat: Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 151-152.
[16] Abdul Mustaqim dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam memahami Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 32.
[17] Ibid, hlm. 33.
[18] Ibid, hlm. 33-35.
[19] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran …, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 165-166.
[20] Ibid, hlm. 169.